Hal-hal yang Lumrah di Nganjuk, tapi Sulit Ditemui di Jogja

Hal-hal yang Lumrah di Nganjuk, tapi Sulit Ditemui di Jogja Mojok.co

Hal-hal yang Lumrah di Nganjuk, tapi Sulit Ditemui di Jogja (wikipedia.org)

Nganjuk salah satu kabupaten di Jawa Timur yang asing bagi saya. Walau pernah beberapa kali membaca tentang daerah ini di Terminal Mojok, belum pernah sekali pun saya mengunjungi daerah Nganjuk. Itu mengapa, saya kurang relate. ketika membicarakan atau membaca soal Nganjuk, 

Saya merasa jadi lebih relate ketika teman saya membandingkan Nganjuk dengan Jogja. Selama kurang lebih 2 bulan dia tinggal di Jogja, dia sudah banyak menemukan banyak perbedaan. Banyak hal yang lumrah atau mudah ditemui di Nganjuk nyatanya begitu berbeda ketika di Jogja. 

#1 Pecel Nganjuk lebih lengkap

Pecel salah satu kuliner yang populer di Nganjuk. Makanan yang terdiri dari berbagai sayur mayur yang kemudian disiram dengan bumbu kacang itu semacam jadi menu yang ada hampir di setiap rumah makan. Isian pecel di Nganjuk pun lebih lengkap daripada yang dijual di Jogja. Misal, cukup sulit menemukan pecel dengan isian ikan goreng di Kota Pelajar ini. Padahal, kalau di Nganjuk, ikan goreng adalah bagian dari pecel itu sendiri yang sifatnya wajib. Bahkan, pembeli  tidak akan lagi ditanya pakai ikan atau tidak. Mereka akan langsung menerima pecel lengkap dengan ikan gorengnya. Selain ikan, bahan lain yang jarang ada di pecel Jogja adalah daun lamtoro. 

#2 Konvoi

Katanya, konvoi perguruan silat menjadi pemandangan yang biasa bagi warga Nganjuk. Apalagi bagi mereka yang sehari-hari melintasi jalan-jalan utama seperti Jalan A. Yani. Konvoi biasanya terdiri atas beberapa orang yang menggunakan kostum atau identitas lain kebanggaan masing-masing perguruan silat. Mereka menggeber kendaraan sehingga menyita perhatian banyak orang. Konvoi biasanya dilakukan sebelum atau sesudah klub tersebut bertanding. Kata teman saya, minimal ada 2-3 kali konvoi dalam sebulan. 

Itu mengapa teman saya begitu heran, selama 2 bulan hidup di Jogja, hampir tidak pernah dia menyaksikan konvoi di jalan. Apalagi konvoi perguruan silat. Konvoi di Jogja paling mentok pendukung partai saat kampanye menjelang pemilu atau klub bola. 

Baca halaman selanjutnya: #3 Sound Horeg …

#3 Sound Horeg

Sound horeg jadi hal yang wajar di daerah-daerah di Jawa Timur, termasuk di Nganjuk  sisi Timur yang berdekatan dengan Kediri. Bukan hanya saat ada hajatan, sounds horeg juga terdengar kapan saja, entah sedang ada hajatan maupun di hari-hari biasa. Teman saya yang merupakan warga Nganjuk kota juga heran kok bisa-bisanya mereka betah dengan itu. 

Bagi yang belum tahu, sound horeg adalah aktivitas menggeber sound system dengan lagu-lagu DJ. Salah satu penulis Terminal Mojok sempat menjelaskan, rata-rata desibel dari sound horeg mencapai 120-135 desibel. Sementara, WHO menyarankan manusia mendengarkan suara di bawah 85 desibel. Waktu aman bagi kuping manusia mendengar dentuman suara hingga 135 desibel hanyalah 1 detik. Padahal, di Nganjuk dan daerah di Jawa Timur lain, sound horeg digeber selama berjam-jam. 

#4 Ada terlalu banyak tugu di Nganjuk, tidak seperti di Jogja

Di Nganjuk dan Jogja sama-sama ada tugu. Hanya saja, di Jogja tidak ada tugu yang menggambarkan perguruan silat. Sementara di Kota Angin, jumlahnya mencapai puluhan. Berdasar salah satu sumber,  jumlahnya tugu perguruan silat ini mencapai 30 buah.

Asal tahu saja, jumlah tugu di Nganjuk memang banyak. Kata teman saya, hampir di setiap simpang empat ada tugunya, bahkan di perempatan yang nggak begitu besar pun ada. Di beberapa titik, keberadaan tugu bahkan menghalangi kelancaran lalu lintas.

Pembangunan tugu secara besar-besaran sudah lama menyita perhatian warga lokal. Terminal Mojok sempat memuat tulisan tentang itu dengan judul Dear Bupati Nganjuk, Bangun Banyak Tugu buat Apa, sih? Nggak Ada Manfaatnya buat WargaTulisan yang terbit pada akhir 2023 menjelaskan, puluhan tugu dibangun dalam rentang waktu 2 tahun terakhir. Ada beberapa tugu yang merepresentasikan keunikan suatu wilayah, tapi lebih banyak yang nggak nyambung. Pembangunan tugu dianggap sia-sia dan buang-buang duit saja.

Itu mengapa, bagi warga asli Nganjuk seperti kawan saya, Jogja terasa begitu tenang. Tidak ada konvoi, tidak ada sound horeg. Begitu adem ayem. Sayangnya hanya satu, warung pecel di Jogja nggak begitu nendang. 

Penulis: Kenia Intan
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 4 Hal yang Wajar di Wonosobo, tapi Nggak Lumrah di Jogja

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version