“Le, mbok kuliah meneh, lanjut S2 ngono. Buk’e kok ngerasa eman-eman ndelok koe ra lanjut kuliah.”
Kalimat yang Ibu lontarkan di dapur rumah Ibu saat itu menyengat saya. Tiba-tiba saja, Ibu menyuruhku lanjut kuliah lagi. Tentu saja hal ini aneh. Pertama, Ibu tahu betul saya tidak suka sekolah dan memang tak pernah punya keinginan untuk kuliah lagi. Kedua, beliau tentu saja tahu bahwa saya butuh tujuh tahun untuk lulus S1. Sudah tujuh tahun, IPK terendah lagi.
Saya menjawab Ibu dengan bercanda, apakah beliau mau bayarin, mengingat kuliah S2 itu nggak murah. Tapi di luar ekspektasi, beliau mau bantu jika dirasa saya tak mampu. Lho, kok malah dadi angel ngene. Akhirnya ya, saya tolak keinginan Ibu. Jelas, saya tidak mampu, tapi bukan itu saja alasan penolakan saya.
Begini. Keinginan ibu itu satu hal, tapi kemampuan diri itu hal lain lagi. Saya bisa saja menuruti ibu, tapi status saya sebagai bapak satu anak, masih ditekan KPR, pekerjaan yang tak ingin saya ganggu, serta saya masih harus jadi mentor Kelas Menulis Bahagia bikin kuliah S2 jelas bukan hal masuk akal untuk ditempuh. Harus ada satu hal yang saya korbankan, sedangkan saya sendiri tak mau meninggalkan itu semua.
Pun, jujur saja, untuk sekarang atau 5 tahun ke depan, saya nggak butuh kuliah S2. Yang saya butuhkan adalah sertifikasi skill, kalau itu mah, duit berapa pun, saya usahakan. Sebab ya, ijazah S2 nggak ada harganya di dunia kerja.
Akui saja, predikat S2 tak memberimu keuntungan apa-apa di dunia kerja. Dan itulah alasan saya kenapa hingga sekarang, keinginan untuk lanjut kuliah tak pernah muncul.
Daftar Isi
2 orang yang pantas untuk diajak bicara
Saya memang tak memahami seperti apa dunia S2 dan setelah itu. Tapi saya punya banyak kawan yang melanjutkan pendidikan, dan sukses mengarungi kehidupan setelah meraih gelar magister. Masalahnya, sebagai editor Terminal Mojok, tak sedikit naskah tentang kuliah S2 yang bikin saya bergidik karena dunia S2 nyatanya begitu kejam.
Akhirnya saya mengajak ketemu dua kawan saya yang saya anggap sukses mengarungi dunia setelah kelar S2. Giyas dan Nafis, dua kawan saya mengarungi S1, saya tanyai banyak hal tentang S2, dan tentu saja, agar saya punya bahan untuk menulis ini.
Saya ngajak ketemu Giyas dan Nafis di Khamie, kedai mi dan kopi milik Giyas, lokasinya di dekat Saint Bier. Yang Jogja pasti tahu lah tempatnya di mana. Seperti biasa, saya datang paling awal, sekitar pukul 20:30 WIB. Setelah menghabiskan mi semangkok dan kopi setengah cup, Nafis baru datang. Giyas masih belum terlihat batang hidungnya. Batin saya, owner yo bebas ding.
Nafis datang bersama kawan-kawannya, setelah mendatangi acara di Nol KM. saya kasih sedikit background Nafis. Dia kawan sekelas saya di Sastra Inggris. Sama-sama lulus 7 tahun, tapi dia melanjutkan S2 di MM UGM. Beda jurusan, dan jelas beda keilmuan. Tapi dia lulus dengan nilai yang cemerlang. Gara-gara nilainya yang begitu cemerlang, saya jadi percaya ramalan bahwa kiamat makin dekat.
Kalau kalian penasaran apa kerja Nafis hingga saya bilang dia orang yang pantas untuk saya tanyai, saya tak bisa bilang. Tapi singkatnya, dia sukses, dan kesuksesan dia ditunjang dari keilmuan yang dia dapat di bangku S2.
Setelah berbincang-bincang lumayan lama, mengingat kebodohan masa muda, dan membuka aib masing-masing, saya langsung menembak Nafis dengan pertanyaan ini: menurutmu, yang salah apanya, jika ada yang bilang kuliah S2 nggak ada harganya di dunia kerja?
Baca halaman selanjutnya: Mindset yang sudah keliru sejak awal…
Mindset yang sudah keliru sejak awal
“Mindset-nya udah keliru dari awal, Mor (panggilan saya). Kuliah memang bisa buat cari kerja, tapi bukan senjata satu-satunya. Kalau baru cari arah karier sebelum daftar S2, itu udah telat. Harusnya ya sejak S1. Itu pun yang dicari ijazahnya aja, skill udah perkara lain lagi.”
“Dunia kerja, nyatanya, tidak selalu linier dengan pendidikan. Berapa banyak kawan kita yang akhirnya punya pekerjaan yang nggak nyambung dengan kuliahnya? Banyak. Apakah mereka kesulitan? Ya nggak juga kan? Itu baru contoh kecil.”
“Jadi kalau cari yang salah apanya, ya yang salah orangnya. Kuliah S2 itu harusnya nggak dimaknai cara mencari gaji atau kerja mentereng, terlebih jika nggak paham marketnya.”
Saya minta Nafis berhenti setelah bilang market. Saya minta dia jelasin perkara market ini, sebab bagi saya, ini poin yang jujur saja sama-sama saya pegang kebenarannya. Percuma banggain pendidikan ijazah kita, kalau market nggak butuh. Ya, untuk apa gitu lho?
Nafis lalu menjelaskan. “Ngene, Mor, kamu kuliah Nuklir sampai S2, terus nggak dapat kerja, lalu nyalahin sistem, ini yang aneh siapa? Yo kowe lah. Kan nggak banyak lapangan pekerjaan yang menampung lulusan Nuklir. Ngerti ora akeh, kok nekat?”
“Tapi, Pis, kan orang ambil S2 itu pastinya udah punya pandangan kalau dia kerja di mana kan?”
“Nah, itu maksud dari salah di mindset. Dia harusnya sudah tahu risiko apa yang dia hadapi sebelum kuliah S2. Kalau ujungnya nggak dapet kerjanya, ya dia nggak bisa begitu saja nyalahin sistem. S1, S2, sama saja di dunia kerja, sama-sama menghadapi persaingan. Njuk nek S2 spesial ngono neng ngarepe HR? Yo ora lah.”
“Jadi yang salah orangnya, Pis?”
“Mosok yo Jokowi?”
Yang ngasih kerja aja nggak tau apa yang dia cari
Giyas akhirnya datang. Ternyata dia harus jadi pemain pengganti turnamen badminton. Agak random juga, pemain pengganti badminton.
Langsunglah saya tembak dia dengan pertanyaan yang mirip dengan Nafis. Sedikit background, dia beda 2 angkatan dengan saya. Cuman, dia lulus duluan dan mengambil jurusan yang linier dengan jurusan S1-nya. Setahu saya, dia ambil American Studies di FIB UGM. Saya nggak tahu tepatnya, pokoknya dia kuliah S2.
Setahu saya, Giyas masih bekerja jadi dosen tidak tetap di salah satu universitas di Jogja. Dia juga buka warung mi Khamie, serta garap orderan musik. Perkara kerja, Giyas jelas bukan pemula. Nyawang tok wae wis kesel aku. Makane aku nek dolan seringe nunut turu.
Pertanyaan yang saya lontarkan ke Giyas sama dengan Nafis. Jawaban dia mirip, tapi ada satu poin yang menurut saya menarik untuk diketahui.
Giyas bercerita bahwa masalah lapangan kerja S2 itu memang bermasalah karena regulator dunia kerja pun nggak punya pemahaman yang sama. Contoh, dia cerita kalau gagal daftar jadi dosen Sastra Inggris di universitas tertentu gara-gara jurusan dia S2 dianggap tidak linier dengan Sastra Inggris.
Tentu saja ini aneh, karena ya gimana ceritanya situ mau belajar American Studies kalau nggak paham Sastra Inggris. Setau saya sih, nggak ada orang jurusan, misal, Kimia Murni lanjut ke American Studies.
