Sebenarnya dulu nggak pernah terlintas sama sekali bahwa saya akan menjadi seorang editor naskah. Lha, saya saja kuliahnya jurusan Pendidikan. Sampai suatu hari saya coba-coba melamar jadi seorang editor dan malah keterima. Hal pertama yang terpikirkan oleh saya sebelum mulai kerja jadi editor adalah kudu ngerti PUEBI, pandai copy paste dari satu naskah ke naskah lain, dan sebagainya. Itu dulu, lho. Dan ternyata memang dunia nggak berputar seindah itu.
Satu hal yang membuat saya kepikiran untuk berbagi sedikit keluh kesah soal profesi sekarang ini adalah pernyataan yang cukup menjengkelkan dari seorang tetangga. Jadi, tetangga pernah bertanya pekerjaan saya sekarang. Tentu saya jelaskan pekerjaan saya bla bla bla. Spontan blio menjawab, “Enak, dong, kerjanya cuma di depan komputer. Tinggal copas, kan? Ruangannya ber-AC, nggak usah panas-panasan juga.” Walah, tetangga saya ini memang minta ditabok.
Oke, akan saya ceritakan suka duka jadi editor naskah biar nggak ada lagi pernyataan menjengkelkan soal pekerjaan satu ini kayak yang dilontarkan tetangga tadi. Disclaimer, nih, saya editor naskah buku anak SD. Mungkin pengalaman yang saya ceritakan ini akan sedikit berbeda dari editor buku-buku fiksi.
Pertama, jadi editor naskah ternyata nggak cukup hanya mengerti PUEBI. Pemahaman soal PUEBI adalah syarat mutlak jadi editor. Nggak cuma itu, kami juga dituntut buat jadi layouter dadakan. Kok gitu? Selain kerjaan mengedit kata, frasa, klausa, kalimat, dan teman-temannya, editor juga harus terampil melayout calon buku. Apalagi yang saya edit adalah buku anak SD, tentu harus menarik dari segi penampilan, bukan?
Kedua, harus siap lembur. Kalau kalian tipe orang yang nggak suka kerja kantoran, jauh-jauh deh sama yang namanya penerbitan. Dijamin kalian bakal bosan berada di depan komputer dan tuntutan lembur. Apalagi kalau deadline naskah sudah dekat. Tapi, kan editor cuma ngedit tulisan? Hadeh, baca lagi sana poin pertama!
Ketiga, jadi editor berarti harus siap jadi penulis dadakan. Kok dadakan lagi? Yap, nggak semua penulis kompeten dalam menyusun sebuah buku pelajaran, Bro. Nggak sedikit penulis yang mengirimkan naskahnya jauh dari ketentuan yang sudah disepakati. Akhirnya mau nggak mau editor harus putar otak untuk menambah atau mengubah isi buku. Kenapa nggak minta penulis untuk revisi? Sudah, Bro, sudah. Hasilnya? Kalau beruntung ya nggak terlalu pusing, tapi kalau nggak beruntung ya mari putar otak lagi, Ketimbang debat sama penulis padahal deadline semakin terlihat hilalnya.
Keempat, siap-siap mata terasa berkunang-kunang setiap hari. Maklum saja, rata-rata dalam sehari seorang editor harus memandangi layar komputer selama 7-8 jam. Semua itu demi memastikan nggak ada typo atau layout yang miring atau merusak tampilan buku. Beda halnya kalau memandangi doi, itu mah enak, bikin adem. Ehehehe. Jadi, buat para editor di luar sana, jaga kesehatan mata, ya!
Kelima, siap sedia 25 jam untuk merevisi naskah. Sebagai editor buku pelajaran, saya harus siap sedia merevisi naskah entah berapa puluh kali. Setiap penulis dan penelaah minta revisi, di situlah editor hanya bisa berkata, “Siap!” Seandainya setelah buku dicetak terdapat kesalahan fatal, siap-siap saja kena semprot atasan karena telah merugikan perusahaan, apalagi kalau sudah dicetak dalam oplah banyak.
Keenam, sehebat apa pun seorang editor, nggak ada tuh yang terkenal. Editor naskah itu semacam ada dan tiada. Dia nggak nampak, tapi perannya sangat besar. Gimana nggak besar, wong naskah mentah dari penulis—yang nggak jarang awut-awutan—bakal disulap jadi sebuah buku yang kece. Tapi, tetap saja yang akan dikenali orang adalah penulisnya. Padahal, kadang nggak sedikit juga lho tulisan yang dirombak oleh editor. Entah itu terkait dengan isi atau susunan kalimatnya. Tapi ya gitu, jarang ada orang yang baca buku terus melihat siapa editornya. Memangnya kalian pernah iseng-iseng kepo sama editor naskahnya ketika baca sebuah buku? Saya sendiri saja nggak pernah.
Eits, tapi jadi editor juga nggak seburuk itu kok. Nggak sedikit juga rasa senang yang didapatkan, selain tanggal muda lho, ya. Kebahagiaan editor itu sederhana, yaitu ketika naskah telah selesai cetak, terlihat rapi dan menarik, serta nggak ada kesalahan penulisan atau tata letak di dalamnya. Kalau seperti itu, anak-anak pasti bakal semangat belajarnya. Secara nggak langsung kami bisa disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa juga nggak, sih?
Jadi, gimana? Masih tertarik menjadi seorang editor? Oh, harus!