Kemarin, teman saya tiba-tiba saja mengirim pesan ke WhatsApp. Ia sambat dan mengatakan kalau harga ikan di Lamongan masih saja belum normal. Saya diam sejenak. Kemudian bertanya, “Bukankah sudah lama harga ikan murah?”
Maksud saya, apa belum tuntas juga? Sebab, saya pernah menulis tentang harga ikan yang anjlok ini pada November 2023 di Terminal Mojok. Rasanya sudah hampir setahun, yakali belum ada perkembangannya juga?
Teman saya mengatakan kalau harga ikan memang sejak lama sudah anjlok. Namun, setelah tahun baru kemarin, harganya kian ugal-ugalan.
“Padahal setelah ini waktunya bayar ujian dan rekreasi sekolah”. Teman saya melanjutkan sambatannya. Dan saya cuma bisa turut prihatin. Sambil menanyakan tentang respons pemerintah daerah Lamongan.
Ia kemudian cerita kalau kemarin dilakukan rapat rukun nelayan membahas keanehan harga ikan, yakni ketika pagi hari, ikan rambangan ini dihargai 7 ribu, sedangkan makin siang, makin turun jadi 5.500 rupiah. Para nelayan menduga ada permainan pasar yang menyebabkan harganya tidak masuk akal.
Bayangkan, teman saya ini melaut 25 hari. Iya, 25 hari full di laut. Tapi karena harga ikan di Lamongan yang kian ndlosor, ia hanya dapat sekitar 1 juta, sampai 1,5 juta saja. Di kondisi normal, pendapatannya bisa dua kali lipat, bahkan lebih.
Nelayan menangisi harga ikan, Bupati malah tebar senyuman
Setelah disambati dengan ugal-ugalan, saya mencoba mencari info seputar kinerja pemerintah terhadap harga ikan di Lamongan ini. Dan ketika saya stalking, saya agak kaget, sebab postingan terakhir bupati saya ini adalah konten blio datang di acara K-Popers Lamongan. Tak sampai sana. Postingan kedua terbaru adalah tentang kegiatannya motoran bersama anak vespa Lamongan. Iya, dua konten yang bikin mbatin, “Sampean iki kenopo toh, Pak?
Disclaimer, saya tidak ada masalah dengan kegiatan motoran anak vespa, atau kehebohan anak K-Popers Lamongan. Sama sekali tidak. Hanya saja, akan sangat lucu jika yang menghadiri adalah bupati yang di suatu sudut kebupatennya ada para nelayan yang menunggu sebuah solusi dan kebijakan blio.
Sungguh timpang sekali. Di sisi utara, ada nelayan yang menjerit karena harga ikan. Di pusat pemerintahan, ada perayaan, motoran, dan joget-jogetan. Bukan apa-apa, hanya saja masalah di Lamongan ini masih banyak, lho. Dan sangat perlu untuk diberikan solusi, bukan sekadar dilempar tanggungjawabnya sana-sini.
Misal, tiap ada yang sambat kondisi jalan, langsung ditimpali dengan pertanyaan, “itu jalan nasional atau kabupaten?” atau “Itu jalan desa bukan kabupaten”. Maksud saya, ini kan wilayah kabupaten, meski bukan wewenangnya, ya diusahakan biar bisa mulus. Lakukan lobby atau apa pun itu. Kan sudah digaji dari uang rakyat, toh?
Baca halaman selanjutnya
Lamongan butuh solusi
Bagi warga, tidak penting jalan tersebut punya siapa, mereka hanya ingin jalan yang layak untuk dilalui. Bupati dan pemerintah daerah Lamongan memang sering beralasan bahwa anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) tidak cukup untuk memperbaiki semua masalah. Namun, sebagai yang bertanggungjawab, bukankah seharusnya mencari solusi kreatif untuk mengatasinya? Sebab, minimnya APBD itu bukan urusan rakyat.
Para nelayan Pantura berharap ada perubahan nyata yang bisa membantu mereka keluar dari kesulitan ini. Mereka membutuhkan kebijakan yang bisa menstabilkan harga ikan di Lamongan dan mendukung kesejahteraan mereka.
Melihat ketimpangan yang ada, mulai dari nelayan yang kesulitan hingga infrastruktur yang belum memadai, sudah saatnya pemerintah daerah lebih peka terhadap kebutuhan warganya. Sebab, yang ditunggu dari sosok pemimpin adalah sebuah solusi nyata, bukan konten joget-joget di sosial medianya.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Meromantisisasi Lamongan Adalah Hal yang Mustahil, Kota Ini Tercipta untuk Dicintai Apa Adanya