Selama tinggal di Jogja, saya sudah beberapa kali mengunjungi perpustakaan, baik umum maupun sekolah. Di setiap perpustakaan yang saya datangi, rata-rata memiliki satu kesamaan, yakni suasananya yang sunyi, senyap, dan monoton.
Saya pun bertanya-tanya, apakah perpustakaan memang harus memiliki suasana yang sunyi dan kaku begitu? Dan, mengapa para pustakawan tidak melakukan sesuatu untuk mengubah suasana tersebut menjadi lebih asyik dan cair?
Itu adalah dua buah pertanyaan yang awalnya belum saya pikirkan dengan serius. Namun, di kemudian hari, pertanyaan tersebut muncul kembali. Bedanya, kali ini saya membawa pertanyaan itu kepada teman dan kenalan yang paham di bidang perpustakaan. Dari semua jawaban yang saya terima, seluruhnya memiliki satu benang merah, yakni agar tercipta suasana yang tenang, kondusif, dan mudah berkonsentrasi. Namun, apa benar demikian?
Daftar Isi
Bagaimana suasana yang cocok untuk membaca?
Saya pun membuka beberapa artikel populer, salah satunya artikel yang dipublikasikan di website milik Perpustakaan Soepardi Roestam BPP Kemendagri. Dengan tidak adanya kebisingan, konsentrasi dalam belajar akan meningkat dan ketenangan akan tercipta. Di beberapa artikel lainnya pun maksudnya kurang lebih sama yakni, hening-sunyi atau tidak bising bisa menciptakan suasana yang cocok untuk belajar (membaca).
Baiklah, sampai sini saya akan ikut mengamini bahwa “kebisingan” memang dapat mengganggu konsentrasi seseorang. Namun, kebisingan seperti apa yang dimaksud? Apakah segala jenis suara atau hanya suara-suara tertentu?
Kebisingan atau bising dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu hiruk-pikuk, ramai: berdengung-dengung, berdesir-desir, berdesing-desing hingga menyebabkan telinga seperti pekak.
Sampai sini seharusnya kita sudah bisa sedikit memahami tentang apa saja ciri dan karakteristik suara yang “diharamkan” oleh perpustakaan. Suara-suara yang sekiranya memberikan rasa tidak nyaman di telinga, mengalihkan perhatian, dan suara nyaring akan dikategorikan sebagai suara penganggu. Namun, bagaimana dengan musik?
Menempatkan posisi musik secara adil di perpustakaan
Musik memiliki susunan nada dan harmonisasi di dalamnya yang kemudian melahirkan keindahan bunyi. Jadi, agak sedikit tidak adil jika mengategorikan musik sebagai bentuk kebisingan tanpa memedulikan hal tersebut.
Saya lebih suka mengategorikan musik sebagai suara yang berada di posisi abu-abu. Walaupun begitu, sampai saat ini, saya masih jarang untuk menemukan perpustakaan yang menjadikan pemutaran musik sebagai kegiatan hariannya. Mungkin saja penyebab mengapa hal itu terjadi adalah adanya asumsi bahwa musik disamakan dengan suara bising yang dapat menyebabkan turunnya konsentrasi dan membuat tidak nyaman pemustaka.
Asumsi tersebut sangat bertolak belakang dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para akademisi. Salah satunya ialah penelitian berjudul Pengaruh Musik Terhadap Kenyamanan Membaca Pengunjung Di Perpustakaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Selatan yang ditulis oleh Diah Saptarini.
Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa pemutaran musik yang dilakukan oleh pustakawan perpustakaan kantor perwakilan Bank Indonesia provinsi Sumatera Selatan mempunyai pengaruh terhadap kenyamanan pembaca dengan membantu mengurangi rasa stres, memberikan rasa nyaman, dan ketenangan.
Musik terbukti mampu menurunkan ketegangan, meningkatkan konsentrasi, dan mencairkan suasana. Selain itu, musik juga dapat digunakan sebagai alat untuk membantu dalam mengembangkan kemampuan pribadi.
Lantas, apakah dengan adanya hasil penelitian dan fakta yang demikian musik bisa lepas dari tuduhan “haram” di perpustakaan? Jawabannya bisa ya dan tidak. Abu-abu. Tergantung situasi dan kondisi perpustakaan serta jenis musik yang diputar.
Musik “halal” untuk perpustakaan
Selanjutnya, tentang jenis musik yang “halal” di perpustakaan, saya tidak pernah berpikir bahwa semua jenis musik dapat diperdengarkan di tempat penuh pembaca ini. Menurut saya, musik “halal” adalah musik yang mampu membawa ketengan, rasa rileks, asyik, membantu konsentrasi, dan mereduksi ketegangan ketika membaca.
Saya sendiri merasa agak kesulitan ketika harus mencari musik dengan kriteria seperti itu, tapi memang harus begitu adanya. Musik yang mengganggu jalannya ekosistem perpustakaan sama saja dengan suara bising sekalipun suaranya merdu di telinga. Lantas, musik apa yang cocok diputar di perpustakaan?
Jika melihat berbagai hasil penelitian, jenis musik yang paling cocok diputar adalah musik instrumental, khususnya musik klasik karya komposer terkenal, Mozart. Efek dari musiknya dikenal dapat menstimulasi dan merangsang kecerdasan jalinan otak sehingga tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa musik tersebut dapat meningkatkan konsentrasi dan daya pikir.
Dr. Alfret Tomatis, seorang dokter dari Perancis mengatakan bahwa musik klasik Mozart mampu menyumbangkan energi kepada otak dan menciptakan suasana yang lebih santai. Hal yang sama juga disampaikan oleh Siegel bahwa musik karya Mozart menghasilkan gelombang alfa yang menenangkan serta bisa menstimulasi sistem limbik pada neuron otak.
Silakan dinikmati kesimpulannya, Mas/Mbak
Saya menarik kesimpulan bahwa musik tidaklah haram di perpustakaan secara mutlak selama memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan begitu, musik akan menjadi “halal” dan dapat dijadikan kegiatan harian di perpustakaan. Selain itu, dengan adanya musik di perpustakaan, diharapkan adanya perubahan suasana yang semula sunyi, senyap, dan kaku menjadi tempat yang lebih asyik dan santai.
Penulis: Maulana Hasan
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Perpustakaan Grhatama Pustaka, Tempat Healing Terbaik Mahasiswa Jogja.