“Gaji guru standarnya harus 25 juta per bulan. Ini baru akan ideal di Indonesia, dan minat menjadi guru akan meningkat.”
Begitu pernyataan mengejutkan dari Juliatmono, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, yang belakangan mengundang perdebatan. Di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, angka tersebut terdengar bombastis. Tapi jika kita mau berpikir jernih, ucapan itu justru mencerminkan sebuah keberanian untuk menyampaikan kebenaran yang selama ini sering disembunyikan bahwa pendidikan berkualitas memerlukan investasi yang serius, terutama pada guru.
Jika kita benar-benar ingin mencetak generasi cerdas, berpikiran kritis, dan siap menghadapi tantangan masa depan, kualitas guru harus menjadi prioritas. Dan kualitas itu tak bisa lepas dari kesejahteraan.
Ada harga, ada rupa
Pepatah “ada harga, ada rupa” mungkin terasa klise, tapi tetap relevan. Kita tak bisa berharap guru bisa bekerja sepenuh hati, maksimal dan profesional, jika kehidupan dasarnya saja masih penuh kekhawatiran. Banyak guru yang harus merangkap sebagai penjual online, tukang ojek, atau membuka les privat hanya untuk menambal kebutuhan bulanan.
Ketika gaji tak mencukupi, otomatis fokus guru terpecah. Antara menyusun RPP dan menjemput orderan, antara memperbaiki soal ulangan dan memikirkan cicilan motor. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi menyangkut kualitas pengajaran yang diterima siswa. Di ruang guru, topik yang paling sering muncul bukan lagi soal metode pembelajaran, tapi justru soal sertifikasi, tunjangan, atau strategi mempercepat kenaikan pangkat. Semua demi satu tujuan: meningkatkan penghasilan.
Guru harus bisa fokus mengajar
Idealnya, guru adalah profesi yang bisa didedikasikan sepenuh hati. Tapi bagaimana bisa sepenuh hati kalau dapur saja belum tentu mengepul? Bila pemerintah benar-benar serius dalam meningkatkan mutu pendidikan, sudah selayaknya gaji guru ditingkatkan secara signifikan.
Gaji yang layak bukan hanya membuat guru bisa hidup tenang, tapi juga memberi ruang bagi mereka untuk berkembang. Daripada waktu dihabiskan untuk mengobrolkan sertifikasi, kenaikan pangkat, tunjangan dan hal menjemukan lainnya, bukankah lebih baik waktu luang digunakan untuk hal yang lebih substansial? Misalnya menyusun strategi pembelajaran baru, memperkaya diri dengan membaca buku, atau mengikuti pelatihan yang benar-benar dibutuhkan.
Kenapa harus 25 juta?
Gaji guru 25 juta memang terdengar sangat besar, tapi itu bukan sesuatu yang berlebihan. Guru hari ini tidak hanya diminta untuk mengajar, tapi juga berinovasi, beradaptasi, dan menciptakan pembelajaran yang menarik. Apalagi dengan diberlakukannya Kurikulum Merdeka, yang mengedepankan pembelajaran berbasis proyek dan berpusat pada peserta didik.
Mau tidak mau, guru harus kreatif. Tapi kreativitas juga butuh biaya. Misalnya untuk membuat video pembelajaran yang menarik, guru butuh aplikasi edit video berbayar. Untuk membuat media berbasis augmented reality, ada biaya lisensi aplikasi. Bahkan untuk sekadar membeli tripod atau ring light agar proses mengajar daring lebih maksimal, uangnya harus dari uang pribadi.
Belum lagi saat guru ingin membawa siswa belajar di luar kelas, seperti ke museum atau tempat bersejarah, guru harus keluar uang pribadi demi menghindari tuduhan pungli dari orang tua. Situasi ini tak sehat dan tidak adil. Guru dituntut kreatif, tapi tidak diberi dukungan yang memadai.
Kesejahteraan guru pelosok
Kita juga tak boleh lupa pada para guru yang mengabdi di pelosok negeri. Mereka harus menghadapi akses jalan yang buruk, fasilitas sekolah yang minim, bahkan harus mengajar multi-grade (satu kelas diisi siswa dari berbagai tingkat). Untuk makan saja mereka harus hemat, belum lagi biaya sewa tempat tinggal, transportasi, dan kebutuhan sehari-hari. Gaji pas-pasan jelas tak cukup.
Jika benar-benar ingin pendidikan merata, guru-guru di daerah tertinggal pun harus diberikan kompensasi yang lebih besar. Bukan cuma sekadar tunjangan daerah terpencil yang cairnya bisa telat berbulan-bulan, tapi gaji pokok yang benar-benar layak agar mereka tetap punya semangat mengajar tanpa dibebani kekhawatiran ekonomi.
Menjadi guru bukan jalan hidup yang menyedihkan
Saat ini, hanya segelintir orang yang benar-benar menjadikan profesi guru sebagai panggilan jiwa. Banyak lainnya justru melihatnya sebagai pilihan terakhir setelah gagal di tempat lain. Kenapa? Karena menjadi guru sering kali identik dengan hidup pas-pasan, penuh tekanan administratif, dan minim penghargaan. Ini ironi besar bagi profesi yang sebenarnya menyangkut masa depan bangsa.
Jika gaji guru bisa mencapai 25 juta rupiah per bulan, bukan tidak mungkin profesi guru akan kembali menjadi primadona. Anak-anak muda cerdas akan berbondong-bondong memilih pendidikan keguruan. Mereka akan melihat bahwa menjadi guru bukan hanya pekerjaan mulia, tetapi juga menjanjikan secara finansial.
Pendidikan yang baik tidak bisa dibangun di atas fondasi guru yang lapar. Sudah saatnya negara berhenti berhemat pada sektor yang paling strategis. Gaji 25 juta untuk guru bukan soal kemewahan, tapi soal kelayakan. Dan layak itu bukan hanya soal angka, tapi soal menghargai kerja keras dan tanggung jawab mereka dalam mencetak masa depan bangsa.
Penulis: Lintang Pramudia Swara
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jogja Berhenti Nyaman karena Banjir dan Jalan Berlubang yang Menyebabkan Kecelakaan Lalu Lintas
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
