Saya baru saja membaca tulisan Mas Zubairi di Terminal Mojok yang mengeluhkan harga paket internet XL yang berbeda di setiap pelangganya. Sebelumnya, penulis Terminal Mojok lainnya dulu pernah menuliskan keluhan yang sama, tapi providernya bukan XL, melainkan Telkomsel. Di lain waktu, adik saya yang menggunakan nomor IM3 juga pernah sambat kalau harga paketannya berbeda dengan paketan milik istrinya, padahal mereka berdua sama-sama pengguna IM3.
Sepertinya hampir semua provider memiliki masalah yang sama, yaitu harga paket internet yang berbeda pada setiap pelanggannya. Dan sebagai customer, kita pun memiliki pertanyaan yang sama, kenapa bisa seperti itu? Apakah provider sengaja pilih kasih? Diskriminatif? Atau, jangan-jangan seperti kata Mas Zubairi, harga paket internet dilihat dari bentuk muka. Kalau wajahmu tampan harganya mahal, tapi jika buruk rupa bayar murah. Wajah yang jelek sudah cukup membawa penderitaan, mosok harus dibebani bayar paket internet yang mahal? Kan kasihan.
Sayangnya, dalam sistem ekonomi kapitalistik, wajah sama sekali nggak dipertimbangkan. Tolok ukur harga mahal atau murah sepenuhnya ditentukan oleh angka, kebiasaan pelanggan, dan seberapa kaya kamu. Sederhananya, provider memilili database konsumen, semakin kita loyal terhadap satu provider, semakin mahal harga yang harus kita bayarkan. Memang terkesan nggak adil dan zalim, tapi begitulah cara kerja dunia. Nggak semuanya harus sama baru disebut adil.
Daftar Isi
Semakin kaya kamu, semakin mahal harga paket internet di hapemu
Kaya yang saya maksud di sini bukan kamu yang menggunakan iPhone 15 Pro Max, atau yang pergi ke kantor naik Isuzu MU-X, ya. Provider nggak peduli dengan semua itu. Mereka melihat kamu kaya atau miskin dari ARPU (Average Revenue Per User).
ARPU adalah matrik yang menunjukkan pendapatan rata-rata per pengguna. Matrik ini bisa memberikan provider gambaran tentang berapa banyak rata-rata yang dibelanjakan pelanggan. Dari ARPU inilah provider mengklasifikasikan setiap pelanggannya, mana yang kaya, loyal, miskin, dan biasa saja.
Semakin loyal kita dengan provider tertentu—membeli paket dalam jumlah banyak dan besar—maka ARPU akan naik atau tinggi. Konsepnya mirip kartu kredit, semakin banyak belanja (utang) limitnya semakin tinggi. ARPU digunakan sebagai salah satu dasar untuk menentukan tarif yang akan dibebankan kepada pelanggan yang bersangkutan.
Jadi, jangan kaget jika kamu sudah setia dan banyak membeli paket, tapi nggak pernah mendapatkan harga murah. Sebaliknya, kamu justru mendapati kenyataan pahit dengan harga paket internet yang lebih mahal. Di mata provider, kamu itu orang kaya sekaligus setia. Orang seperti kamu ini dianggap mampu membeli paketan mahal.
Kalau kamu diberi paketan internet seharga Rp110 ribu tapi tetap membeli dan nggak pernah berganti nomor, kenapa provider harus menurunkan harga di bawah Rp110 ribu. Kan nggak ada untungnya bagi perusahaan provider. Yang dikasih murah ya orang-orang yang track record-nya hanya mampu membeli paketan murah. Sesederhana itu.
Jadi, kalau harga paket internet di hapemu mahal, ya itu karena salah sendiri. Salah sendiri terlalu loyal, hehehe.
Solusi jika harga paket internet telanjur mahal selain mengganti nomor
Lantas bagaimana solusinya? Saran saya sih turunkan nilai ARPU-nya. Jika selama ini setiap bulan kamu menghabiskan uang Rp200 ribu untuk membeli paket internet XL, cobalah untuk menguranginya. Misalnya dengan membeli paket menjadi Rp100 ribu atau serendah mungkin. Lakukan hal tersebut minimal selama 3 bulan secara konsisten.
