Gagal Branding, Alasan Orang Kaya Nggak Malu Beli Pertalite

Kasihan Motor Saya jika Pertalite Beneran Dihapus

Kasihan Motor Saya jika Pertalite Beneran Dihapus (unsplash.com)

Saat main ke Solo, saya melewati warung sate kere yang ramai pol. Anehnya, konsumen sate kere ini justru orang-orang berduit. Bermobil semua. Padahal kan, seperti terlihat dari namanya, sate kere identik dengan makanannya orang-orang “prihatin”. Lha ini kok bisa ya, orang kaya mau makan sate kere? Apa orang-orang kaya itu tidak malu?

Saat merenungi teka-teki tersebut, tiba-tiba saya ingat pada pejabat kita yang akhir-akhir ini sering mengeluh: mengapa orang-orang kaya, yang mobilnya mewah-mewah itu, mengisi mobilnya dengan Pertalite? Bukankah Pertalite itu bahan bakarnya kalangan menengah ke bawah? Apa mereka tidak malu?

Paradoks ini sebenarnya bisa dipahami kalau kita belajar ilmu branding. Ilmu ini meyakini bahwa produk tidak hanya persoalan bentuk (tangible), namun juga persoalan makna di dalamnya (intangible).

Gampangnya begini. Dua buah sepatu bisa memiliki kesan yang berbeda, walaupun produknya sama persis. Misal, sepatu A dijual di pasar tradisional kesannya akan lebih murahan dibanding sepatu B yang dijual di mall. Singkatnya, tugas branding adalah mengubah makna sebuah produk. Bisa upgrade, bisa downgrade.

Yang dimaksud upgrade adalah menaikkan citra prestise sebuah produk. Misalnya seperti yang dilakukan oleh penjual sate kere. Ia mengubah citra sate kere yang tadinya identik dengan kemiskinan menjadi makanan yang bernilai prestis. Itulah mengapa orang-orang kaya tidak malu lagi melahap sate kere.

Ada beberapa hal yang mungkin dilakukan oleh pemilik warung sate itu. Pertama, memodifikasi tempat makan, yang tadinya warung kaki lima pinggir jalan, menjadi warung di dalam kios, beralas keramik, dengan meja kursi yang bersih dan tertata rapi.

Kedua, pemilik warung juga menjual menu lain yang identik dengan makanan orang kaya seperti sate daging, ati, limpa, kikil, sop daging, dll. Dikeroyok oleh menu-menu ini, sate kere jadi terlihat naik kelas.

Namun, branding tidak hanya untuk meningkatkan prestise sebuah produk. Ada juga branding yang dilakukan untuk menurunkan atau downgrade prestise sebuah produk. Misal, dulu Pizza Hut adalah brand yang punya pasar kalangan menengah atas. Namun mengandalkan pasar menengah atas dianggap tidak cukup menyelamatkan Pizza Hut dari kebangkrutan. Akhirnya Pizza Hut berusaha meluaskan target marketnya. Perubahan strategi branding ini bisa dilihat ketika Pizza Hut terlihat lebih merakyat dengan berjualan “asongan” di pinggir jalan dan memberikan banyak diskon. Strategi ini sukses, karena faktanya Pizza Hut berhasil survive di tengah badai pandemi Covid 19.

Yang ingin saya katakan di sini adalah branding bisa digunakan untuk mengubah makna suatu produk. Branding bisa digunakan untuk menaikkan prestise, bisa juga untuk menurunkan prestige. Kalangan kelas menengah atas tentu akan lebih terdorong mengonsumsi produk bernilai prestise daripada terlihat miskin.

Nah kalau orang kaya tidak malu mengonsumsi BBM bersubsidi (Pertalite dan Biosolar), berarti ada kesalahan branding di situ. Alias, Pertamina gagal membranding Pertalite dan Biosolar sebagai produk yang pasarnya adalah kalangan orang-orang menengah ke bawah.

