Daftar Isi
Mindset yang sudah keliru sejak awal
“Mindset-nya udah keliru dari awal, Mor (panggilan saya). Kuliah memang bisa buat cari kerja, tapi bukan senjata satu-satunya. Kalau baru cari arah karier sebelum daftar S2, itu udah telat. Harusnya ya sejak S1. Itu pun yang dicari ijazahnya aja, skill udah perkara lain lagi.”
“Dunia kerja, nyatanya, tidak selalu linier dengan pendidikan. Berapa banyak kawan kita yang akhirnya punya pekerjaan yang nggak nyambung dengan kuliahnya? Banyak. Apakah mereka kesulitan? Ya nggak juga kan? Itu baru contoh kecil.”
“Jadi kalau cari yang salah apanya, ya yang salah orangnya. Kuliah S2 itu harusnya nggak dimaknai cara mencari gaji atau kerja mentereng, terlebih jika nggak paham marketnya.”
Saya minta Nafis berhenti setelah bilang market. Saya minta dia jelasin perkara market ini, sebab bagi saya, ini poin yang jujur saja sama-sama saya pegang kebenarannya. Percuma banggain pendidikan ijazah kita, kalau market nggak butuh. Ya, untuk apa gitu lho?
Nafis lalu menjelaskan. “Ngene, Mor, kamu kuliah Nuklir sampai S2, terus nggak dapat kerja, lalu nyalahin sistem, ini yang aneh siapa? Yo kowe lah. Kan nggak banyak lapangan pekerjaan yang menampung lulusan Nuklir. Ngerti ora akeh, kok nekat?”
“Tapi, Pis, kan orang ambil S2 itu pastinya udah punya pandangan kalau dia kerja di mana kan?”
“Nah, itu maksud dari salah di mindset. Dia harusnya sudah tahu risiko apa yang dia hadapi sebelum kuliah S2. Kalau ujungnya nggak dapet kerjanya, ya dia nggak bisa begitu saja nyalahin sistem. S1, S2, sama saja di dunia kerja, sama-sama menghadapi persaingan. Njuk nek S2 spesial ngono neng ngarepe HR? Yo ora lah.”
“Jadi yang salah orangnya, Pis?”
“Mosok yo Jokowi?”
Yang ngasih kerja aja nggak tau apa yang dia cari
Giyas akhirnya datang. Ternyata dia harus jadi pemain pengganti turnamen badminton. Agak random juga, pemain pengganti badminton.
Langsunglah saya tembak dia dengan pertanyaan yang mirip dengan Nafis. Sedikit background, dia beda 2 angkatan dengan saya. Cuman, dia lulus duluan dan mengambil jurusan yang linier dengan jurusan S1-nya. Setahu saya, dia ambil American Studies di FIB UGM. Saya nggak tahu tepatnya, pokoknya dia kuliah S2.
Setahu saya, Giyas masih bekerja jadi dosen tidak tetap di salah satu universitas di Jogja. Dia juga buka warung mi Khamie, serta garap orderan musik. Perkara kerja, Giyas jelas bukan pemula. Nyawang tok wae wis kesel aku. Makane aku nek dolan seringe nunut turu.
Pertanyaan yang saya lontarkan ke Giyas sama dengan Nafis. Jawaban dia mirip, tapi ada satu poin yang menurut saya menarik untuk diketahui.
Giyas bercerita bahwa masalah lapangan kerja S2 itu memang bermasalah karena regulator dunia kerja pun nggak punya pemahaman yang sama. Contoh, dia cerita kalau gagal daftar jadi dosen Sastra Inggris di universitas tertentu gara-gara jurusan dia S2 dianggap tidak linier dengan Sastra Inggris.
Tentu saja ini aneh, karena ya gimana ceritanya situ mau belajar American Studies kalau nggak paham Sastra Inggris. Setau saya sih, nggak ada orang jurusan, misal, Kimia Murni lanjut ke American Studies.
Bagi dia, kalau yang linier aja kacau, makin masuk akal jika yang nggak linier bakal kesusahan cari kerja. Jadi ya intinya, dua orang ini menganggap S2 bukan cara mempermudahmu cari kerja. Pada titik tertentu, malah menyulitkan.
