Inilah kisah hitam saya saat kuliah di Fakultas Peternakan UGM. Sebuah kisah yang masih menghantui dalam mimpi. Kisah yang mengajarkan saya bahwa cinta dan mati bagaikan dua sisi koin. Dan saya harap, kisah ini bisa membuka mata anda tentang kehidupan kami di fakultas peternakan UGM, terutama angkatan 2011.
Kisah ini terjadi pada 2013, semester 3. Semester ini adalah gerbang kami untuk mendalami ilmu peternakan. Ketika dua semester sebelumnya kami lebih banyak mempelajari tentang dasar-dasar ilmu, semester 3 mengajak kami untuk langsung menangani pemeliharaan berbagai hewan ternak. Salah satunya adalah kelinci.
Untuk praktikum di Fakultas Peternakan ini (saya lupa judul praktikum ini), kami dibagi dalam kelompok beranggota 5 orang. Kami mulai praktikum ini dengan menyiapkan segala kebutuhan pemeliharaan kelinci. Ini bukan perkara mudah jika bicara ketersediaan alat. Kami harus berebut mencari kandang kelinci yang layak pakai. Kami juga harus menyiapkan penampung kotoran, tempat air minum, dan tempat pakan. Pokoknya, terasa chaos!
Kemudian, kami harus mencari sepasang kelinci untuk dipelihara. Kelinci yang diizinkan untuk dipelihara adalah jenis Flemish atau New Zealand. Kedua jenis kelinci ini punya penampilan gempal, memiliki rambut sedang, dan harganya murah. Kebetulan, saya dapat jatah untuk mencari kelinci. Selain saya adalah anggota yang paling hapal daerah Jogja, saya memilih susah di awal agar punya alasan untuk malas-malasan di kemudian hari.
Akhirnya, saya mendapat sepasang kelinci dari peternakan di sekitar Jalan Godean. Kelinci yang saya peroleh berjenis New Zealand berusia beberapa minggu. Kelinci jantan punya warna coklat muda yang syahdu, sedangkang kelinci betina berambut putih dengan mata merah. Kelinci betina ini kami beri nama Sora. Saya lupa nama kelinci jantan kami. Entah Baskoro, Hendro, atau Ngadiyat.
Tahap berikutnya dari praktikum ini adalah pemeliharaan. Kami diminta memelihara kedua kelinci tersebut selama 30 hari. Apabila kelinci kami mati selama proses pemeliharaan, kami harus mengganti dengan kelinci baru. Kelinci baru ini harus memiliki berat yang sama dengan berat kelinci yang mati. Jenis kelamin kelinci juga harus sama dengan sebelumnya. Aturan ini memacu kami untuk memelihara kelinci kami sebaik mungkin. Kematian peliharaan kami hanya menambah beban yang sudah menumpuk selama kuliah.
Setiap hari, kami wajib memberi pakan pada kedua kelinci sebanyak dua kali. Yang pertama adalah sebelum jam pertama kuliah, yang kedua sekitar pukul 16.00. Perkara pakan, kami harus menyediakan pakan pelet dan daun kacang tanah. Kami juga diwajibkan membersihkan kandang setiap hari, dan mencuci kandang serta peralatan sekali dalam seminggu.
Awal praktikum sangat berat bagi kami. Kami harus meluangkan waktu untuk memelihara kelinci, ketika praktikum mata kuliah lain juga sama-sama melelahkan dan menyita pikiran. Belum lagi, praktikum ini dilakukan saat musim hujan. Kami harus berbasah-basahan sembari melintasi jalanan becek demi menjaga kelinci kami tetap hidup.
Belum lagi, laporan kami harus ditulis tangan. Maka, hidup kami di semester 3 itu hanya: praktikum, kuliah, praktikum, laporan. Praktikum lain juga menguras tenaga kami. Penat, lelah, bahkan amarah datang silih berganti pada salah satu semester paling sibuk dalam kuliah kami.
Tapi, kelelahan kami terbayar oleh imutnya kelinci kami. Kelinci memang punya tingkah laku yang menggemaskan. Mengerat pakan saja terlihat menggemaskan. Mereka juga mulai hapal dengan pemberi pakan mereka, bahkan sampai tingkat suara. Kelinci kami langsung antusias ketika mendengar suara kami saat jadwal memberi pakan.
Paling menyenangkan adalah saat hari Minggu. Kami harus mencuci kandang dan peralatan ternak kami. Saat mencuci, kelinci kami akan diumbar di lapangan rumput dekat bangunan kandang. Kelinci-kelinci itu lari kesana kemari, dengan telinga yang menyembul dari rerumputan. Beberapa kelinci yang disayang pemiliknya sangat manja dan suka diajak bermain. Termasuk Sora dan pejantan kami.
Namun, canda tawa kami terputus pada hari ke 28. Saat pagi, Sora tidak bisa bergerak. Sora mengalami kembung, yang kemungkinan disebabkan pakan yang kami berikan. Salah satu anggota kelompok mencoba memijit Sora dengan minyak angin. Namun, Sora menginggalkan kami pada sore harinya.
Beruntung, paginya kami mendapat kelinci baru sesuai kriteria di Fakultas Peternakan. Kelinci kedua kami meneruskan nama Sora sebagai penghargaan. Mungkin, anda mengira inilah akhir dari kisah gelap ini. Anda salah. Anda sangat salah! Puncak kesedihan kami adalah pada hari ke-31.
Seluruh praktikan telah paham jika hari tersebut akan datang. Hari dimana kami akan mengakhiri praktikum ini dan mengambil konklusi. Namun, tidak semua praktikan siap dengan datangnya hari terakhir. Hari dimana kami harus menjagal kelinci peliharaan yang telah bersama selama 30 hari.
Siang itu adalah siang yang suram. Kelinci masing-masing kelompok dibawa ke laboratorium ternak potong, kerja, dan kesayangan. Pisau cutter telah kami siapkan untuk prosesi penyembelihan ini. Beberapa teman tidak mampu melihat kelinci peliharaannya dijagal. Salah satu anggota kelompok saya sampai berkaca-kaca. Dan saya yakin, beberapa dari kami ada yang menitikkan air mata.
Saya mendapat jatah untuk menyembelih kedua kelinci kelompok kami. Alasannya sederhana: saya orang yang tegaan. Memang, saya berlagak sok keras dan tegar. Namun hati kecil saya berkata, “untung Sora sudah mendahului. Setidaknya saya tidak harus menyembelih dia.”
Namun, kekejaman belum berakhir. Kami diminta menguliti kelinci yang pagi tadi sangat lucu itu. isi jeroan kelinci juga harus dikeluarkan. Setelah itu, kami diminta untuk memisahkan daging dari tulang kelinci. Sebagai penutup, kami diminta mengukur panjang organ pencernaan, menimbang tulang, dan daging kelinci yang kami pelihara seperti anak sendiri. Hari itu, kami harus berdarah dingin!
Akhirnya, praktikum di Fakultas Peternakan ini berakhir. Yang tersisa tinggal menulis laporan yang tebalnya semena-mena dan harus tulis tangan. Saat pulang, saya diminta untuk membawa daging kelinci kesayangan kami. Saya hanya bisa merenung. Mengingat 30 hari meluapkan rasa cinta pada dua hewan menggemaskan itu. Saya tersenyum kecut, sambil menikmati tongseng kelinci peliharaan kami.
BACA JUGA Harus Gimana Lagi sama Orang yang Percaya Konspirasi Wahyudi Covid-19?! dan tulisan Dimas Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.