Gambaran Hidup Seorang Lelaki yang Nggak Bisa Naik Motor

Gambaran Hidup Seorang Lelaki yang Nggak Bisa Naik Motor terminal mojok.co

Gambaran Hidup Seorang Lelaki yang Nggak Bisa Naik Motor terminal mojok.co

Setiap orang punya pengalaman dan perjuangan hidupnya sendiri-sendiri. Naruto harus berjuang untuk menjaga teman, Konoha, hingga menjinakkan Kyuubi. Seorang Tesla harus menderita hidupnya, para pesaing yang curang dan licik mencuri dan mensabotase karyanya. Van Gogh harus menunggu lama, bahkan hingga dia mati sampai karyanya diakui dan dihargai. Papa Zola, harus jadi pahlawan super, menjaga anaknya, hingga menjadi guru Matematika secara bersamaan. Dan saya, harus menanggung masa muda tanpa punya kemampuan naik motor.

Semua bermula saat hujan rintik-rintik dan mendung menutup langit. Ini bukan cerita sedih, tapi saya memang tak punya sepeda saat kecil. Mungkin itu salah satu alasan saya tak akrab dengan dunia motor. Bukan karena masalah ekonomi, lebih ke urusan ideologi. Saya penganut ideologi di rumah saja, bahkan sejak kecil, jauh sebelum Covid-19 lahir.

Saat kecil, saya jarang keluar rumah, paling jauh hanya di sekitaran wilayah RT. Saya introver mungkin, tak pernah betah dan selalu kikuk di keramaian. Lantaran itulah, saya jarang main jauh, apalagi perlu sepeda. Saya di rumah sambil menggambar, main musik, atau membaca, rasanya sudah puas sekali.

Namun, saat sudah besar, saya yang kena imbas besar dari perilaku introver itu. Saya jadi nggak bisa naik motor sampai dewasa. Jika saat remaja dan teman sebaya mengajak jalan-jalan, saya cenderung suka menolak, takut merepotkan karena saya selalu dibonceng.

Hal yang gawat adalah saat mau pergi bareng sahabat-sahabat dekat naik motor dan mereka bawa pasangan. Saya pasti nggak bisa ikut. Lha mereka bawa cewek, saya kalau bawa cewek isin, soalnya saya yang dibonceng.

Sementara yang enak saat teman cewek saya punya mobil, jadi saya nggak malu-malu banget, meski tetap sama-sama nebeng. Namun akhirnya saat SMK, saya belajar mengendarai mobil, pinjam punya pakde. Sebuah mobil Charade tahun 80-an, yang berat banget stirnya. Saat saya lulus sekolah, bapak saya beli mobil juga, akhirnya saya bisa pergi-pergi sesuka hati.

Mungkin banyak yang bertanya, kenapa nggak belajar naik motor? Pada kenyataannya, saya belajar berkali-kali. Mungkin karena nggak punya basic bersepeda, saya tak pernah berhasil mengendarai motor. Entah berapa ratus kali saya mencoba, tapi selalu gagal, sampai tulang tangan saya cedera berkali-kali. Ujungnya, saya tak seperti Naruto, Tesla, Van Gogh, apalagi Papa Zola, saya menyerah dengan motor sampai lulus SMK. Dan saya tak pernah lagi pegang motor untuk bertahun-tahun kemudian.

Jika ada yang cerita nikmatnya membonceng cewek, saya tak pernah tahu rasanya. Intinya, banyak hal terlewat dan tak bisa saya rasakan karena nggak bisa naik motor. Apalagi pas ada konvoi ngiring kiai, pengantin, supit, saya jarang bisa ikut, biasanya karena nggak kebagian boncengan. Pasalnya, kebanyakan teman lebih memilih bonceng cewek-cewek ketimbang saya.

Saya selalu iri dengan para pemotor ini. Kayaknya asyik gitu, bisa keliling kota dengan motor. Hal yang paling bikin jengkel adalah saat di luar kota. Mobilitas saya jadi susah dengan was-wes, mobil ra gablek, ojek online kadang susah banget dicari. Alhasil, saya sering naik kendaraan umum atau nebeng temen.

Namun, sekitar 3 tahun lalu, saya kepingin sekali bisa naik motor lagi. Rasa itu tiba-tiba muncul, bagai geger geden di pertigaan terminal yang sering tiba-tiba terjadi tanpa jelas alasannya. Entah karena tak mampu lagi membendung rasa bosan dibonceng, saking inginnya boncengin seseorang (ehm), atau mungkin karena biaya transportasi yang makin mahal. Akan tetapi, satu hal yang pasti, saya perlu naik motor agar bisa was-wes saat ada kerjaan.

Sayangnya, memang tak mudah belajar motor saat sudah dewasa, sudah alot kalau kata mantri sunat. Seminggu tak bisa, sebulan tak lancar, dan menyerah lagi. Kemudian saya merasakan pertumbuhan lemak yang ngadi-adi. Saya memutuskan untuk olahraga dan bersepeda yang saya pilih. Saya bisa sekalian latihan keseimbangan dan sekaligus badan jadi sehat. Saya beli sebuah sepeda bekas. Sepeda inilah yang membuat jalan terjal hubungan saya dengan motor makin landai. Pasalnya, pada akhirnya saya bisa naik sepeda, saya jadi bisa naik motor.

Alhasil, kemampuan keseimbangan saya meningkat. Saya menikmati bersepeda dan bisa dibilang sepeda sebagai alat transportasi utama saya. Kini, ada motor bebek di rumah, tapi jarang saya sentuh dan belai. Bukan karena saya lebih cinta sepeda saya, tapi mau bonceng siapa, wong saya jomblo. Akhirnya saya cuma bisa ngelus-elus jidat saya lagi.

BACA JUGA Orang yang Bisa Mengendarai Motor Belum Tentu Bisa Membonceng Orang Lain dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version