Menurut kamus Al-maany, kata “imam” memiliki arti pemimpin. Namun, menurut adik saya, kata “imam” memiliki arti seseorang yang memimpin salat di rumah atau masjid. Apa pun artinya dan menurut siapa, yang jelas Imam adalah nama yang bagus dan memiliki kandungan harapan yang tinggi.
Setelah bertahun-tahun menyandang nama Imam, saya sering mengalami kejadian-kejadian yang berhubungan dengan nama saya, entah itu kejadian yang menyenangkan atau nggak. Nama yang sangat islami ini sering menyelamatkan saya dari berbagai perbuatan maksiat. Contohnya seperti ketika diajak teman untuk bolos kelas, meninggalkan salat, atau sekadar maling jambu dan kacang di sawah, otomatis dalam hati saya berkata, “Hayooo, namamu Imam, lho!” Maka, saya pun nggak jadi melakukan perbuatan-perbuatan tersebut. Sungguh beruntungnya saya.
Seolah sudah termaktub bahwa orang yang mempunyai nama Imam adalah seorang yang pintar, alim, salatnya tepat waktu. Padahal mah nggak semua begitu. Hehehe. Berikut adalah beberapa hal yang mungkin akan kamu alami jika mempunyai nama Imam seperti saya:
Sering ditunjuk sebagai imam salat berjamaah
Jika di suatu kelompok terjadi saling tunjuk dan menumbalkan temannya untuk menjadi imam salat, maka kelompok itu akan terselamatkan jika di dalamnya ada yang memiliki nama Imam. Dengan kalimat, “Hei, namamu, kan, Imam! Kamu saja yang mengimami kami.” Atau kalimat seperti ini, “Nama Imam yo kudune sing ngimami” biasanya akan muncul.
Dalam keadaan seperti ini, biasanya saya langsung meneng klacepi dan bergumam, “Oh, iya ya.” Jika memang nggak ada yang mau menjadi imam, maka saya akan maju dan mulai mengimami dengan sebaik-baiknya. Yah, sesuai dengan nama yang disandang lah.
Diprotes/dipaido ketika telat salat jamaah
Hal yang satu ini sering saya alami saat salat jamaah di masjid. Ketika langkah terburu-buru mengejar rakaat pertama, ada satu orang yang biasanya berkata kepada saya ketika kami bertemu di jalan. “Imam, kok, salat di belakang!” Kemudian disusul dengan tawanya yang seperti mengejek. Akhirnya saya gagal mengejar rakaat pertama. Ketika saya berada di posisi menjadi makmum, maka biasanya ada orang lain juga yang berkata seperti ini, “Imam, kok, jadi makmum!” Ah, jadi serba salah dalam posisi seperti ini.
Jika saya benar-benar jadi imam salat jamaah di masjid kompleks rumah, suatu saat nanti saya akan balas dendam pada mereka dengan membaca Al-Baqarah biar kaki mereka kesemutan.
Sering dianggap paham agama dan tradisi keagamaan
Di daerah asal saya, saya hidup di lingkungan Nahdlatul Ulama yang ke-NU-annya kental. Seperti biasa ada kegiatan tahlilan, manaqiban, selametan, dan lain-lain. Di dalam kegiatan tersebut tentu ada sesi memimpin tahlilan dan doa. Saya akan merasa aman jika di dalam kegiatan tersebut ada sesepuh atau kiai yang hadir, maka saya akan terbebas dari ditunjuk menjadi pemimpin tahlilan atau doa. Karena biasanya saya akan berkata, “Monggo, Pak Kiai saja.”
Beda halnya kalau yang mengadakan kegiatan tersebut adalah kelompok pemuda. Jelas kegiatannya terbebas dari orang-orang tua. Maka, di situlah salah satu dari pemuda akan berkata, “Namamu, kan, Imam, nanti kamu yang pimpin tahlilan sekalian doanya, ya!” Saat tengah berada dalam posisi tersebut, saya sama sekali nggak berkutik. Yaaah, anggap saja latihan sebelum jadi imam beneran. Kalau sudah jadi imam beneran di masjid, saya bakal baca surat Al-Baqarah biar kaki mereka kesemutan.
Hal-hal di atas terjadi berdasarkan pengalaman saya sendiri. Mungkin pemilik nama Imam di seluruh penjuru dunia punya kisah masing-masing yang hampir mirip dengan saya. Saya jadi kepikiran untuk membentuk aliansi “Persaudaraan Imam Seluruh Dunia” biar nggak kalah dengan pemilik nama Agus. Tapi secara privilese, nama Imam masih kalah dengan Agus. Para Agus punya hak istimewa di bulan Agustus dengan banyaknya diskon dan gratisan. Sedangkan Imam? Semoga yang punya nama Imam punya privilese menjadi imam salat jamaah supaya bisa membaca surat Al-Baqarah biar para jamaahnya kesemutan!