Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Featured

Harga Parkir dan Makanan ‘Nuthuk’ di Jogja Adalah Warisan Feodal Paling Ra Mashok

Prabu Yudianto oleh Prabu Yudianto
2 Juni 2021
A A
Share on FacebookShare on Twitter

Harga parkir dan makanan di tempat wisata Jogja mahal? Oh, itu memang warisan feodal.

Lagi-lagi Jogja jadi buah bibir. Sayang sekali, kali ini bukan perkara UMR humble atau angka positif COVID-19 yang langgeng membahayakan. Sebenarnya masalah yang jadi buah bibir itu sudah “omongan lawas”. Bahkan sejak Jogja jadi jujugan wisata yang masyur diromantisasi.

Yak, perkara harga makanan “nuthuk” alias memukul. Maksudnya adalah harga makanan yang semena-mena mahalnya. Mungkin banyak dari Anda yang sudah bosan dengan perkara ini. Toh, masalah harga nuthuk ini tidak pernah usai. Bahkan beberapa orang di media sosial merasa harga nggatheli ini sebagai sebuah hal normal.

Belum tuntas geger perkara harga makanan, muncul lagi geger serupa. Kali ini yang disorot adalah harga parkir. Salah satu akun media sosial mengeluhkan harga parkir mobil yang dipandang terlalu mahal. Apalagi untuk harga parkir di pinggir jalan raya tanpa valet. Kalau 10 ribu sampai 15 ribu mungkin masih oke meskipun tetap kemahalan. Ini sampai 25 ribu rupiah!

Banyak teori konspirasi berseliweran perkara harga nuthuk ini. Yang paling dianggap logis ya perkara sewa lahan yang kelewat mahal. Baik sewa lahan untuk warung ataupun “sewa” lahan parkir. Banyak yang mengamini perkara ini karena Jogja memang terkenal punya harga tanah mahal. Mungkin sudah pantas bersaing dengan Beverly Hills di Amerika Serikat sana. Jadi maklum, sajian yang sederhana seperti pecel lele bisa seharga dinner di hotel. Dan parkir mobil di jalan bisa seharga parkir valet di hotel berbintang.

Teori ini memang logis dan mudah diterima. Semudah menerima kenyataan bahwa Jogja sudah tidak murah lagi. Jadi cukup sekian jawaban dari kisruh harga parikr dan makanan ra mashok di Jogja.

Enak saja! Jawaban seperti di atas hanya seperti upah nulis di soal esai. Seadanya dan tidak menelisik dari sudut pandang yang lebih dalam. Masalah makanan dan parkir di Jogja tidak sesederhana itu. Setidaknya menurut apa yang telah saya telisik selama ini. Lantaran, harga nuthuk bisa ditarik akar masalahnya dari budaya yang tertanam di benak masyarakat Jogja.

Sebelumnya, saya coba untuk memahami logika harga nuthuk ini. Sebagai insan yang tinggal di tengah titik wisata Jogja. Saya punya banyak narasumber yang jelas-jelas mematok harga mahal pada barang atau jasa yang dijual. Sebagai contoh saja, harga air mineral yang biasanya 3 ribuan bisa dijual 6 ribu rupiah bahkan lebih.

Baca Juga:

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

Jawaban yang saya terima hampir seragam. Intinya: kan wajar kalau jualan di daerah wisata. Menurut para pedagang, orang yang plesiran harus bisa menerima harga yang lebih mahal ini. Pasalnya, para pedagang memberi kelebihan yaitu tersedia di tengah tempat wisata.

“Ya kalau kemahalan, bawa dari rumah saja tho,” jawab salah satu penjual minuman ringan di suatu tempat wisata di pusat Jogja. Ditekankan bahwa orang yang plesir ke Jogja pasti punya cukup uang untuk dihabiskan. Jadi harga makan dan parkir nuthuk (harusnya) tidak perlu dipermasalahkan.

“Kalau nggak punya uang, ya jangan plesiran. Piknik itu kalau punya uang saja!” Tegas salah satu tukang parkir yang untungnya saya kenal. Ditambahkan, kalau mau parkir murah bisa parkir di kantong parkir yang tersedia. Yah, meskipun luasnya terbatas dan kadang jauh dari lokasi wisata. “Nanti podho wae, harus sewa transport lagi tho,” tukas mas parkir teman saya.

Nah, inilah kunci untuk memahami logika harga nuthuk. Dan saya cukup yakin, jawaban serupa bisa mudah Anda temukan. Bahkan di grup Facebook yang narimo ing pandumnya makrifat itu. Kuncinya adalah pandangan bahwa wisatawan adalah kelompok manusia dengan latar belakang ekonomi berlebih. Sudut pandang demikian menjadi pemakluman ketika ada “harga lain” untuk wisatawan ini.

Mungkin cara pandang seperti ini menjadi khas destinasi wisata. Namun, saya ingin menggali logika lebih dalam sampai era feodal. Saya pikir, masyarakat feodal yang menjadi leluhur rakyat Jogja ini mewariskan sudut pandang yang nggatheli tersebut.

Masyarakat feodal kelas bawah bukanlah masyarakat yang doyan plesir. Bahkan banyak yang terjebak di tempat lahirnya sampai meninggal. Lihat saja, bagaimana sebuah desa bisa didominasi satu dua klan yang diakibatkan isolasi ini. Bahkan yang berani merantau saja sudah bisa diacungi jempol.

Lagipula, zaman dulu mau plesiran ke mana? Destinasi wisata alam pada masa itu terlalu wingit untuk jadi jujugan wisata. Dari gunung sampai pantai punya keangkeran sendiri yang mencegah orang menikmati indahnya seenak udel. Hiburan masa itu sangat kolektif dan terpusat di balai desa masing-masing.

