Sekadar mengingatkan, tulisan ini mengandung spoiler film Pangku yang sedang diputar di bioskop ~
Film garapan aktor kawakan Reza Rahadian, Pangku, tengah diputar di bioskop. Film ini diperbincangkan karena menjadi debut Reza sebagai sutradara. Selain itu, Pangku dinilai mampu mengangkat fenomena sosial dan gender secara apik.
Pangku menceritakan dinamika kehidupan perempuan yang bekerja sebagai pramuria di sebuah warung kopi di jalur Pantura. Asal tahu saja, di warung-warung kopi Jalur Pantura ada realitas sosial Kopi Pangku. Warung-warung kopi kecil kerap memberikan “service tambahan” yang disediakan oleh para pramuria. Adapun pelanggannya dari kalangan supir truk dan ada pula kalangan buruh pekerja informal.
Nah, tokoh utama yang diceritakan sebagai orang tua tunggal dalam film bekerja sebagai pramuria di warung-warung tersebut. Dia memiliki seorang anak yang harus dihidupi dengan bekerja sebagai pramuria kopi pangku.
Di tulisan ini saya nggak akan membahas detail ceritanya. Saya hanya ingin berbagi pengalaman setelah menonton Pangku.
Mengkritisi konstruksi sosial akan peran laki-laki dan perempuan
Sebagai laki-laki yang lahir di masyarakat patriarkis, ekspektasi bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan begitu kuat. Sejak lahir, konstruksi sosial membentuk perspektif tentang maskulinitas inheren dengan peran-peran di lingkungan, seperti menjadi pemimpin dan menjadi pemberi nafkah kaum perempuan.
Sementara, di Jawa, perempuan sering dianggap sebagai kanca wingking atau dalam bahasa Indonesia dikenal istilah teman belakang. Artinya, perempuan hanya boleh melakukan hal-hal di ranah domestik. Pekerjaan domestik ini biasanya sepaket dengan anggapan perempuan kelompok yang lemah dan selalu di bawah laki-laki.
Akan tetapi, yang ditampilkan di Pangku justru sebaliknya. Tokoh utama merupakan orang tua tunggal yang digambarkan begitu kuat. Tokoh utama tahan banting melewati persoalan demi persoalan dalam hidup. Walau belakangan, hal semacam ini juga tidak baik untuk diglorifikasi karena jadi mengaburkan ketidakadilan yang kerap dialami oleh orang tua tunggal.
Film Pangku jadi gerbang pembuka
Sepanjang menonton, saya merasa merasa “tertampar” sebagai laki-laki. Saya merasa tokoh utama dalam film Pangku lebih kuat dari kebanyakan laki-laki yang pernah saya temui. Dia tak hanya mengurus persoalan domestik. Dia juga mencari nafkah untuk keluarga kecilnya.
Jelas alur itu terdengar asing bagi saya yang selama ini hidup di lingkungan patriarkis. Saya berpandangan, bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan. Itu mengapa, posisi seperti pemimpin dan pencari nafkah sudah sewajarnya jadi tanggung jawab laki-laki.
Akan tetapi, sedikit demi sedikit, pandangan ini terkikis ketika nonton Pangku. Perempuan ternyata juga bisa sekuat laki-laki. Perempuan ternyata bisa memegang peran-peran di luar ranah domestik. Bahkan, bisa menjadi pemimpin setidaknya bagi keluarga kecilnya sendiri.
Kesadaran ini menuntut saya untuk melihat perempuan bukan sebagai kelompok kelas ke-2. Kesadaran ini juga yang menyadarkan saya bahwa kebijakan-kebijakan yang tidak berperspektif gender masih bertebaran di sana-sini. Kebijakan yang menciptakan ketidakadilan masih banyak dirasakan oleh perempuan di tengah masyarakat . Tentu ini tidak hanya soal laki-laki atau perempuan. Ini adalah upaya mewujudkan relasi yang setara, pembagian kerja yang adil antara laki-laki dan perempuan.
Mungkin perjalanannya masih panjang untuk memahami isu gender dan banyak hal lain. Namun, film Pangku setidaknya bisa jadi gerbang banyak laki-laki lain untuk lebih mengenal lebih dalam isu ketimpangan gender yang ada di masyarakat. Terima kasih film Pangku.
Penulis: Muhammad Rifai
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Alasan Kecewa Nonton Film Abadi Nan Jaya Netflix, Ekspektasi Saya Ketinggian.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















