Resign karena Perusahaan yang Toxic, Malah Nyalahin Generasi Z Sebagai Generasi Lemah dan Nggak Tahan Banting

Gen Z Kambing Hitam Perusahaan Toxic ketika Karyawan Resign (UNSPLASH)

Gen Z Kambing Hitam Perusahaan Toxic ketika Karyawan Resign (UNSPLASH)

Saat ini, banyak dari Gen Z yang telah memasuki dunia kerja. Namun, salah satu stigma negatif yang mengatakan bahwa mereka generasi lemah masih saja lestari.

Oleh sebab itu, banyak HRD yang sangat hati-hati ketika mau meloloskan Gen Z sebagai karyawan. Sudah dianggap lemah, mereka dipandang nggak bisa kerja. Kalau kena tekanan sedikit saja, langsung minta resign. Omongan seperti itu, masalahnya, ada datanya. Kata Jakpat, ada 59% Gen Z yang pikirannya resign kalau ada tekanan berlebihan.

Saya, sebagai Gen Z, merasa kesal dengan stigma ini. Berdasarkan observasi singkat dan wawancara mendalam, saya dengan seorang teman menemukan fakta bahwa perkara resign ini bukan murni karena Gen Z pemalas atau lemah.

Kebohongan tentang jobdesk dan Gen Z susah jadi karyawan tetap 

Saya memiliki teman namanya Diva. Dia bekerja di perusahaan kuliner yang sudah punya banyak cabang di Indonesia. Awalnya, dia mendaftar sebagai Management Trainee (MT). Jabatan ini mengemban tanggung jawab mendidik karyawan baru, bisa juga fresh graduate, untuk menjadi future leader. 

Sebagai manajer perusahaan, tentu harus mengerti perusahaan. Untuk itu, Diva sering pindah tugas dari cabang satu ke cabang lainnya sebagai proses belajar. Namun, dia hanya disuruh membantu dapur. Katanya, sebagai calon manajer, harus tahu dapur juga. 

Bahkan, menurutnya, pekerjaannya tidak lagi bisa dikatakan sebagai MT atau bekerja di back office. Namun, Diva malah seperti pegawai dapur dan merangkap sebagai waiters jika pelanggan sedang ramai.

Sebagai Gen Z, Diva tidak diam saja. Dia bertanya kapan pengangkatan menjadi manajer seperti dijanjikan di awal. Sayangnya, dia tidak menyangka kalau HRD bahwa Diva akan memegang jabatan manajer secara resmi setelah melewati masa probation 5 bulanan bekerja. 

Selama itu, Diva sudah pernah bertugas di beberapa wilayah untuk meninjau cabang. Namun, saat dia kembali bertanya, HRD malah menjawab, “Posisi manajer belum ada yang kosong. Mau posisi lain nggak?”. Buset, malah kena tipu.

Sering lembur tapi tidak digaji lembur 

Embel-embel MT membuat beban Diva semakin berat. Karena embel-embel program MT ini yang katanya bakal jadi manajer, membuat Diva harus over job. Bahkan tak jarang senior ada yang bilang gini: “Kalau jadi manajer harus tahu semuanya.” 

Sebagai orang yang bekerja di bidang kuliner, Diva tentu tidak bisa ambil libur saat weekend. Tapi itu bukan masalah besar karena dari awal memang sudah tahu dan sudah berkomitmen. Tapi, kok ngelunjak. 

Tidak jarang pihak perusahaan selalu menghubungi Diva saat membutuhkan data berkaitan rekapan. Padahal dia sedang libur. Parahnya lagi, Diva pernah diminta tolong untuk menyusun data hingga larut malam. Sudah begitu, dia cuma dapat libur satu hari.

Menurut pengakuan Diva, untuk ambil cuti sakit juga sulit. Libur sehari saja butuh pertimbangan panjang. Makin gila, kan?! Memang. Beban kerja sudah melebihi manajer tapi gaji masih dibawah manajer. Hal kayak gini terjadi di banyak Gen Z yang baru bekerja. Ya pusing.

Diva juga mengatakan saat outlet ramai Diva yang dianggap sebagai calon manajer harus banyak belajar dan lembur hingga larut malam. Tapi, saat gaji turun, jam lemburnya tidak terhitung dengan benar. Dia hanya dianggap lembur 3 jam padahal dia sudah lembur 4 jam.

Generasi melek wellbeing at work malah dikira generasi tukang protes

Sebagai pegawai dengan beban kerja dan gaji yang tidak seimbang, pasti pilih resign. Tapi, Diva dianggap mencerminkan Gen Z yang tidak kuat mental dan tidak tahan banting. 

Padahal, faktanya, perusahaan memang tidak punya kesejahteraan untuk pegawai. Sejatinya beban kerja dan gaji yang tidak semestinya membuat kinerja buruk sekalipun pegawai itu tidak resign. Pada akhirnya, Gen Z jadi kambing hitam dari bobroknya manajemen perusahaan. 

Hal kayak gini yang membuat generasi kami gampang jadi sasaran. Perusahaan toxic tidak berusaha memperbaiki manajemen dan pola pikirnya. Mereka dengan mudah menuduh anak muda sebagai generasi lemah. Omong kosong!

Penulis: Nurul Fauziah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kenapa Gen Z dan Milenial Tak Beli Rumah? Karena Memang Tak Bisa. Gaji Sekecil Itu Berkelahi dengan Bunga KPR, ya Rungkad!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version