Harga beras hari ini memang bener-bener kita naik pitam. Masak beras aja susah, Indonesia lhooo!
September nggak selalu ceria seperti halnya judul lagu Vina Panduwinata. September untuk beberapa tahun terakhir terkesan sedikit menyeramkan. Lah gimana, September itu semacam jadi alarm kalau sebentar lagi (setidaknya tiga bulan lagi) akan pergantian tahun, tapi hidup masih gini-gini aja dan selalu terasa amat berat. Bahkan bagi kalangan kelas menengah ke bawah, nggak hanya September, hampir setiap bulan di sepanjang tahun tuh serem, deh.
Selain dibuka dengan pemberitaan politik, kriminal, dan tingkah lucu para petinggi negeri, September juga menyambut masyarakat Indonesia dengan kenaikan harga beras. Panel Harga Badan Pangan mencatat, harga beras per 11 September lalu pecah rekor, naik Rp60 ke Rp12.760 per kg untuk jenis medium dan jenis premium naik Rp60 ke Rp14.390 per kg. Yah elah, cuma naik Rp60. Hey hey, bukan begitu. Bahkan, salah satu harga jenis beras hampir menyentuh Rp 15.000 per liternya.
Harga beras hari ini tak melejit begitu saja. Harga beras dalam beberapa bulan terakhir terus konsisten mengalami kenaikan. Sejak sebelum lebaran, tepatnya pada Maret 2023, kenaikan harga beras sudah mulai terjadi dibarengi dengan harga komoditas pangan utama lainnya.
Daftar Isi
Menyalahkan kondisi adalah jalan ninjaku
Apa penyebabnya? Seperti sebelum-sebelumnya, pemerintah selalu “menyalahkan” kondisi global. Dikutip dari CNBC Indonesia, Presiden Jokowi sih bilangnya kenaikan harga beras yang terjadi di Indonesia disebabkan karena kenaikan beras yang terjadi secara global.
Menurutnya, harga beras naik imbas dari beberapa negara yang menghentikan ekspornya. Tapi mohon maaf nih, alasan begitu kok terkesan agak “basi” yah. Seluruh fenomena kenaikan komoditas vital selalu alasannya begitu. BBM naik karena harga minyak dunia naik. Harga mie naik karena perang Rusia-Ukraina, minyak naik karena lonjakan harga minyak nabati Dunia. Begitu juga daging, yang naik karena kebutuhan daging dunia tinggi sehingga harganya juga ikut naik.
Betul saat ini dunia telah mengalami yang namanya “the borderless economy”. Di mana setiap aktivitas ekonomi seluruh negara di dunia tampak menyatu dan berkaitan satu sama lain karena tingginya transaksi ekspor dan impor barang dan jasa. Tapi tetap saja, sebuah negara harus punya barrier ekonomi yang kuat biar nggak terombang-ambing ketika kondisi ekonomi global tidak menentu.
Kondisi Indonesia sekarang tidak jauh berbeda dengan orang primitif atau tunawisma yang hidup tanpa rumah dan tanpa busana yang makanannya semua tergantung dari alam. Siang kepanasan, malam kedinginan, dan badai atau hujan akan basah karena nggak punya rumah. Dan ketika sumber makanannya hilang, nyalain kondisi alam. Alih-alih berusaha menyediakan semuanya sendiri.
“Lah bukannya pemerintah sudah bersedia menyediakan tapi memang belum cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri?”
Lah gimana mau cukup, petaninya nggak diberdayakan, lahannya dipakai untuk IKN, dan banyak mafia-mafia pangan pengennya impor biar dapat tender. Terus, apa kabar food estate?
Harga beras hari ini bisa memicu inflasi
Tentu kenaikan beras ini secara langsung akan berpengaruh pada kenaikan harga komoditas agregat. Ingat, beras adalah komoditas pangan utama masyarakat Indonesia. Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS September 2022 menyebutkan 98,35% rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras. Per September 2023, rata-rata konsumsi beras per kapita, baik lokal, kualitas unggul, maupun impor, tercatat mencapai 6,81 kg per bulan atau per orang sebulan itu habisin kira-kira beras sekitar 6 kg lebih.