Saya sudah mempraktikkan cara ini di nomor Telkomsel dan berhasil. Singkat cerita, saya menggunakan nomor Telkomsel dengan range pemakaian Rp300-Rp600 ribu setiap bulan. Uang Rp300 ribu hanya dapat 60GB, sementara kuota 30Gb bagi saya nggak cukup dalam sebulan. Akhirnya setiap bulan saya membeli kuota tambahan dan hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun, sampai-sampai aplikasi My Telkomsel saya statusnya nggak lagi Gold atau Platinum melainkan Diamond. Benar-benar paketan sultan padahal gaji karyawan. Nyesek banget nggak tuh?
Lama-kelamaan saya merasa boncos dan sempat ada niatan berganti nomor, tapi teman saya memberi saran untuk menurunkan ARPU. Jika biasanya saya menghabiskan uang Rp500-Rp600 ribu untuk membeli paket internet, saya berusaha menurunkannnya menjadi Rp250 ribu selama empat bulan. Hasilnya lumayan, saat ini paket internet saya Rp250 ribu dapat 77Gb. Memang masih mahal, tapi nilainya turun dibandingkan Rp300 ribu untuk 60Gb.
Bahkan, saat saya konsisten menurunkan pemakaian selama empat bulan tersebut. Saya pernah satu kali mendapatkan bonus kuota internet cuma-cuma sebesar 40Gb. Padahal saat pemakain Rp500-Rp600 ribu malah nggak pernah dapat bonus apa-apa. Palingan mentok hanya mendapatkan fasilitas VIP Lounge di bandara, itu pun ada syaratnya yaitu harus tukar beberapa poin My Telkomsel terlebih dahulu.
Meskipun butuh effort, jika kamu ingin menurunkan harga paket internet di hapemu, silakan mencoba trik yang pernah saya lakukan. Semoga berhasil, ya. Kalau masih nggak berhasil juga, berarti kamu memang apes dan butuh selamatan dengan bubur merah untuk membuang sial.
XL Axiata adalah rajanya provider di Madura
Sebelum mengakhiri tulisan ini. Saya juga ingin menanggapi pernyataan Mas Zubairi di artikelnya terkait sinyal XL Axiata di Madura lebih baik ketimbang AS (Telkomsel). Kebetulan saya bekerja di perusahaan kontraktor tower provider, dan pekerjaan kami membangun BTS (Base Transceiver Station). Kebetulan lagi, perusahaan di mana saya bekerja banyak sekali membangun BTS di Pulau Madura.
Jadi begini, setahu saya, jumlah tower BTS XL Axiata di Madura memang paling banyak ketimbang provider lain. XL memiliki 2800 BTS di Pulau Madura dengan jumlah pelanggan mencapai 1 juta. Kondisi tersebut membuat XL memberikan servis maksimal di Madura dengan cara meningkatkan pelayanan jaringan, penambahan kapasitas, dan mengganti perangkat BTS yang dulunya masih menggunakan microwave (teknologi lama) menjadi fiber optic.
Boleh dibilang, XL adalah rajanya provider di Madura. Pulau tersebut menghasilkan banyak cuan bagi perusahaan, jadi wajar saja jika diprioritaskan dan sinyalnya paling bagus. Alasan tersebut juga menjadi salah satu penyebab kualitas internet di Indonesia nggak merata, sebab provider akan memprioritaskan daerah yang mengguntungkan bagi perusahaan.
Sementara daerah yang penggunanya sedikit dan lokasinya jauh—contohnya wilayah 3T—fasilitas internetnya minim. Membangun BTS di daerah 3T dianggap nggak menguntungkan karena cost tinggi tapi pengguna terbatas. Istilahnya, kurang cuan untuk perusahaan. Oleh karena itu, saat pemerintah memiliki program pembangunan BTS di daerah 3T saya bahagia sekali. Sayangnya, kebahagiaan saya pun tak bertahan lama lantaran proyek tersebut malah dikorupsi oleh Johnny G Plate, dkk.
Akhir kata, selama Menkominfo kita yang baru punya pandangan Internet Cepat Buat Apa, selama itu pula, jaringan internet yang stabil dan murah susah kita dapatkan.
Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.