Pemerintah bolak-balik hendak menaikkan harga BBM bersubsidi dan membatasi penerimanya. Harga minyak yang terus meningkat dan konsumsi yang melebihi ekspektasi membuat anggaran subsidi jebol dan seharusnya berpengaruh ke harga BBM terbaru. Di sisi lain, BBM bersubsidi kayak Pertalite diminum oleh mereka yang sebetulnya tidak berhak.
Berbulan-bulan lamanya upaya untuk menekan tingkat konsumsi BBM bersubsidi digodok. Mengharapkan masyarakat berhemat dan beralih secara sukarela ke BBM nonsubsidi itu sulit. Ketika sebenarnya sekarang Pertamax masih disubsidi, lihat saja selisih harganya dengan bensin setara dagangan VIVO, Shell, atau BP. Mobil mewah dengan pemiliknya yang tak tahu malu tetap saja minum Pertalite.
Di sisi lain, mengandalkan aplikasi untuk membatasi orang membeli Pertalite hanya semakin menyusahkan masyarakat kelas bawah. Membeli ponselnya mungkin masih sanggup, tetapi belum tentu dengan kerepotan pemakaiannya, apalagi jika sudah terbiasa bersama Nokia batangan. Kriteria pembatasan harga BBM terbaru pun tidak mudah untuk dipilih.
Siapa yang boleh “minum” BBM bersubsidi?
Untuk sepeda motor, terjadi kesepakatan di masyarakat bahwa kubikasi mesin 250cc ke atas tidak layak minum Pertalite. Pendapat berbeda muncul ketika membicarakan mobil pribadi. Ada yang menjadikan kubikasi 2000cc sebagai batas, lebih banyak lagi menyuarakan 1500cc, dan sisanya merasa tidak ada mobil pribadi yang layak mendapatkan BBM bersubsidi sama sekali.
Mobil dianggap tidak layak minum BBM bersubsidi apalagi jika sudah ada penyesuaian harga BBM terbaru karena pemiliknya dianggap sudah hidup berkecukupan. Belum lagi jika batas kubikasi diterapkan, pendapat Mas Rahadian di Terminal Mojok ada benarnya bahwa bisa saja mobil berkubikasi mesin rendah belum tentu harganya murah dan dimiliki oleh kaum biasa saja.
Tidak selamanya mobil itu mahal dan motor itu murah
Masalahnya, tidak semua mobil, sekalipun berkubikasi mesin tinggi, harganya mahal. Jika saya hidup sendiri atau baru menikah, tentu Daihatsu Ceria keluaran 2002 atau 2003 seharga Rp30-Rp40 juta tidak terasa kecil dan dia berada di segmen harga yang sama dengan Yamaha Vixion atau XSR-155 baru.
Ketika keluarga saya membesar, modal untuk membeli Honda Super Cub C125 bisa digunakan untuk membawa pulang Daihatsu Xenia keluaran 2008-2011 atau Toyota Kijang kapsul keluaran 2000-2003. Perbandingan terakhir perlu dicermati karena Honda Super Cub C125 baru memiliki kubikasi mesin 125cc yang sekilas bahkan lebih kecil dari Yamaha NMax dan berpeluang besar bisa menikmati penyesuaian harga BBM terbaru nanti, khususnya yang bersubsidi. Sementara itu, Toyota Kijang kapsul memiliki kubikasi mesin 1800cc yang berpeluang besar tidak bisa minum BBM bersubsidi.
Membatasi harga kendaraan juga tidak mudah karena produk baru kelas menengah bisa berharga sama atau lebih mahal dari produk lama kelas atas. Kita tentu tahu bahwa mobil Mercy, sekalipun ia adalah C200 tua bekas taksi, kelasnya pasti di atas LCGC tetapi belum tentu dengan harganya. Namun, sekalipun harganya sama atau bahkan Mercy lebih murah, kita tahu bahwa pembeli LCGC akan cenderung memenuhi kebutuhan dasarnya saja dan pembeli C200 ingin merasakan sensasi kenyamanan yang lebih wah.
Tidak selamanya orang yang bergaji besar itu lebih sejahtera
Gimana kalau kita menengok gaji si pemilik mobil? Tentu lebih rumit lagi untuk menentukan siapa yang layak menikmati penyesuaian harga BBM terbaru kelak.
Sudah jamak terjadi ketika orang tua membelikan mobil untuk anaknya yang masih sekolah atau kuliah. Di sini, jelas, pendapatan si anak adalah nol. Namun, tahukah kamu, buat mereka dengan “gaji lumayan” belum tentu bisa hidup nyaman di tengah perubahan harga BBM terbaru dan kepemilikan akan mobil.
Mengutip pernyataan Mari Teba di Quora, orang bergaji Rp30 juta belum tentu lebih sejahtera dari orang bergaji Rp10 juta. Apalagi jika ternyata orang pertama hidup sebagai generasi sandwich, terhimpit kebutuhan KPR, hidup di kota besar, dan bakal makin nggak kuat beli Pertalite.
Mobil sudah menjadi kebutuhan dasar keluarga
Ini kenyataan yang semakin hari semakin sulit untuk ditolak, yaitu mobil sudah menjadi kebutuhan dasar bagi beberapa keluarga. Ketika masih melajang atau baru menikah, sepeda motor sudah terasa sangat mewah. Namun, ceritanya akan berubah sekalinya sudah memiliki anak. Bisa jadi, mobil bukan lagi barang mewah.
