Ketika membaca artikel Mas Prabu Yudianto yang mengulas filsuf kedai kopi itu, saya meresa tergelitik, geli dan akhirnya tertawa. Agaknya, beliau pandai membawakan cerita dengan bahasa yang ringan serta jenaka. Awal membaca judul artikel tersebut, saya pun nyengir karena lucu. Dengan membaca artikel itu, memacu niat saya untuk berkomentar melalu artikel ini. Hal jenaka itu terletak pada istilah filsuf kedai kopi, yang tak lain adalah sekelompok pemuda yang membahas pelbagai macam pemikiran para filsuf. Tentu ini penting, filsuf adalah tonggak peradaban, katanya sih gitu.
Sebuah cerita yang menarik, pun saya rasa memang sering kita jumpai keberadaan para filsuf kedai kopi itu. Dan memberi warna tersendiri bagi keramaian kedai kopi.
Namun, ketika membaca keseluruhan artikel beliau, pada akhirnya tidak saya temukan unsur kejenakaan. Semakin jauh membaca, membuat saya semakin tegang. Beliau justru tak mengilhami keberadaan para filsuf kedai kopi, bahkan beranggapan bahwa seharusnya keberadaan filsuf kedai kopi itu layak punah seperti Dinosaurus.Â
Mendengar pernyataan itu, saya menerka beliau seorang yang konservatif alias kolot. Tenang saya hanya menerka. Saya berpikir demikian karena alasan yang digaungkan oleh beliau adalah pemikiran-pemikiran filsuf tulen yang dibahas para filsuf kedai kopi tidak relevan dengan peradaban masa kini.Â
Tunggu, saya yakin, Nietzsche amat senang melihat filsuf kedai kopi ber-fafifu membahas pemikiranya. Nietzsche pernah mengejek pembaca yang kehilangan cara berpikir untuk dirinya sendiri alias pembaca pasif yang hanya bisa berpikir saat membaca. Namun, Nietzsche dianggap oleh beliau sebagai filsuf yang sulit dieja. Mungkin saja belau sudah berpengalaman menjadi filsuf kedai kopi dan mengalami kesulitan mengeja Nietzsche. Lalu memilih mentas dari dunia perfilsufan kedai kopi.
Bagi saya, menafsirkan karya Nietzsche memang mengandung unsur ambiguitas. Ada yang menganggap Nietzsche sebagai fasis dan ada pula yang menganggapnya sebagai anarkis. Dan yang tahu tentang Nietszche hanyalah Nietzsche itu sendiri.
Tetapi, Nietzsche merupakan mata air bagi pembacaan dekonstruksi Derrida, yaitu bukan golongan yang menyepakati adanya sebuah sistem kendali bahasa. Artinya, membahas Nietzsche masih relevan untuk hari ini. Namun, saya tidak akan menjadikan masalah filsuf kedai kopi yang sederhana ini menjadi rumit.Â
Terlepas dari itu semua, siapa pun filsufnya, bagi saya filsuf adalah salah satu guru terbaik, sebab yang namanya filsafat tak jauh dari pancaran ide serta gagasan-gagasan. Saya kira gagasan klasik sampai kapan pun akan menjadi rujukan.Â
Kembali ke filsuf kedai kopi, bagi saya keberadaan mereka bukanlah masalah. Mereka mempraktikkan gerak pemikiran, sepertinya mereka meyakini bahwa zaman modern dilahirkan filsuf semacam Descartes yang memiliki kredo Cogito Ergo Sum alias “aku berpikir maka aku ada” tentu itu lebih baik daripada “aku bergibah maka aku ada” atau yang lebih keji “aku meneror maka aku ada”. Meskipun dalam obrolan di kedai kopi juga banyak dipenuhi omong kosong, paling tidak ada proses kreatif di sana.
Dalam usaha memulai kreativitas, tak jarang langkah awal yang ditempuh seseorang adalah meniru. Seperti adanya proses memodifikasi sebuah tulisan ataupun gagasan, itu sah saja. Maka dari itu, ketika melihat seseorang sedang melakukan kreativitas, namun idenya adalah hasil meniru, bagi siapa pun itu jangan main hakim. Yang perlu dihindari dan dicegah adalah upaya mengakui karya orang lain. Bahkan mengambil keuntungan dari pekerjaan orang lain, sebab tindakan itu adalah kriminal.
Sepengetahuan saya, setiap orang memang selalu memiliki kecenderungan meniru. Dan proses meniru itu selalu mencari sumber yang terbaik. Dengan begitu, keberadaan filsuf kedai kopi, bisa jadi mereka melakukan sebuah pembaharuan terhadap gagasan lama yang dinilai sebagai yang terbaik. Bagaimanapun keberadaan filsuf adalah lebih baik, meski mereka duduk-duduk di kedai kopi.
Liyan daripada itu, dalam proses berdiskusi serta berpikir tentu akan selalu membawa perubahan. Perubahan-perubahan besar bisa dimulai dengan adanya perubahan kecil. Negara yang kita amini saat ini, pada kenyataannya belum mampu mengentaskan masalah laten serupa korupsi yang bertahun-tahun menempel pada birokrasi. Barangkali filsuf kedai kopi adalah orang-orang yang bisa memberi pengaruh dan memberi perubahan dari hasil diskusi yang mereka lakukan.
Jika proses berpikir dan berdiskusi itu telah membudaya, ini bukan hanya bermanfaat untuk kehidupan kita di hari ini. Lebih dari itu kita bisa menjadi aktor yang menumbuhkan perubahan. Barangkali para filsuf kedai kopi yang kita saksikan saat ini adalah tokoh yang membawa kemajuan gagasan-gagasan filsafat di Indonesia kelak. Bahkan bisa melampaui gagasan-gagasan filsafat di Barat sana.
Bukan hal yang mustahil terjadi pada filsuf kedai kopi. Tanpa kita sadari, bisa saja mereka adalah tonggak perubahan peradaban bangsa. Mereka bergerak dengan bergerilya.
Dengan begitu, saya berkesimpulan filsuf kedai kopi itu sebaiknya diapresiasi. Ya, sebab mereka sedang melakukan proses kreativitas dalam diskusi serta berpikir untuk meramu gagasan baru. Bukankah keberadaan pemikir atau filsuf adalah hal yang positif? Meskipun ada beberapa yang terjebak dalam istilah yang ndakik-ndakik, nggak masalah. Toh, mereka sedang belajar dan mencoba mengekspresikan kebebasan dalam berpikir dan berekspresi.
BACA JUGA Gunungkidul Adalah Kawasan yang Menciptakan Romantisme Jogja dan tulisan Nikma Al Kafi lainnya.