Rasa-rasanya, di mana saja saya berada, pasti ada saja perantauan dari Wonosobo. Ketika saya merantau ke Jakarta, ada kenalan yang berasal dari daerah dengan julukan Negeri di Atas Awan ini. Ketika saya kembali ke Jogja, saya bertemu lebih banyak perantau dari Wonosobo. Mungkin faktor kedekatan menjadi salah satu alasan Jogja jadi daerah perantauan favorit orang-orang Wonosobo.
Asal tahu saja, Jogja salah satu kota besar yang paling dekat dengan Wonosobo. Kalau melihat Google Maps jaraknya hanya 106 kilometer saja atau 3 jam perjalanan. Walau jaraknya tidak begitu jauh, ada banyak perbedaan yang bisa ditemui antara 2 daerah tersebut. Perbedaan-perbedaan yang juga baru saya sadari ketika kawan-kawan saya banyak cerita tentang daerahnya:
Daftar Isi
#1 Berendam air hangat jadi kegiatan yang wajar di Wonosobo
Berendam bersama alias angum menjadi kegiatan yang wajar di Wonosobo. Tidak hanya orang-orang tua, angum dilakukan oleh berbagai usia, termasuk anak muda. Biasanya angum dilakukan di sore menjelang malam hari ketika udara luar mulai dingin. Tidak melulu di akhir pekan, angum bisa dilakukan kapan saja, apalagi ketika badang sedang lelah. katanya, setelah berendam badan menajdi lebih rileks sehingga pas untuk beristirahat.
Kebiasaan berendam tidak lepas dari banyaknya pemandian air panas di Wonosobo. Setahu saya ada beberapa yang terkenal seperti pemandian Munggang, Tegalsari, Kalianget, Manggisan, Serayu Kalibeber, dan Genggong di Kebrengan. Kebiasaan itu jelas asing untuk warga Jogja yang nggak banyak memiliki sumber mata air panas. Selain itu, kebanyakan daerah di Yogyakarta itu sumuk alias gerah.
#2 Muda-mudi nongkrong di wedang ronde hal yang lumrah
Kawan saya cerita, budaya nongkrong di Jogja dan Wonosobo cukup berbeda. Kalau di Jogja, muda-mudi ngobrol ngalor-ngidul di kafe, warung kopi, warmindo, atau mentok-mentok angkringan. Sangat jarang ada ditemui muda-mudi yang nongkrong di wedang ronde.
Padahal di Wonosobo, muda-mudi nongkrong di wedang ronde adalah hal yang snagat lumrah. Katanya, dengan membeli semangkuk wedang ronde yang harganya ramah di kantong itu, mereka bisa ngobrol ngalor-ngidul hingga larut malam. Kalau kalian nggak percaya, bisa mampir ke wedang ronde Badam di Jalan A Yani Ngepelan atau wedang ronde depan PDAM Wonosobo.
Baca halaman selanjutnya: #3 Jalanan …
#3 Jalanan Wonosobo tidak ada klitih
Wonosobo tidak mengenal istilah klitih di jalanan. Berbeda dengan Jogja, aksi klitih sempat menjadi momok jalanan yang menimbulkan ketakutan warga. Bukan berarti tidak ada kejahatan jalanan di Wonosobo. Tetap ada aksi-aksi seram di jalanan seperti tawuran. Tapi, aksi ini dilakukan oleh geng-geng preman yang ada di sana. Mereka tidak melakukan pembegalan atau pembacokan secara random seperti klitih di Jogja.
#4 Musim hujan hampir sepanjang tahun
Ini hal yang sepele, tapi begitu mempengaruhi keseharian kawan saya. Di Wonosobo, hujan hampir terjadi setiap hari. Sangat jarang jalanan tidak basah. Itu mengapa, kawan saya sehari-hari membawa payung, sandal, atau peralatan menghadapi hujan lainnya.
Kebiasaan itu terbawa ketika merantau ke luar Wonosobo, Jogja salah satunya. Hampir setiap hari teman saya membawa perlengkapan menghadapi hujan. Jelas saja upaya itu sia-sia karena Jogja hanya hujan ketika musimnya tiba.
Di atas beberapa hal-hal yang dianggap wajar di Wonosobo, tapi ternyata kurang lumrah di Jogja. Untungnya, perbedaan itu tidak begitu menyulitkan perantau ketika menyesuaikan diri. Nyatanya, hingga saat ini masih banyak jumlah perantau Wonosobo di Kota Pelajar ini.
Penulis: Kenia Intan
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Tanda Kalian Nggak Cocok Tinggal di Wonosobo, Pikir Dua Kali Sebelum Tinggal di Sini
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.