Buat para penggemar novel tahun 90-an terutama genre horor, pastinya tahu dengan serial novel karangan R.L Stine yang berjudul Fear Street. Bukunya sendiri diterbitkan salah satu penerbit besar Indonesia sudah cukup lama, dan mungkin sekarang sudah jadi barang bersejarah buat beberapa orang.
Tahun ini Netflix membuat serial novel, yang cukup populer pada masanya ini jadi serangkaian film, yang terdiri dari tiga bagian. Fear Street: 1994, Fear Street: 1978, dan Fear Street: 1666. Ketiganya masih saling berkaitan, namun berjalan di waktu dan masa yang berbeda.
Buat anak tahun 90-an melihat novel kesayangannya diangkat ke layar lebar, rasanya memang penuh nostalgia. Walau terkadang adaptasi sering mengecewakan banyak orang, karena saking banyaknya cerita yang diubah dari versi aslinya.
Tapi setelah dinikmati, ternyata adaptasi kali bisa dibilang cukup memuaskan. Saya menemukan ada tiga keunggulan dari Film ini dibanding genre sejenis.
Setia pada novel, walau banyak penyesuaian
Satu hal yang menarik dari Fear Street dari dulu, adalah tema ceritanya yang sederhana, simpel, dan mudah dicerna. Biasanya berputar pada kehidupan remaja yang penuh dinamika dan kegalauan.
Bagian lain yang mencuri perhatian, mereka banyak memasukkan nama-nama karakter yang familiar dari novelnya. Misal saja, Sarah Fier, atau keluarga Goode. Yang sejarahnya bisa kalian baca lebih lanjut di serial Fear Street Saga. Dan beberapa karakter utama pun ada kesamaan dengan novelnya. Contoh lainnya Deena, atau Samantha Frasher. Buat yang suka baca novel pasti tahu maksudnya.
Walau ceritanya memang tetap mengalami perombakan, tapi tujuannya bisa dimaklumi. Semuanya agar elemen kejutannya tidak hilang. Soal rasa, dari sisi nostalgia, tetap sama.
Slasher-nya selektif dan efektif
Buat penggemar slasher, terutama adegan berdarah-darah, jangan khawatir. Film ini menawarkan banyak momen-momen yang tidak mengecewakan.
Kebanyakan film slasher biasanya selalu berlebihan mengeksploitasi kekerasan dan darah. Hingga pada akhirnya, yang kita tonton bukanya jalan cerita, tapi malah adegan cincang mencincang.
Ibarat masakan, walau suka yang namanya MSG, tapi kebanyakan MSG akan tetap bikin rasanya jadi tidak enak, dan malah membuat mual orang yang menikmatinya. Tapi, film ini berhasil menampilkannya dengan lebih selektif dan efektif.
Semua pembunuhan yang terjadi di film ini, berhasil menyatu dengan cerita, menghasilkan tempo yang pas dan tidak mengganggu alur yang dibangun film. Artinya tidak asal bunuh, hanya untuk tujuan estetik atau memanjakan penggemar genre slasher.
Adegan sadis yang dimunculkan film lebih seperti bumbu yang menambah rasa, bukan bagian utama yang terlalu ditonjolkan. Sehingga bagi mereka yang kurang menyukai darah pun masih bisa menikmatinya.
Cocok buat orang yang kurang sabaran
Bagi yang biasa nonton film dengan banyak sekuel, hal yang sering bikin emosi adalah ketika film yang kita tonton, ending-nya menggantung, dan kita harus menunggu lama buat sekuelnya tayang.
Bayangkan rasanya di-PHP selama bertahun-tahun. Apalagi jika sekuelnya muncul lebih dari sepuluh tahun kemudian. Kadang banyak orang yang akhirnya kehilangan minatnya sebelum sekuelnya rilis.
Hal ini tidak berlaku buat Fear Street, karena Netflix menayangkannya semua filmnya dengan hanya jarak seminggu. Jadi kita bisa terus menikmati nya tanpa terganggu jeda yang terlalu lama.
Nilai positifnya adalah, ceritanya lebih terasa utuh, dan terkoneksi satu sama lain lebih baik. Dan tentunya kita lebih puas karena seperti menonton film dengan durasi 5-6 jam.
BACA JUGA Curon, Series Horor Netflix dari Italia