Suatu hari saya pernah dimintai tolong untuk menjadi tim medis di sebuah konser yang dihelat suporter sepak bola Surabaya. Didorong rasa utang budi karena pernah ditolong oleh salah satu pentolannya yang saya kenal, saya pun mengiyakan. Dalam batin saya, “Toh, apa sih hal terburuk yang bakal terjadi pada tim medis sebuah acara yang digelar suporter sepak bola?”
Ternyata, selain konser musik, ada juga acara donor darah dan pemeriksaan kesehatan gratis untuk penonton. Potensi-potensi kericuhan sudah disimulasikan dan dimitigasi dengan matang oleh para panitia dalam setiap rapat. Ambulans akan disiagakan di samping tenda medis. Saya jadi optimistis, acara akan lancar-lancar saja.
Pada hari-H, acara dimulai dari siang hari. Tenda medis yang menaungi acara donor darah dan pemeriksaan kesehatan yang saya kira akan sepi ternyata lumayan ramai. Beranjak malam, konser makin ramai oleh penonton. Apalagi ketika yang tampil adalah bintang tamu utama, NDX AKA. Meskipun bau alkohol menyeruak, nggak ada kericuhan sama sekali.
Di tenda medis, beberapa kali saya didatangi pasien yang cukup unik. Ada seorang laki-laki yang digotong ramai-ramai oleh kawannya ke tenda medis dalam keadaan sudah nggak sadar, namun langsung ditinggal. Ketika melihat orang nggak sadar seperti itu, refleks saya sebagai dokter tentu langsung memeriksanya. Namun, salah satu kawan yang menggotongnya berkata kepada saya sebelum pergi:
“Wes, nggak popo, Dok. Jarno ae, nggak popo kok arek iki, mengko lak sadar dewe.”
Benar saja, nggak lama berselang, pria tadi akhirnya sadar dan langsung melibatkan diri kembali ke barisan penonton. Beberapa juga ada yang diantar ke tenda medis karena mengalami kram dan keseleo pada kakinya. Tapi, pasien yang paling banyak mendominasi adalah orang-orang yang nggak sadarkan diri, tapi cuma sebentar, seperti pasien yang pertama tadi. Belakangan saya baru tahu mereka nggak sadarkan diri karena terlalu mabuk.
Ketika acara telah selesai dan saya sedang beres-beres, datang beberapa anak laki-laki ke tenda medis menemui saya. Kata mereka, wajah salah satu kawannya baru ditonjok karena kesalahpahaman. Setelah melakukan pemeriksaan, saya katakan wajahnya hanya memar, cukup mendapat penanganan ringan.
Setelah selesai, saya bersama kawan saya bergegas menuju parkiran untuk mengambil motor dan segera pulang. Ketika sampai di motor, saya baru sadar jaket saya ketinggalan di tenda medis, sementara karcis parkir ada di saku jaket tersebut. Setelah mengambil jaket di tenda medis dan kembali ke parkiran, ternyata sedang terjadi keributan yang sepertinya berpotensi kericuhan di parkiran. Entah apa sebab, yang jelas sudah ada beberapa aparat berseragam disana.
Ketika hendak menuju motor yang jaraknya cukup jauh, saya tiba-tiba dicegat beberapa orang. Di sinilah masalahnya terjadi. Ternyata pangkal keributan di parkiran ini adalah anak laki-laki yang kena tonjok tadi. Dia ternyata ditonjok seorang polisi berseragam yang sekarang sedang dikepung di parkiran. Mereka yang mencegat saya ini nggak terima dengan peristiwa ini dan meminta pendapat saya untuk melakukan visum,
“Ya opo iki, Dok? Visum ae ta? Iki arek di bawah umur lho, nggak gawe masalah, nggak ngerti opo-opo, malah diantem!”
Seketika itu juga saya merasa menjadi orang sial yang berada di waktu dan tempat yang salah. Perlu diketahui (karena masih banyak yang belum tahu), ketika membuat visum di fasilitas kesehatan, baik puskesmas, klinik, ataupun rumah sakit, dokter akan meminta Surat Permintaan Visum et Repertum (SPVR), yang mana SPVR ini diberikan oleh polisi setelah menerima laporan di kantor polisi. Jadi alurnya adalah, korban kekerasan melaporkan kejadian ke kantor polisi, polisi menerbitkan SPVR, korban didampingi polisi ke fasilitas kesehatan, kemudian menyerahkan SPVR dan meminta visum oleh dokter.
Saya ingin menjawab dan menjelaskan hal tersebut kepada mereka yang meminta pendapat saya tadi, tapi dalam situasi dan kondisi yang nggak kondusif seperti ini, selain karena takut malah jadi salah paham baru, saya kira nggak akan bijak menjawab seperti itu. Bahkan mungkin malah menambah kekesalan mereka. Apalagi pelaku yang akan dilaporkan seorang oknum polisi. Bayangkan, oknum polisi dilaporkan ke polisi di kantor polisi untuk minta visum yang nantinya didampingi oleh polisi lagi. Terlalu banyak polisi dalam kasus ini.
Saya berusaha menjawab mereka sediplomatis mungkin sambil berusaha mengulur waktu, berharap akan ada pertolongan dari Allah. Memang kalau lagi sulit baru ingat Allah. Dan alhamdulillah, nggak lama berselang, kapolsek setempat akhirnya datang.
Secara berangsur orang-orang yang mencegat dan meminta pendapat saya tadi teralihkan fokusnya ke pak kapolsek. Kesempatan ini saya gunakan untuk segera menyusul kawan saya yang sudah menunggu di motor, tanpa dia tahu kejadian yang baru saja saya alami.
Bagi saya, kejadian tersebut merupakan salah satu pengalaman menarik dalam kehidupan dan karir saya sebagai dokter. Kalau ditanya, apakah kapok untuk berurusan dengan acara-acara yang dihelat oleh suporter sepak bola lagi, terutama di Surabaya, saya kira nggak. Malah kepengen lagi sih. Toh, apa sih hal terburuk yang bakal terjadi pada tim medis dalam sebuah acara yang digelar suporter sepak bola? Paling buruk ya jadi orang sial yang berada di waktu dan tempat yang salah aja.
BACA JUGA Begini Cara Dokter Menyatakan yang Benar Itu “Benar” dan yang Salah Itu “Salah”
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.