Siapa golongan yang mampu dan mau berdarmawisata? Ya, golongan priyayi dan orang berada. Untuk Anda yang berpenghasilan di bawah UMR Kasultanan Mataram, mohon bersabar.

Akhirnya logika yang saya jelaskan tadi bisa terbentuk. Niat aji mumpung pada pendatang yang plesir dianggap normal. Lha wong jarang-jarang juga ada yang mau berwisata. Apalagi ketika masyarakat kolonial Belanda mulai ngosak-ngasik Jogja. Wah, betapa kagumnya masyarakat melihat manusia gagah besar berkulit putih dan membawa pundi-pundi uang. Sebenarnya ini erat kaitannya dengan budaya ra mashok foto bareng bule. Namun, kita fokus dulu, ya.

Lha namanya juga aji mumpung, wajar jika akhirnya pola nuthuk harga ini lahir. Sayang sekali, logika dan metode ini dipertahankan ratusan tahun kemudian. Ketika masyarakat sudah berubah, dan plesiran tidak lagi jadi privilege orang berduit semata.

Maka wajar jika narasi, “Kalau mahal jangan makan (atau parkir) di sini!” Lha wong logika ra mashok ini masih tertanam apik. Memandang wisatawan sebagai kelompok berduit yang bisa dihisap uangnya menjadi hal lumrah. Sayang sekali, budaya (yang katanya) adiluhung tetap meninggalkan logika pekok seperti harga nuthuk ini. Tapi gimana lagi, kan istimewah! Kepala orang yang melintas di jalan bisa dituthuk alias dipukul klitihers. Apalagi dompet wisatawan.

Bagi Anda yang merasa jadi korban nuthuk harga ini, berbahagialah. Anda dipandang sebagai borjuis sekelas kumpeni pada masanya. Ya, meskipun Anda liburan dengan dana minim dan demi kesehatan mental. Nggak apa-apa oleh-oleh khas Jogja tidak cuma bakpia. Namun, juga struk belanja berharga nuthuk. Itung-itung jadi konten yang mudah viral daripada foto estetis yang Anda ambil dengan susah payah.

Dan bagi Anda yang masih memandang nuthuk itu baik dan perlu, ya monggo dilanjut. Setidaknya, Jogja akan selalu masyur karena budayanya. Pasalnya, Jogja memang terbuat dari UMR humble, ancaman klitih, dan harga nuthuk.

BACA JUGA Jogja, Destinasi Wisata ‘Terbaik’ di Masa Pandemi dan tulisan Prabu Yudianto lainnya. 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Terakhir diperbarui pada 4 Juni 2021 oleh

Tags: Harga parkirJogjaMalioboroPojok Tubir Terminalwisata
Prabu Yudianto

Prabu Yudianto

Penulis kelahiran Yogyakarta. Bekerja sebagai manajer marketing. Founder Academy of BUG. Co-Founder Kelas Menulis Bahagia. Fans PSIM dan West Ham United!

ArtikelTerkait

5 Tempat Wisata Gratis di Surabaya yang Perlu Dikunjungi terminal mojok.co

5 Tempat Wisata Gratis di Surabaya yang Perlu Dikunjungi

6 Desember 2021
3 Alasan Orang Kota Jogja Lebih Suka Piknik ke Gunungkidul dibandingkan Kulon Progo

3 Alasan Orang Kota Jogja Lebih Suka Piknik ke Gunungkidul dibandingkan Kulon Progo

23 November 2024
5 Tempat Minum Matcha Paling Enak di Jogja, Pencinta Matcha Wajib Coba!

5 Tempat Minum Matcha Paling Enak di Jogja, Pencinta Matcha Wajib Coba!

29 April 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025
Adakah Dana Istimewa untuk Sampah yang Tidak Istimewa? TPST Piyungan, ASEAN Tourism Forum, Jogja krisis sampah di jogja bantargebang

TPST Piyungan Ditutup Lagi, Kapan Jogja akan Benar-benar Menemukan Solusi untuk Sampah yang Makin Melimpah?

22 Juli 2023
Cari Kos Murah di Jogja Ibarat Mencari Jarum di Tumpukan Jerami 10 Ton, Susahnya Minta Ampun!

Cari Kos Murah di Jogja Ibarat Mencari Jarum di Tumpukan Jerami 10 Ton, Susahnya Minta Ampun!

17 Juli 2022
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Saya Pengguna Setia Transjakarta dan Setuju kalau Tarifnya Naik asal 4 Hal Ini Terpenuhi Mojok.co

Saya Pengguna Setia Transjakarta dan Setuju kalau Tarifnya Naik asal 4 Hal Ini Terpenuhi

29 November 2025
4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang Mojok.co

4 Hal tentang Untidar Magelang yang Belum Diketahui Banyak Orang

29 November 2025
8 Aturan Tak Tertulis Tinggal Surabaya (Unsplash)

8 Aturan Tak Tertulis di Surabaya yang Wajib Kalian Tahu Sebelum Datang ke Sana

1 Desember 2025
Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

Pengakuan Pengguna Tumbler Lion Star: Murah, Awet, dan Tidak Mengancam Masa Depan Karier Siapa pun

29 November 2025
Madiun, Kota Kecil yang Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya Mojok.co

Madiun, Kota Kecil yang Sudah Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya

2 Desember 2025
5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru Mojok.co

5 Tips Agar Kantong Nggak Jebol Dikeroyok Diskon Natal dan Tahun Baru

2 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra
  • 5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana
  • Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.