Sampai bulan ini, setidaknya sudah ada dua film waralaba Hollywood yang bikin saya makin males ngikutin kelanjutannya lagi. Pertama Fast X, waralaba-nya Fast and Furious. Kedua, Transformers: Rise of the Beasts. Kalau Fast X memaksa saya untuk me-reset logika dan berulang kali memastikan benak saya untuk berpikir kalau film ini fantasi belaka, maka Transformers: Rise of the Beasts seperti menyadarkan saya bahwa film robot-robotan itu sejatinya memang diciptakan untuk menghibur anak-anak, bukan orang dewasa.
Walaupun nggak bisa dibilang penggemar berat film ini, namun ternyata saya sudah mengikuti waralaba Transformers sejak film pertamanya tayang pada 2007. Inti ceritanya sebenarnya sederhana. Robot-robot jagoan (geng Autobots) turun ke bumi dari planetnya, Cybertrone, untuk membantu manusia yang sedang diserang oleh robot-robot penjahat (geng Decepticons, atau Unicorn). Itu aja.
Akan tetapi jalan ceritanya dibuat ribet, ndakik-ndakik. Selain itu, waralaba ini juga jadinya terasa terlalu “matang” untuk anak-anak. Lha, aktris yang “disodorin” selevel Megan Fox gitu je. Bisa jadi karena memang targetnya penonton remaja dan dewasa.
Selama menonton film-film Transformers sebelum ini, saya suka geli melihat orang tua yang mengajak anak-anaknya ikutan nonton. Iya, ini film robot. Tapi, apa iya orang tuanya nggak paham kalau film robot yang ini kan bukan seperti Wall-e, atau Big Hero? Terus kalau anak-anak diajak nonton Transformers, kira-kira berharap mereka terhibur melihat apa? Megan Fox buka kap mobil?
Daftar Isi
Cerita Transformers: Rise of the Beasts sederhana
Pemikiran saya berubah ketika menonton Transformers: Rise of the Beasts. Saya cukup merestui jika ada orang tua yang mau mengajak anak-anaknya nonton. Saya merasa, film Transformers kali ini memang lebih ramah anak. Ceritanya nggak ribet dan mudah dicerna. Cuma rebutan kunci. Kebetulan sang kunci (yang punya nama cukup keren, yaitu Transwrap), digadang-gadang sebagai portal bagi sang penjahat untuk menguasai planet-planet. Itu saja. Ditinggal pipis di tengah film pun kita masih bisa mengikutinya lagi.
Selain itu, anak-anak pasti suka karena robotnya kali ini juga lebih banyak dan bervariasi. Nggak cuma robot yang bisa berubah jadi mobil, tapi Transformers: Rise of the Beasts juga menampilkan robot pesawat, dan robot binatang-binatang.
Saya membayangkan jika saat menonton film ini saya masih duduk di bangku SD, pasti saya takjub sekali melihat betapa kerennya binatang-binatang seperti gorila, citah, atau bahkan elang dibuat versi robotnya. Tapi, karena kenyataannya saya sudah bukan di SD lagi, jadi melihat binatang-binatang itu berotot besi ya B aja.
Robot-robotan identik dengan dunia anak-anak
Bagi saya, film ini seakan menyadarkan bahwa robot-robotan itu sebenarnya masih identik dengan dunia anak-anak. Ya, Transformers: Rise of the Beast sepertinya memberi kesempatan para orang tua untuk meredam rengekan anak mereka yang pengin nonton film ini. Nggak apa-apa, kok, nonton aja. Aman. Ceweknya nggak selevel Megan Fox. Eh.
Tapi, film ini jadi jauh berubah dari ekspektasi saya sebelumnya. Pengalaman dari film-film sebelumnya, saya sudah mempersiapkan diri fisik maupun mental waktu memutuskan untuk menonton Transformers: Rise of the Beasts. Bagi saya, menonton waralaba ini nggak bisa sambil lalu saja. Fisik kudu fit karena bakalan lebih dari dua jam saya mencerna bagaimana jalan ceritanya yang bagi saya biasanya nggak sederhana.
Belum lagi pertarungan para robot yang sebenarnya melelahkan mata. Iya keren, tapi saya merasa harus konsentrasi tinggi untuk bisa menikmati gedabak-gedebuk para robot itu bertarung. Dan karena final battle biasanya diletakkan di terakhir (ya namanya aja final), biasanya otak saya sudah capek banget sebelum sampai ke adegan itu. Alhasil beberapa final battle malah sukses bikin saya pusing dan akhirnya ketiduran. Duh.
Nah, Transformers: Rise of the Beasts malah bikin saya melek sepanjang film. Bisa jadi karena beberapa hal memang terasa berbeda dibandingkan film-film sebelumnya. Salah satunya adalah ceritanya yang benar-benar sederhana, gampang ditebak. Nggak perlu mengerutkan kening dan memeras otak seperti film-film sebelumnya.
Kekurangan Transformers: Rise of the Beasts
Tapi, ada juga hal berbeda yang menurut saya menjadi kekurangan film ini, terutama terkait pemeran utama pria dan wanitanya. Bagi saya, penampilan mereka kurang “menjual” untuk ukuran fillm Hollywood. Namun sayangnya hal itu nggak bisa “dikatrol” dengan akting mereka yang standar saja.
Padahal dari biografi yang saya baca, Anthony Ramos sang pemeran Noah Diaz, adalah aktor yang punya track record cukup baik sebagai nominator maupun pemenang di beberapa penghargaan film. Namun kenapa di Transformers: Rise of the Beasts ini dia nggak terlihat istimewa?
Akting yang nggak lebih baik (kalau nggak mau dibilang di bawah rata-rata) juga ditampilkan oleh sang pemeran wanita, Dominique Fishback yang memerankan karakter Ellena Wallace. Maaf jika kemudian sosok Megan Fox, Rosie Huntington Whitely, atau Nicola Peltz (para pemeran wanita di film Transformers sebelumnya), yang masih menempel di benak saya. Aktris “pendamping” sang aktor utama di waralaba ini bagi saya itu sudah seperti “Bond-girl”, cewek-cewek yang mendampingi sang agen rahasia, James Bond. Kudu cakep dan seksi. Itu, yang terlihat “dibangun” dari sejak film perdananya.
Dan ketika saya nggak mendapati hal-hal yang sudah saya jumpai sebelumnya di waralaba ini, termasuk sosok pemeran wanita, saya pun berkesimpulan bahwa film ini mungkin sengaja dibuat kembali ke fitrahnya sebagai film robot-robotan yang diharapkan bakal disukai anak-anak. Nggak perlu cerita rumit, nggak ada cewek seksi, juga nggak ada adegan naksir-naksiran apalagi ciuman.
Jadi, buat para orang tua nggak usah ragu kalau mau bawa anaknya nonton film ini. Tenang saja. Transformers: Rise of the Beasts ini sepertinya sudah bertransformasi menjadi film anak-anak.
Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Bukan RoboCop atau Transformers, T-800 Adalah Robot Tercanggih di Dunia.