Ketika sakit dan harus segera meluncur ke rumah sakit, mobil jelas kebutuhan. Untuk bepergian secara rombongan, mobil lebih fleksibel. Ketika anak sekolah di tempat jauh, pasti lebih nyaman naik mobil. Apalagi ketika transportasi publik kurang ramah di lokasi keluarga ini tinggal.
Oleh sebab itu, pemilik mobil pasti resah ketika kabar penyesuaian harga BBM terbaru muncul. Apalagi mereka yang terbiasa minum Pertalite demi menghemat ongkos, padahal mereka “mengambil” jatah orang lain di konsep BBM bersubsidi.
LCGC perlu disesuaikan
Ketika LCGC (Low Cost Green Car) yang katanya mobil murah itu pada akhirnya banyak melahirkan pemilik mobil yang kurang layak menikmati penyesuaian harga BBM terbaru. Kesalahannya terletak pada pembuat kebijakan LCGC itu sendiri.
Lihat saja evolusi LCGC yang ada saat ini. Mereka dibekali dengan fitur yang semakin hari semakin tinggi sehingga selisih harganya dengan mobil non-LCGC menipis dan turut dipilih oleh mereka yang lebih mampu. Buktinya jelas, Suzuki S-Presso dan Renault Kwid Climber yang bukan LCGC masih bisa bersaing secara harga.
Nah, untuk memastikan bahwa pemilik LCGC benar-benar layak mendapatkan BBM bersubsidi, ubah standar mobil LCGC jadi lebih mengenaskan. Mesinnya tidak perlu besar-besar sampai harus menjadi sangat bertenaga untuk diajak berlibur. Selama kuat digunakan sehari-hari dan bisa menanjak ketika diperlukan sudah terasa cukup. Fitur cukup seadanya, asalkan sudah membuat mobil cukup aman dan nyaman untuk kebutuhan dasar. Jika mobil berada di luar standar LCGC baru ini, tidak usah minum BBM bersubsidi.
Gambaran mobil yang boleh minum Pertamax dan Pertalite
Misalnya begini, Daihatsu Ceria dengan mesin 850cc itu terbukti cukup. Jangankan 850cc, Daihatsu Taft baru yang mesinnya hanya 660cc pun ada saja peminatnya meskipun harus memboyong dengan harga mahal dari ATPM.
Daihatsu Hijet dengan mesin 360cc dan Mitsubishi Minicab dengan mesin 550cc juga bisa jadi pilihan. Mendatangkan mobil dengan mesin 660cc seperti Kei car sudah sangat cukup sekalipun tanpa keberadaan turbocharger. Transmisi boleh saja otomatis, tetapi tidak perlu sampai menggunakan teknologi CVT.
Nah, untuk mobil yang lebih besar dengan kapasitas 7 penumpang, mesin 1000cc dan lagi-lagi tanpa turbo sudah cukup. Sebelum Daihatsu Sigra datang, kita sudah merasakan keandalan Daihatsu Xenia. Di dalam mobil, kenyamanan cukup standar saja dengan head unit satu DIN yang asal bisa mendengarkan siaran radio dan gagang setir polos tanpa tombol.
Pendingin ruangan dengan pengatur analog sudah cukup dan tidak perlu double blower, sekalipun mobil tiga baris cukup dilengkapi dengan air circulator alias kipas angin seperti milik Daihatsu Sigra. Kamera parkir tidak perlu diberikan, cukup sensor parkir standar dan pengendara bisa mengandalkan kemampuan dasar mengemudinya untuk menggunakan kaca spion. Power window cukup di kaca depan, kaca belakang engkol pun tidak masalah.
Keamanan boleh sedikit lebih diperhatikan. Pemberian dual airbag di bagian depan, side impact beam, kursi ISOFIX untuk anak, rem ABS, dan seatbelt tiga titik sudah cukup. Produsen tidak diperkenankan menjual aksesoris tambahan sehingga tidak memberikan celah untuk upgrade resmi. Si mampu tentu akan berpikir 2 kali jika mau meminangnya pulang demi menikmati penyesuaian harga BBM terbaru.
Bagaimana dengan motor?
Demikian pula dengan sepeda motor, tidak perlu minum Pertalite untuk motor sport. Pakai saja motor standar asal sudah bisa diajak berkomuter. Kapasitas mesin 150cc nggak boleh menikmati penyesuaian harga BBM terbaru, wong 150 cc itu sudah masuk kelas underbone di ajang balap Asia Road Racing Championship. Honda Revo 110 cc dan Yamaha Mio 125 cc sudah cukup. Jika perlu, kita bisa mundur ke masa lalu ketika Honda Astrea dan Honda Supra Fit masih mengandalkan mesin 100cc.
Sekian cerita saya mengenai pembatasan BBM bersubsidi dan siapa yang berhak menerimanya. Besar harapan, pemerintah berhati-hati untuk menentukan harga BBM terbaru, khususnya Pertalite dan solar. Namun, jauh lebih penting lagi memastikan pembatasan BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran.
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Harga BBM Pertamax Rp17.300, Pertalite Rp10.000, Pertamina Minta Masyarakat Tak Panik