Kegagalan branding pertama adalah dari segi penamaan produk. Judul produk “Pertalite” dan “Biosolar” malah memberi kesan mewah dan menyasar pasar orang-orang kaya perkotaan. Sebab, dalam wacana sehari-hari, istilah “lite” dan “bio” sering menempel pada produk yang bersifat futuristik, efisien dan menguntungkan.

Misal, kita tentu akrab dengan istilah Facebook Lite. Dari laman resmi Facebook, diperoleh informasi bahwa versi “lite” dibuat untuk membantu penggunanya mengakses Facebook dengan cepat dan mudah. “Keeping up with friends is faster and easier than ever with the Facebook Lite app!”, demikian di laman resmi Facebook. Jadi, “lite” tidak ada kaitannya sama orang miskin. Malahan seolah-olah Pertamina bilang: “Bro, kalau kamu nggak kuat beli Pertamax, nih, pake versi ringannya aja, sama-sama bisa nge-gas kok”!

Sebenarnya berkaitan sih, lite kan ringan ya maksudnya. Tapi, dah sepakat aja ya, biar fafifu saya valid.

Bergeser ke nama Biosolar, menurut saya, nama itu justru kental sekali kesan mewahnya. Di kepala saya, sekali istilah “bio” disebut, yang terpikir adalah pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Misal, kampanye anti plastik, listrik bertenaga surya, dll. Sehingga istilah “bio” memiliki kesan yang sangat futuristik. Dan, pasar dari kampanye-kampanye seperti itu biasanya justru masyarakat menengah atas.

Selain penamaan, branding juga terkait dengan penataan produk. Anda tentu ingat bahwa Pertalite dan Pertamax biasanya diletakkan di SPBU dan pos pengisian yang sama, cuma beda selangnya saja. Akibatnya, ini membuat nilai prestise Pertalite dan Pertamax sejajar.

Ini ibarat sate kere yang ikut kecipratan mewah ketika diletakkan di tengah sate kambing, sop kambing, dan kikil. Begitulah nasib Pertalite dan Biosolar. Citra mereka naik kelas gara-gara ditaruh di tempat yang sama dengan Pertamax dan Dexlite.

Terakhir, lokasi penjualan juga menentukan branding suatu produk. Misal, jika Anda jualan baju di pasar tradisional dan di mall, kesan mewahnya tentu akan berbeda. Demikian juga dengan Pertalite dan Biosolar.

Selama ini, dua produk subsidi Pertamina itu dijual di tengah kota, di pinggir jalan raya atau jalan nasional, yang justru dekat dengan kehidupan orang-orang kaya. Bukannya dikoreksi, kegagalan branding ini malah dipertegas dalam kebijakan pembuatan pom bensin mini yang diberi judul Pertashop.

Maksud Pertamina membuat Pertashop sungguh mulia. Yaitu agar terjadi pemerataan distribusi bahan bakar hingga pelosok desa. Seharusnya petani atau nelayan senang mendengar ini. Karena mereka tidak perlu beli biosolar jauh-jauh di kota untuk menyalakan traktor atau kapal. Cukup beli di Pertashop saja. Dekat, mudah, murah, menyenangkan. Namun, petani dan nelayan sepertinya kena prank. Karena ternyata Pertashop hanya menjual Pertamax, yang notabene adalah bahan bakar nonsubsidi.

Semua ini menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal mem-branding Pertalite dan Biosolar sebagai barang konsumsi masyarakat menengah kebawah. Kedua produk itu malah relevan dengan kehidupan orang-orang kaya. Jadi salah pemerintah sendiri kalau ada orang kaya yang tidak malu membeli Pertalite atau Biosolar. Jadi, ayolah yang lebih kreatif kalau jualan. Masak kelas pemerintah kalah sama penjual sate kere. Please deh, tobat!

Penulis: Zamzam Muhammad Fuad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Harga BBM Terbaru: Daftar Mereka yang Nggak Boleh Minum Pertalite

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version