Makan di angkringan jelas bukan lagi opsi yang murah, mengingat semua harga naik. Beras saja naik, gila!
Kemarin adalah mudik paling menyebalkan dalam hidup saya. Bayangin, saya mampir makan di angkringan, dan habis 18 ribu rupiah.
Angka tersebut terlihat lumrah jika pesanan saya banyak. Tapi, tidak. Saya cuman pesan nasi satu, ceker dua, sate usus satu, es teh satu. Habis 18 ribu. Gila, segitu biasanya udah dapat nasi ayam geprek plus es teh. Di bakmi jawa langganan saya, selatan lampu merah Mbesi, 18 ribu udah dapet magelangan full daging sama es teh. Ini di angkringan, cuk, 18 ribu. Menunya jelas nggak mewah. Boro-boro bergizi, stunting iya.
Jujur saja saya heran. Iya, saya udah nggak sesering itu makan di angkringan, nggak kayak dulu zaman masih mahasiswa miskin, zaman ngajak pacaran di angkringan dengan dalih biar merasakan vibes Jogja, padahal ancene kere. Saya tahu betul inflasi dan harga pokok yang naik bikin harga melambung. Tapi, tapi, kudune nggak segininya lho kenaikannya.
Alih-alih kenyang, saya malah pengin muntahin makanan yang “merampok” ini. Bukan saya nggak punya duit, pelit, atau nggak bersyukur. Tapi bete banget rasanya niatnya ganjel perut, malah dompet saya yang harusnya saya ganjel. Lagian, mau bersyukur kek mana dah kena rampok.
Tapi, sebagai manusia dengan budi pekerti yang tinggi dan luhur, saya berusaha (dengan amat keras) memahami kenapa harga angkringan tak lagi bersahabat. Dan saya teringat, kalau harga beras belakangan sedang naik. Dan kenaikannya pun nggak ngotak.
Kenaikan harga beras berpengaruh pada angkringan (?)
Memang belakangan ini mood istri saya buruk setelah belanja. Tentu saja karena kenaikan harga yang nggak masuk akal, terutama beras. Nafkah saya jelas nggak kurang-kurang, tapi bukan itu poinnya. Sekaya apa pun dirimu, pasti tetap merasa nggak nyaman melihat kenaikan harga yang tak terkendali. Apalagi ini beras. BERAS LHO.
Kenaikan harga satu komoditi jelas efeknya tak sepele. Bisa merembet ke mana-mana. Yang jelas, biaya produksi meningkat. Pihak yang kena ya, rakyat kecil. UMKM jelas menjerit. Bayangin kek mana angkringan bisa bertahan dan meraih untung kalau harga nggak terkendali gini.
Beberapa angkringan ada yang jualan dengan cara titipan. Maksudnya, makanannya bukan bikinan penjualnya, tapi ada orang nitip. Nah, selisih harga modal dengan harga jual lah yang jadi keuntungan angkringan. Ada juga yang bikin sendiri, jadi untungnya jelas. Tapi, mau pake cara mana pun, saya yakin semuanya sensitif pada satu hal: kenaikan harga.
Sederhana saja. misal kita bicara nasi kucing. Mau itu dagangan hasil titipan atau bikinan sendiri, semuanya sensitif dengan kenaikan harga beras. Lha kalau harga nasi kucing nggak naik, jelas rugi dong pemilik angkringan. Kalau nggak untung, gimana modal mereka?
Kau pikir bakul angkringan itu gimana cari makan kalau nggak dapet untung? Pake tenaga dalam?
Jadi ya, saya sebenarnya salah mengutuk harga makanan saya. Jelas nggak ada pilihan bagi para pelaku bisnis selain menaikkan harga. Mengurangi porsi ya susah. Nasi kucing lho, disedot aja ilang. Masak ya mau dikurangi porsinya? Mengurangi kualitas jelas bukan pilihan. Usaha kuliner itu amat bergantung pada repeat order.
Tapi ya tetep aja mangkel, cuk. 18 ribu, anjir. Udah dapet sayap sambal matah di Rocket Chicken itu. Udah sama es teh malah.
Baca halaman selanjutnya
All in bansos!
Kita blak-blakan aja, kenaikan harga beras ini sumbernya satu: stok yang langka. Kenapa stok langka? Katanya karena perubahan iklim. Iya, itu benar, tapi, selain itu masih ada satu hal yang jadi penyebab kenaikan harga beras: jor-joran bansos.
Oke, Bulog sudah menolak asumsi itu. Tapi ya, dilansir dari BBC, bansos juga penyebab harga beras gila-gilaan. Nah, efek bansos yang kerap dikaitkan dengan pemilu, efeknya begitu besar. Mungkin angkringan yang “merampok” saya tadi sore juga kena efeknya.
Saya setuju, perubahan iklim yang nggak menguntungkan ini valid. Tapi untuk negara agraris kekurangan beras, atau berasnya mahal, menurut saya jelas nggak masuk akal. Masak sih negara agraris bisa kekurangan bahan yang mereka hasilkan sendiri? Aneh lah.
Masalah ini, dari dulu kok nggak ada kelar-kelarnya. Mana jadinya impor lagi. Apa ya, kesannya kayak nggak diusahain gimana gitu lho. Saya nggak nuduh ya, tapi kan asumsi liar bakal muncul kalau keadaannya kayak gini. Mana sawah terus-terusan diubah jadi perumahan. Ya mau stok beras lancar kek mana dah.
Jadi ya, nggak berlebihan kalau saya berasumsi kenaikan harga angkringan itu salah negara. Negara bikin kita nggak bisa lagi merasa aman di angkringan, tempat yang harusnya jadi safe space buat manusia kere. Tak lagi jadi tempat romantis yang murah abis. Dan ini, jujur saja, bisa bikin populasi jomblo meningkat.
Nggak ding, bercanda. Jomblo itu skill issue doang.
Makan tuh all in!
Saya sedikit menyesal telah mengutuk angkringan tempat saya makan tadi. Negara, punya andil terhadap kenaikan harga yang nggak terkendali ini. Jika tidak segera bergerak, saya yakin, kita tak akan lagi punya rekomendasi kuliner murah. Sebab ya, negara nggak segera bergerak untuk mengatasi masalah dasar, yaitu kelangkaan beras.
Ya mau tak mau, kita juga harus bergegas meninggalkan ketergantungan kita pada nasi. Mau tak mau ya, warga harus cari solusi sendiri, kayak biasanya. Bisa dimulai dengan cari alternatif nasi. Dan, terpaksa berdikari, seperti kemarin hari.
Makan tuh all in, bahahaha. MAMAM.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Angkringan Memang Murah, tapi Bukan Pilihan Terbaik Buat yang Makannya Banyak Kayak Saya