Kisah Saya Hidup di Kecamatan Gamping Sleman, Desa Enggan, Kota Tak Mampu, Akhirnya Terjebak di Tengah-tengahnya

Kecamatan Gamping, Kecamatan Paling Underrated di Kabupaten Sleman gamping sleman

Kecamatan Gamping, Kecamatan Paling Underrated di Kabupaten Sleman (Yosafat Herdian via Unsplash)

Kalau ada yang tanya, “Eh, kamu tinggal di mana sih?” dan aku jawab “Gamping,” biasanya reaksi pertama orang itu adalah bingung. Ya, Gamping Sleman emang gitu, kayak berada di zona ambang. Di satu sisi, udah mulai banyak perumahan, pusat perbelanjaan, dan jalan-jalan yang rapi, tapi di sisi lain, nggak cukup untuk dibilang kota. Gamping juga sudah tidak bisa dibilang desa, karena sekarang sudah jarang banget ada sawah, kecuali kalau kamu nyari di bagian yang lebih jauh dari pusat kecamatan.

Ini kisah hidupku di Gamping, sebuah kecamatan yang kayak lagi bingung mau jadi kota atau tetap desa. Gamping itu ngambang, nggak jelas. Biar pun orang-orang bilang Jogja itu nggak ada kota satelit yang bener-bener berkembang, Gamping justru jadi tempat peralihan yang aneh banget.

Ketika Gamping Sleman masih desa

Dulu, Gamping itu desa yang asri, masih banyak sawah, banyak pohon, dan suasana yang jauh dari keramaian. Meskipun ada banyak suara ayam berkokok pagi-pagi, hidup terasa tenang dan damai. Ya, meskipun terkadang terasa monoton, tapi itulah yang bisa memberi ketenangan. Kalau kamu tinggal di sini, biasanya kamu akan ketemu orang-orang yang ramah banget, bisa jadi temen main ke kebun atau nyari petis di pasar. Anak-anak masih main layang-layang, sepeda, atau nyemplung ke kali kalau musim hujan.

Simple. Nyaman. Seperti kehidupan yang aku impikan—tanpa tekanan hidup besar, tanpa guncangan ekonomi yang gawat.

Tapi ya, semua itu berubah. Gampangnya, kalau kamu datang ke Gamping Sleman sekarang, yang kamu temui bukan sawah lagi, tapi rumah-rumah minimalis yang berjejer rapi, ngeblok satu sama lain, dengan jalanan beton yang bisa bikin sepeda motormu meluncur tanpa ampun.

Perumahan di Gamping udah lebih banyak dari sawah yang dulu ada. Jalanan yang dulu penuh semak belukar sekarang berubah jadi barisan toko-toko yang jualan macam-macam. Nggak salah sih, karena memang Gamping ini jadi tempat favorit buat orang yang pengen tinggal agak jauh dari keramaian Jogja, tapi nggak mau jauh-jauh banget.

Antara pengin jadi kota dan tetap desa

Aneh banget sih. Gamping Sleman sekarang kayak anak muda yang lagi bingung pilih jalur hidup. Kalau dilihat dari perkembangan perumahan dan rukonya, Gamping tuh kayak lagi berusaha keras buat jadi kota. Tapi, kalau lihat suasana jalan yang masih sempit, motor-motor yang bisa bertumbukan kalau parkir terlalu lama, dan warung-warung tenda pinggir jalan yang masih ada, rasanya kok masih desa banget ya?

Sering kali aku bingung, apa sih Gamping ini? Kota atau desa? Kalau ditanya penduduknya, mereka nggak akan jawab “kota,” karena masih merasa desa. Tapi coba liat deh, banyak yang tinggal di perumahan modern, ada yang kerja di kantor besar, ada yang ke Jogja cuma dalam hitungan menit. Gampang banget buat ke mana-mana, tapi tetap nggak bisa lepas dari bau tanah yang kadang nyengat kalau musim hujan datang.

Gamping Sleman juga sering kayak orang yang nggak tahu arah hidup. Mau jadi kota, tapi infrastrukturnya belum siap, terutama masalah jalan. Mau tetap desa, tapi udah terlalu banyak perumahan yang menggantikan sawah dan ladang. Yang tinggal di sini pun bingung, “Gamping ini sebetulnya mau ke mana sih?”

Baca halaman selanjutnya

Kehidupan yang tertahan

Kehidupan yang terasa tertahan di Gamping

Jujur, hidup di Gamping itu terkadang merasa seperti terjebak di tempat yang nggak tahu harus gimana. Di satu sisi, bisa dibilang udah cukup maju. Ada supermarket besar, fasilitas pendidikan yang cukup, dan beberapa tempat makan hits. Tapi di sisi lain, jalanan yang macet setiap sore, adanya pedagang asongan yang masih banyak, dan kendaraan yang kadang terjebak di jalan sempit, bikin rasa maju itu jadi terasa kurang.

Kadang, yang ada di pikiran adalah, “Apakah ini maju atau malah tertahan?”

Gamping Sleman tuh kayaknya bener-bener menahan diri untuk nggak jadi terlalu kota. Terlalu banyak yang harus dibenahi, mulai dari transportasi hingga pembangunan yang lebih rapi. Tapi tetap aja, Gamping tetap punya keunikan, ada sisi yang bikin orang kangen, entah itu suasana tenang di pagi hari atau sekadar beli sarapan di warung nasi kucing yang udah legendaris.

Cermin kehidupan yang nanggung

Kehidupan di Gamping itu seolah jadi cermin dari kondisi diri kita yang lagi bingung. Kadang pengin jadi dewasa dan mandiri, tapi masih banyak bagian dari kita yang perlu dibenahi. Kadang pengin jadi yang modern dan kekinian, tapi ada bagian dari kita yang masih merasa nyaman dengan kesederhanaan.

Jadi, Gamping ini ibarat hidup yang lagi nanggung. Nggak bisa sepenuhnya dibilang kota, dan juga nggak bisa dibilang desa lagi. Kalau kamu nyari suasana yang “nggak terlalu ramai tapi juga nggak terlalu sepi,” Gamping mungkin bisa jadi pilihan. Tapi jangan harap kamu bakal nemuin kenyamanan seperti waktu Gamping masih sawah-sawahnya.

Tapi ya, apa pun itu, Gamping Sleman tetap jadi rumah, tempat yang aku kenal dan cintai, meski kadang terasa aneh karena berada di antara dua dunia yang nggak terlalu jelas. Kalau kamu tanya aku, “Gamping ini gimana sih?” Jawabanku cuma satu: “Nanggung, dan itu bikin kita tahu, kadang hidup memang kayak gitu. Nanggung. Tapi tetap bisa dipakai buat belajar.”

Jadi, selamat datang di Gamping, tempat di mana kamu akan menemukan kebingunganku dan kenyamanan yang aneh, tapi tetap nyata.

Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kecamatan Gamping, Kecamatan Paling Underrated di Kabupaten Sleman

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version