Mungkin saat ini belum terlalu dirasakan inflasinya. Untuk per pertengahan tahun ini inflasi masih tercatat di angka 3 persen yang dianggap terkendali. Tapi apabila kenaikan ini konsisten terjadi, bisa-bisa harga bahan utama lainnya akan naik. Kenaikan inflasi 1 persen itu sangat terasa loh. Selain itu, sebentar lagi juga masuk tahun politik, tahun yang ditunggu-tunggu oleh kita semua.
Nah terus gimana sih, naiknya harga beras hari ini bisa memicu inflasi?
Ilustrasi kasarnya begini. Misalnya saya adalah pemilik warteg. Belanja harian untuk beras yang sebelumnya dialokasikan sebesar Rp10 ribu/kg menjadi Rp12 ribu kg. Kenaikan Rp2 ribu ini akan berpengaruh signifikan karena jumlah beras yang saya beli per hari misalnya minimal 5 kg yaitu seharga Rp60 ribu. Ada penambahan biaya Rp10 ribu dari total biaya produksi yang saya keluarkan. Kalau diakumulasikan sebulan, artinya biaya produksi warteg saya mengalami penambahan sebesar Rp300 ribu.
Siasat yang saya lakukan supaya omzet tetap bagus dan nggak rugi tentu dengan menaikan harga menu makanannya sedikit demi sedikit. Misalnya gorengan yang biasanya Rp1 ribu/potong, sekarang jadi Rp2 ribu dapat tiga. Tumis kangkung yang awalnya Rp3 ribu bisa dapat dua sendok sayur, sekarang jadi hanya satu setengah sendok sayur. Ikan goreng yang awalnya Rp9 ribu/ekor jadi Rp10 ribu/ekor.
Circle domino effect
Oleh karena warteg adalah tempat makan yang konsumennya heterogen, ada tukang ojol, ada buruh pabrik, dan banyak lagi yang lainnya, kenaikan menu makanan di warteg selanjutnya berimplikasi secara perlahan-lahan terhadap pengeluaran untuk makan para konsumen yang datang.
Para konsumen yang juga pedagang komoditas lain pada gilirannya juga akan menaikkan harga dagangannya. Hal itu berlanjut secara terus menerus. Ini yang disebut sebagai circle domino effect dalam fenomena ekonomi. Efeknya muter-muter dan simultan. Nah kalau ini terjadi terus-terusan dan dibiarkan begitu saja, akan berakibat pada kenaikan angka inflasi bulanan, bahkan tahunan.
Bantuan untuk mengatasi efek naiknya harga beras hari ini yang nggak efektif
Menanggapi potensi inflasi, Presiden Jokowi sendiri sebelumnya telah menginstruksikan agar secepat mungkin disalurkannya bantuan pangan beras ke masyarakat hingga November 2023. Setiap bulannya, dialokasikan sekitar 210 ribu ton beras yang didistribusikan kepada sekitar 21,3 juta masyarakat yang masuk kategori keluarga penerima manfaat.
Tapi kok hanya 21 juta ya Pak? Padahal masyarakat kelompok rentan dan miskin di Indonesia itu jumlahnya ada di kisaran 94 juta orang. Bagaimana nasib mereka tuh?
Lagi pula, saya yakin mayoritas penerima bantuan beras itu juga bakal jual berasnya lagi supaya bisa beli makan di warteg. Lah gimana, wong masak nasi juga butuh gas, dan makannya juga butuh lauk. Yah mending berasnya dijual biar bisa beli makan di warteg yang sudah siap.
Terus pertanyaannya, mau sampai kapan kebijakan ini bertahan untuk menekan inflasi? Atau jangan-jangan mau tunggu inflasinya naik dulu? Kalau naik pasti bisa diselesaikan ya? Oh iya, kan ada Pak Luhut.
Penulis: Muhamad Iqbal Haqiqi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Harga Beras (Masih) Tinggi: Blunder Pemerintah yang Hobi Impor