Berwisata adalah kegiatan yang paling menyenangkan. Saya berani bertaruh, tidak ada orang di dunia yang tidak menyepakati hal itu. Tak ayal, jika pemerintah di awal-awal pandemi masuk justru membuka lebar pintu pariwisata dengan diskon yang gede-gedean.
Itu tiada lain karena pemerintah ini sudah paham bahwa berwisata adalah kegiatan yang menyenangkan. Tapi terlepas adanya pandemi yang memuakkan ini, saya rasa, berwisata juga tak menyenangkan-menyenangkan amat. Apalagi kalau pas wisata kita nggak bawa makanan atau minuman.
Akan sangat repot sebab itu artinya harus membeli makanan atau minuman dari luar. Dan akan bertambah repot lagi kalau sudah terlanjur masuk ke sebuah tempat wisata. Kalian tentu pernah masuk tempat wisata lantas meremehkan dengan tak membawa makanan atau minuman karena kalian pikir bisa beli di dalam, to?
Sejujurnya saya pernah melakukan hal itu. Tapi, sumpah demi celana Neptunus, saya tidak akan ceroboh mengulanginya lagi. Sebab, membeli makanan atau minuman di tempat wisata bisa saja melubangi dompet dan menguras rekening saya.
Hal ini karena harga makanan yang dijual di tempat wisata biasanya akan jauh lebih mahal dari warung-warung di luar tempat wisata. Saya awalnya kaget dan menyumpahi diri saya sendiri, betapa bodohnya saya membeli satu makanan yang harganya jauh lebih mahal dari harga umum.
Misalnya, kalau di luar area wisata harga satu bungkus Biskuat Rp1000, maka di tempat wisata, katakanlah seperti kolam renang harganya bisa dua kali lipat dari itu. Atau air mineral yang di toko-toko kelontong dekat rumah harganya paling Rp4000-5000 untuk kemasan sedang, lha kalau di tempat wisata bisa dua atau bahkan tiga kali lipat dari itu.
Awalnya saya mengutuk si penjual sebagai agen kapitalisme busuk. Namun, saya akhirnya memahami betapa berjualan di tempat wisata itu tak semudah apa yang dibayangkan.
Contohnya saat beberapa hari lewat, saya berkunjung ke sebuah kafe pinggir pantai di Kabupaten Batang. Saya datang ke sana memesan satu minuman dan seporsi roti bakar.
Tak perlulah kalian tanyakan kenapa saya cuma pesan satu. Dan kalian tahu minuman apa yang saya pesan? Yup benar sekali, Good Day Freeze.
Minuman yang biasanya saya beli di warung depan kampus IAIN Pekalongan seharga Rp3000, di kafe pinggir pantai itu saya mesti membayar Rp6000 untuk segelasnya. Sementara roti bakar seporsi isi empat dihargai Rp8000, yang sebetulnya itu hanya membutuhkan empat roti yang satunya dibagi dua terus ditumpuk.
Tentu harga segitu bagi saya mahal. Wong dengan uang Rp8000 saya bisa beli satu roti sobek beserta meses dan mentega secara ketengan. Ya walaupun dengan harga segitu saya nggak perlu susah-susah bikin sendiri alias cuma nunggu doang.
Tepat di titik itulah saya memahami sekaligus memaklumi kalau harga makanan dan minuman di tempat wisata mahal. Saya tinggal nunggu saja, menikmati pantai, tanpa memikirkan makanan. Ini lain ceritanya kalau saya bawa makanan sendiri.
Gelar tiker sendiri, buka roti dan mengirisnya sendiri, membakarnya sendiri. Repot. Alih-alih menikmati tempat wisatanya, saya malah jadi peserta MasterChef.
Namun bukan sekadar itu. Saya pernah mendengar kala sedikit berbincang dengan pedagang di salah satu tempat wisata. Pedagang itu bilang biaya sewa di tempat wisata mahal. Saya njuk mikir, ini tempat wisata yang mengelola pemerintah daerah, tapi kok malah nyusahin warganya sendiri yang mau jualan di sana.
Selidik punya selidik, yang jualan di tempat wisata itu bukan hanya dari warga lokal. Oalah pantesan. Pemerintah daerah rugi bandar dong kalau sampai mereka berjualan tapi nggak ngasih pemasukan. Jadi mahal sedikit nggak masalah lah ya.
Padahal yang disediakan itu bukan ruko. Ya sekadar sepetak dari lokasi wisata tersebut. Harga sewanya sekitar 5-7 juta per tahun. Kalau ruko bisa lebih mahal daripada itu.
Artinya omzet penjualan harus di atas itu dalam setahun. Jika dikalkulasi sebulan, kira-kira pedagang mesti mendapatkan uang lebih dari Rp400 ribuan. Ironisnya, pendapatan para pedagang itu bergantung pada daya tarik objek wisatanya. Kalau pengunjungnya banyak, ya potensi pembelinya juga banyak.
Sayangnya jumlah wisatawan yang berkunjung juga belum tentu beli makanan di salah satu pedagang. Toh di satu tempat tidak mungkin pedagangnya cuma satu. Jadi jalan keluarnya, pedagangpun menaikan harga makanan atau minuman lebih mahal dari biasanya. Hal ini juga terjadi di objek wisata kolam renang.
Saya yakin, setiap kolam renang ada manajemennya sendiri. Pedagang, yang kebetulan berjualan di situ tentu bukan pedagang sembarangan. Ia boleh jadi pedagang yang punya kemampuan lobbying (baca: orang dalem) yang luar biasa. Barangkali pedagang di situ sudah bekerjasama dengan manajemen kolam renang. Jadi ya wajar saja kalau harganya lebih mahal.
Kalau di tempat wisata yang terbilang baru atau belum tertata mungkin akan berbeda. Pedagang di tempat-tempat begitu juga tak menutup kemungkinan akan menaikkan harga makanan atau minuman. Tapi boleh jadi ini bukan karena tekanan bayar sewa tempat atau aturan manajemen, melainkan momentum.
Sebab berjualan di tempat wisata ini nggak tentu. Seperti yang sudah saya bilang tadi: bergantung pada banyaknya wisatawan yang datang. Seumpama saya berjualan di tempat wisata, saya juga akan menaikkan harga jual dari umumnya, karena mumpung waktunya pas. Pengunjung sedang banyak dan siapa tahu kemudian hari akan sepi pengunjung.
Sampai hari ini, saya pun pada akhirnya memaklumi kalau harga makanan di tempat wisata lebih mahal dari biasanya. Saya pikir, mungkin karena faktor-faktor yang sudah saya sebutkan tadi. Oleh sebab itulah saya mengurangi untuk beli makanan atau minuman di tempat wisata.
Saya juga tak akan membawa makanan dari rumah karena itu sangat menyusahkan dan ngebak-ngebaki tas saja. Daripada melakukan itu, saya mengusahakan beli makanan atau minuman di luar. Tentu saja tidak dalam area wisata. Kalaupun terlanjur masuk dan kelupaan beli makanan, saya lebih memilih berpuasa barang sebentar.
BACA JUGA Stop Bilang Dagangan UMKM di Tempat Wisata Itu Mahal dan tulisan Muhammad Arsyad lainnya.