Dari ini saja, saya sudah mantap untuk tidak melanjutkan S2.
Kuliah S2 tidak sama dengan gaji tinggi
Rasanya, tak afdal menanyakan pertanyaan sejuta umat pada lulusan S2 yang ada di depan saya. Pertanyaan pertama, apakah lumrah jika lulusan S2 menganggap wajar jika mereka minta gaji tinggi, karena biaya kuliah mereka mahal?
Giyas langsung dengan cepat menjawab tidak. Tidak lumrah karena ya pendidikan bukan penentu utama kamu dianggap skillful atau tidak. Skill lah yang bikin gajimu bisa meledak.
Nafis menjawab hal yang sama, tapi dengan lebih lengkap. Bagi Nafis, kau tidak bisa dapat kerja bermodalkan satu skill. Karyawan mana pun, sebenarnya punya banyak skill yang mereka kuasai, makanya mereka diterima kerja. Makanya, kalau memang mau dapat kerja, belajar skill yang banyak, sebab memang itulah yang jadi daya tawarmu di depan perusahaan.
Dia juga bilang bahwa pertanyaan saya datang dari mindset yang salah dalam orang memandang S2. Kalau memang mau kerja dari ijazah S2-mu, ya minimal harus melihat market itu butuhnya apa. Kalau pasar tidak butuh jurusan yang kau tuju, ya ngapain kamu nekat ambil?
Jadi, bagi Nafis, menyalahkan dunia kerja, atau sistem, atau apalah itu, tidak tepat karena urusan kerja dan pendidikan tidak selalu beriringan. Skill dan sertifikasi lah yang bikin kamu laku di dunia kerja. Itulah kenapa bootcamp laku, itulah kenapa seminar skill selalu ramai. Ya simply orang butuh skillnya, dan itu laku di dunia kerja.
Mendengar penjelasan tersebut, saya akhirnya paham kenapa nilai Nafis cemerlang. Ya, dia paham apa yang dia lakukan. Dan bagi saya, orang sukses itu selalu berbagi satu hal: mereka tahu apa yang mereka lakukan, dan KENAPA mereka melakukan itu.
“Pis, penutup iki. Berarti, kalau ada orang kuliah S2, lulus, susah dapet kerja, jadi sing salah adalah orangnya sendiri?”
Nafis hanya mengangguk, sembari menyedot Surya Pro. Dari sorot matanya, saya sudah tahu maksudnya.
Kuliah S2 tak menjadikanmu punya kuasa besar
Ketika jam menunjukkan pukul 23:00, kami sepakat mengakhiri obrolan. Wajah letih tampak di muka Nafis dan Giyas, dan tentu saja saya. Saya harus mengarungi jalanan gelap menuju tempat tinggal dan mencatat poin-poin penting yang ada.
Di sepanjang jalan, saya terngiang-ngiang kata-kata kawan saya yang menohok saya. Pendidikan tinggi macam S2, yang kerap dianggap bargaining power, nyatanya benar-benar tak ada tajinya. Pantas jika sudah banyak perusahaan tak peduli pendidikan terakhir, IPK pun tak dianggap penting. Semua, tunduk di depan kemampuan. Dan manusia paling mahal, saya kira, yang punya banyak kemampuan yang membantu perusahaan menyelesaikan masalah.
Saya jadi kasihan dengan banyak mahasiswa S2 yang menganggap bahwa kuliah S2 akan mengangkat mereka ke level yang lebih tinggi. Mungkin status sosial mereka terangkat, tapi rekening, ah, saya tak begitu yakin. Sebab, ya lagi-lagi, di depan perusahaan, mereka belum tentu teruji. Fakta ini, pahit, tapi, inilah dunia. Jauh dari ideal, dan tak akan pernah ideal.
Di saat yang sama, saya juga mengasihani diri saya. Sudah S1 doang, itu pun lulus dengan memalukan, tak punya skill hebat lagi. Jancuk, goblok!
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya