Menjelajahi lini masa Twitter yang selalu penuh dengan kejutan memang menyenangkan. Beberapa waktu lalu, saya dilanda keterkejutan yang membuat bola mata membesar, kening mengernyit, dan mulut menganga selama berhari-hari, alias rasa syoknya awet sekali. Semua bermula dari satu pertanyaan yang diajukan @angewwie di akunnya yang berbunyi: “Apa skandal mengejutkan yang pernah terjadi di sekolahmu?”
Yah, struktur kalimatnya memang nggak persis seperti itu, tapi intinya dia mengajak orang-orang membagikan kejadian kontroversial yang pernah terjadi semasa sekolah. Dan mayoritas jawabannya sungguh membuat saya terheran-heran.
Banyak yang menceritakan kasus kejahatan tingkat berat seperti terorisme, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebagainya. Namun, ada satu jenis cerita senada yang disampaikan oleh banyak akun yang kemungkinan besar tidak mengenal satu sama lain, dan tinggal di daerah yang berbeda.
Mereka bercerita, sewaktu sekolah dulu, sering diadakan pengecekan terhadap murid perempuan yang sedang menstruasi. Pengecekan ini ada yang dilakukan oleh guru dan juga pengurus OSIS.
Sampai sini saya mulai mengerutkan kening. Oh, oke. Lantas bagaimana cara mengeceknya? Nggak mungkin kan kalau murid-murid ini disuruh menunjukkan…
“Kami disuruh ke kamar mandi dan memperlihatkan pembalut yang ada darahnya.”
Hah?! Syok banget saya bacanya.
“Sampai segitunya?” tanya seseorang yang, sama seperti saya, tidak percaya begitu saja.
“Iya, Hyung. Gue bahkan pernah diremas (bagian privatnya) buat memastikan, beneran pakai pembalut atau nggak.” timpal akun yang lain.
Kalau begitu bukannya sudah masuk ranah pelecehan seksual, ya? Menyentuh bagian privat orang lain tanpa consent jelas merupakan pelanggaran terhadap otoritas tubuh seorang individu. Bahkan, meskipun murid ini menyetujui untuk disentuh bagian privatnya, tetap saja ada perasaan nggak nyaman yang timbul dari tindakan tersebut. Mungkin juga sebenarnya dia nggak mau, tapi karena peraturan sekolah bilang begitu, dia nggak bisa berbuat apa-apa.
Duh, RIP privasi 🙁
Hal ini diperparah dengan pendidikan seksual bagi remaja di Indonesia yang rendah. Selama pembicaraan soal seks masih dianggap tabu, praktik semacam ini akan terus terjadi. Bahkan jika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah disahkan sekalipun dalam hal ini. Oleh karena itu, mari kita terus berjuang!
Saat sedang lanjut scrolling lini masa beberapa saat kemudian, saya melihat ada yang memantik pembahasan tersebut di akun autobase.
2beer! sebenernya ngecek pembalut murid pas mens itu perlu gak sih? bukannya klo gak jujur dosanya ditanggung sendiri ?? stress bgt mana aku perna disuru buka celana pas lagi deres2nya cuman buat di cek
— Tubirfess (@tubirfess) November 27, 2020
Dari yang saya simak di kolom reply twit tersebut (pun twit-nya @angewwie) banyak korban—ya, bagi saya mereka adalah korban—dari praktik pengecekan siklus bulanan yang terjadi. Bahkan hingga saat ini, mereka belum sadar bahwa yang dilakukan terhadap mereka adalah suatu pelanggaran. Bahwa mereka bisa saja menolak dengan lantang: “Anda tidak punya hak untuk melakukan itu.”
Saya paham alasan pihak sekolah merasa harus melakukan ini. Mereka pasti nggak ingin muridnya berbohong izin haid padahal hanya sedang nggak ingin salat (bagi murid yang beragama Islam). Saya pun sempat menempuh pendidikan di sekolah asrama berbasis agama Islam, yang setiap waktu salat tiba, selalu ada pembina yang mengingatkan untuk ibadah berjamaah di musala.
Dan tentunya, selalu ada pula murid yang menggunakan privilesenya sebagai perempuan yang telah balig dengan berbohong meminta izin haid, padahal hanya sedang malas salat. Saya pernah punya teman sekamar yang seperti ini. Mengajukan izin haid, padahal cuma malas salat saja. Tapi untungnya sekolah beserta guru-guru saya masih waras. Curiga? Mungkin saja. Namun, mereka nggak merasa harus mengecek apakah benar darah sedang mengalir keluar dari vagina teman saya ini.
Di luar persoalan etis yang menjadi poin utama, ada masalah kepercayaan yang menyertai. Begini loh, berbohong memang melanggar moral, tapi mengantisipasi kebohongan dengan menyuruh orang melepaskan pembalut saat dinding rahim sedang deras-derasnya meluruh bukankah juga merupakan tindakan amoral?
Kalau nggak mau punya murid yang senang berbohong, berikan kepercayaan yang sungguh-sungguh pada mereka. Saya saja suka merasa nggak enak kalau harus menutupi kebenaran pada orang yang benar-benar menaruh rasa percaya pada saya.
Sering dengar kan kalimat: “semakin dilarang semakin bandel”? Sama halnya dengan kepercayaan. Ketika seorang murid nggak diberi kepercayaan oleh gurunya, mereka pun akan kesulitan memercayai guru tersebut. Pada akhirnya, murid semakin memiliki tendensi untuk bersikap nggak jujur.
Lagi pula, apakah seorang guru punya hak untuk memaksa muridnya beribadah? Kalau sekadar mengingatkan (tanpa emoji toss) masih oke lah, mengingat peran guru sebagai pengganti orang tua di sekolah. Tapi, kalau sampai memaksa murid perempuan untuk mandi wajib di sekolah supaya bisa ikut jamaah salat zuhur, karena nggak ada darah di pembalutnya, apa iya bisa dibenarkan?
Dan jika kalian pikir hal seperti ini hanya terjadi di sekolah-sekolah Islam—karena haid erat kaitannya dengan kewajiban salat yang gugur—kalian salah. Banyak korban yang mengaku bersekolah di sekolah negeri dan nggak luput dari perlakuan tersebut, termasuk Angelie si pemilik twit itu sendiri.
BACA JUGA Meminimalisir Pembalut Bocor pas Tidur Malam, meski Tanpa Pembalut Superpanjang.