Bagi dia, kalau yang linier aja kacau, makin masuk akal jika yang nggak linier bakal kesusahan cari kerja. Jadi ya intinya, dua orang ini menganggap S2 bukan cara mempermudahmu cari kerja. Pada titik tertentu, malah menyulitkan.
Dari ini saja, saya sudah mantap untuk tidak melanjutkan S2.
Kuliah S2 tidak sama dengan gaji tinggi
Rasanya, tak afdal menanyakan pertanyaan sejuta umat pada lulusan S2 yang ada di depan saya. Pertanyaan pertama, apakah lumrah jika lulusan S2 menganggap wajar jika mereka minta gaji tinggi, karena biaya kuliah mereka mahal?
Giyas langsung dengan cepat menjawab tidak. Tidak lumrah karena ya pendidikan bukan penentu utama kamu dianggap skillful atau tidak. Skill lah yang bikin gajimu bisa meledak.
Nafis menjawab hal yang sama, tapi dengan lebih lengkap. Bagi Nafis, kau tidak bisa dapat kerja bermodalkan satu skill. Karyawan mana pun, sebenarnya punya banyak skill yang mereka kuasai, makanya mereka diterima kerja. Makanya, kalau memang mau dapat kerja, belajar skill yang banyak, sebab memang itulah yang jadi daya tawarmu di depan perusahaan.
Dia juga bilang bahwa pertanyaan saya datang dari mindset yang salah dalam orang memandang S2. Kalau memang mau kerja dari ijazah S2-mu, ya minimal harus melihat market itu butuhnya apa. Kalau pasar tidak butuh jurusan yang kau tuju, ya ngapain kamu nekat ambil?
Jadi, bagi Nafis, menyalahkan dunia kerja, atau sistem, atau apalah itu, tidak tepat karena urusan kerja dan pendidikan tidak selalu beriringan. Skill dan sertifikasi lah yang bikin kamu laku di dunia kerja. Itulah kenapa bootcamp laku, itulah kenapa seminar skill selalu ramai. Ya simply orang butuh skillnya, dan itu laku di dunia kerja.
Mendengar penjelasan tersebut, saya akhirnya paham kenapa nilai Nafis cemerlang. Ya, dia paham apa yang dia lakukan. Dan bagi saya, orang sukses itu selalu berbagi satu hal: mereka tahu apa yang mereka lakukan, dan KENAPA mereka melakukan itu.
“Pis, penutup iki. Berarti, kalau ada orang kuliah S2, lulus, susah dapet kerja, jadi sing salah adalah orangnya sendiri?”
Nafis hanya mengangguk, sembari menyedot Surya Pro. Dari sorot matanya, saya sudah tahu maksudnya.
Kuliah S2 tak menjadikanmu punya kuasa besar
Ketika jam menunjukkan pukul 23:00, kami sepakat mengakhiri obrolan. Wajah letih tampak di muka Nafis dan Giyas, dan tentu saja saya. Saya harus mengarungi jalanan gelap menuju tempat tinggal dan mencatat poin-poin penting yang ada.
Di sepanjang jalan, saya terngiang-ngiang kata-kata kawan saya yang menohok saya. Pendidikan tinggi macam S2, yang kerap dianggap bargaining power, nyatanya benar-benar tak ada tajinya. Pantas jika sudah banyak perusahaan tak peduli pendidikan terakhir, IPK pun tak dianggap penting. Semua, tunduk di depan kemampuan. Dan manusia paling mahal, saya kira, yang punya banyak kemampuan yang membantu perusahaan menyelesaikan masalah.
Saya jadi kasihan dengan banyak mahasiswa S2 yang menganggap bahwa kuliah S2 akan mengangkat mereka ke level yang lebih tinggi. Mungkin status sosial mereka terangkat, tapi rekening, ah, saya tak begitu yakin. Sebab, ya lagi-lagi, di depan perusahaan, mereka belum tentu teruji. Fakta ini, pahit, tapi, inilah dunia. Jauh dari ideal, dan tak akan pernah ideal.
Di saat yang sama, saya juga mengasihani diri saya. Sudah S1 doang, itu pun lulus dengan memalukan, tak punya skill hebat lagi. Jancuk, goblok!
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya