Fresh Graduate Minta Gaji Kelewat Tinggi Harusnya Dikasih Pengertian, Bukan Dijadiin Konten!

7 Pengalaman Konyol Fresh Graduate yang Pertama Kali Bekerja di Perusahaan terminal mojok

7 Pengalaman Konyol Fresh Graduate yang Pertama Kali Bekerja di Perusahaan terminal mojok

Dalam waktu yang berdekatan selama beberapa hari terakhir, ada tubir yang cukup ramai jadi bahan perbincangan di Twitter. Objeknya adalah pelamar kerja yang berstatus fresh graduate. Lulusan baru, apa pun pendidikan terakhirnya. Pemicunya adalah oknum HRD yang menjadikan fresh graduate sebagai konten shaming di berbagai platform media sosial.

Tubir sepanjang masa di kalangan HRD dan/atau khalayak soal fresh graduate ini nggak jauh-jauh dari kelakuan mereka—para pelamar kerja fresh graduate—yang sering kali minta nominal gaji di atas rata-rata. Bahkan, sampai dua digit. Belum lagi bawa-bawa almamater (lulusan dari kampus mana) saat proses interview. Sehingga, menimbulkan pertanyaan, “Belum ada pengalaman, kemampuan belum teruji, kok sudah minta gaji tinggi?” di kalangan sebagian HRD.

Di satu sisi, mungkin hal tersebut menjadi sesuatu yang membikin sebagian HRD mangkel. Namun, di sisi lain, saya pikir, HRD juga perlu melakukan probing saat melakukan proses seleksi karyawan. Agar bisa mengetahui alasan pelamar kerja yang berstatus fresh graduate, bisa sampai mengajukan gaji di atas rata-rata. Cocok atau tidak dengan kualifikasi sekaligus budget perusahaan, itu menjadi persoalan lain. Apalagi jika negotiable. Artinya, terkait gaji atau benefit yang diminta, masih bisa diajukan ke atasan: baik top management, finance, direktur, atau CEO jika diperlukan.

Oke. Kalaupun belum cocok karena overbudget atau ada pertimbangan lain, kan tinggal menyampaikan kepada pelamar kerja yang bersangkutan, Bapak/Ibu HRD sekalian. Bukan malah menjadikannya konten shaming di media sosial. Seakan-akan mereka layak dirujak secara massal. Nggak gitu cara mainnya, Bos.

Kalau mau sedikit berusaha dan niat, kandidatnya bisa diedukasi, lho. Bukan dikasih hukuman dengan cara di-bully secara online. Memang, nama dan identitas tetap disembunyikan. Namun, kalau sewaktu-waktu kandidatnya baca, gimana, hayo?

Ingat, Pak/Bu. HRD itu representasi perusahaan. Apalagi jika masih berkaitan dengan beberapa hal yang dikerjakan—atau menjadi deskripsi pekerjaan. Disadari atau tidak, suka atau nggak, HRD memang mesti punya kemampuan customer service tipis-tipis yang bisa diaplikasikan saat berkomunikasi dengan pihak internal atau eksternal, yang mana salah satunya adalah kandidat.

Apa pun persoalan yang dialami fresh graduate, selama masih dalam batas wajar atau atas nama ketidaktahuan, menurut saya akan lebih efektif jika diberi wawasan tambahan melalui edukasi. Bukan dengan cara di-bully atau dihakimi secara sepihak.

Mau minta gaji dua digit, kek. Nggak jadi atau tiba-tiba nggak minat karena ternyata lokasi kerja jauh dari tempat tinggal, kek. Selama bisa dikomunikasikan dengan baik, tidak serta merta menjadi dosa yang harus dipikul sendiri oleh para fresh graduate, Bos.

Persoalannya, masih banyak fresh graduate yang belum tau tentang kompleksitas dari proses seleksi karyawan. Giliran nanya ke HRD-nya langsung, nggak dijawab atau jawabannya malah menggantung.

Pas request gaji ketinggian, malah dicerca. Harusnya nggak kayak gitu. Kasih info, dong. Range gajinya berapa untuk posisi tersebut. Cocok atau pasarannya berapa. Dapat allowance apa saja, dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi, kandidat yang masih fresh graduate juga paham, berapa income yang sebaiknya diterima. Atau, boleh lah menyarankan untuk cek di internet atau beberapa platform terlebih dahulu. Jangan malah diam-diam menusuk melalui dunia maya.

Sudah semestinya HRD punya imej yang menyenangkan dan merangkul para karyawan. Menjadi jembatan antara karyawan dan perusahaan saat menghadapi suatu persoalan. Bukan malah menjadi sosok yang menyebalkan atau menyeramkan.

Ingat, Bapak/Ibu HRD yang terhormat. Para calon karyawan perusahaan, normalnya akan bertemu kalian terlebih dahulu untuk proses awal. Jika sejak awal saja sulit untuk memberi kenyamanan, kepercayaan, atau membina relasi. Ya, jangan heran kalau perusahaan yang malah kena imbasnya. Ingat kata kuncinya: representatif.

Gimana caranya kandidat merasa nyaman dan yakin bahwa, perusahaan tempat di mana ia sedang melakukan proses seleksi karyawan adalah pilihan yang tepat, ketika dari awal saja sudah kena omel HRD, dinyinyirin, dapat senyum sinis. Belum lagi dijadikan konten shaming di media sosial. Haduh, haduh, haduh.

Dan untuk para fresh graduate, saran saya, apalagi jika sudah menyinggung soal gaji, ada baiknya juga cari tahu berapa harga yang cocok untuk posisi yang diinginkan dan dari latar belakang pendidikan yang dimiliki. Bisa dicari di internet atau beberapa platform, kok. Paling nggak, bisa dapat gambarannya gitu. Biar nggak jadi konten shaming—mematok gaji terlalu tinggi—tapi, nggak terlalu rendah juga.

Nah, buat klean, entah para HRD atau senior yang ngetawain fresh graduate, saya jadi pengin nanya: emang kalian sebegitu yakinnya kalau dulu nggak berbuat hal yang bodoh kek gini?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version