Salah satu syarat bagi seseorang untuk diakui sebagai politisi adalah dengan memiliki akhlakul mencla-mencle. Inilah syarat yang mau tidak mau harus dikantongi politisi. Sebab kalau tidak, bisa-bisa seseorang akan terlempar sia-sia dari pusaran politik, khususnya di Indonesia. Syarat itu tentu saja tidak berlaku kepada Fadli Zon.
Rasa-rasanya, di antara sekian politisi yang eksis di Indonesia, hanya Fadli satu-satunya politisi yang dapat dipercaya. Suka tidak suka, setiap pernyataannya mengandung kejujuran, ibarat kata Pram, Fadli Zon adalah politisi yang “adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Terlepas dari peristilahan “adil” yang diperdebatkan secara definitif, saya yakin politisi semacam Fadli akan melampaui segala definisi adil yang berkembang di masyarakat. Mulai dari adil yang bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya, sampai adil yang bermakna membagi-bagi kekuasaan secara merata kepada anak, kolega hingga para pembesar partai koalisi.
Dugaan saya di atas bukanlah omong kosong belaka, Fadli Zon telah membuktikannya lewat tweet-nya yang selalu dikutip oleh media pemberitaan. Salah satunya ketika beliau mengomentari temuan Polri terkait 20.086 kotak amal yang diduga merupakan sumber pendanaan bagi teroris yang tersebar dari Sumut sampai Ambon.
Lewat akun Twitter ia menulis, “Jualan terorisme tak habis-habis. Tak ada terorisme dalam Islam. #LawanIslamofobia.”
Tentu saja pernyataan Fadli tersebut menunjukkan jalan pikirannya yang terbuka, adil, dan konsisten dalam mengawal narasi publik yang sehat. Beliau lebih mendahulukan keakuratan ketimbang sekadar dugaan, apalagi yang merujuk pada fitnah dan penggiringan opini.
Kalau pun kita membolak-balik lembar demi lembar al-Quran dan Hadis, niscaya tidak akan pernah kita temukan kata terorisme. Bukan. Bukan karena terorisme berasal dari bahasa Prancis yang merujuk pada tindakan kekerasan, lebih dari itu, karena Fadli Zon hendak melawan kepicikan berpikir bangsa Indonesia yang mengasosiasikan terorisme hanya kepada umat Islam.
Merujuk pada pernyataannya di atas, sebetulnya yang dikritik oleh Fadli adalah muslihat politis di balik narasi terorisme yang belakangan dihadirkan bersamaan dengan kasus hukum yang menimpa Habib Rizieq dan FPI. Tentu saja orang secerdas Fadli paham kalau apa yang sedang dilakukan pihak kepolisian semata-mata untuk membangun ketakutan publik, lewat ketakutan itu mereka mencari dukungan dan keberpihakan masyarakat kepada kepolisian terkait kasus yang menimpa Habib Rizieq dan FPI.
Sebagai aktivis yang turut berorasi menumbangkan Suharto, beliau sangat mengerti kalau ancaman ketakutan merupakan alat untuk melanggengkan kekuasaan. Dalam hal ini, ketakutan masyarakat terhadap terorisme, akan membuat masyarakat berpihak pada laku aparat dan Pemerintah dalam menumpas terorisme yang kadung diasosiasikan dengan Islam.
Kalau sudah begitu, niscaya akan kentara kalau sebetulnya apa yang tengah terjadi hari ini, tidak lain adalah upaya untuk mengerdilkan kekuatan umat Islam, sekaligus membatasi kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka lakukan di 2024.
Semestinya, hidup di negara yang mengaku demokratis ini, persaingan politik seharusnya dilepaskan dari anasir-anasir ketakutan. Apalagi, jualan ketakutan itu dilakukan atas motif politik demi memenangkan dan menggagalkan kelompok tertentu. Hal itu berbahaya karena akan melahirkan permusuhan di antara sesama bangsa Indonesia.
Patut diingat kalau isu-isu komunisme yang dilontarkan Fadli berbeda dengan motif politik di atas. Semisal menjelang peringatan G-30 September lalu, beliau menyatakan kalau komunisme sebagai ideologi yang ganas dan kejam. Hal itu tentu saja dinyatakan bukan untuk membangun ketakutan masyarakat demi mendulang keuntungan bagi pihak-pihak yang merasa paling depan melawan PKI, seperti yang dicitrakan pada Prabowo dkk pada Pilpres lalu, termasuk dirinya.
Melainkan semata-mata untuk untuk membangun kesadaran kritis masyarakat sekaligus mengajarkan agar tidak taklid buta terhadap ideologi tertentu. Bukti bahwa Fadli tidak sedang mengasosiasikan Jokowi pada setiap isu PKI yang dihembuskannya sekaligus mendulang keuntungan dari isu yang sama ialah kenyataan bahwa Prabowo, pimpinan besar partainya adalah bagian dari rezim Jokowi sendiri.
Seandainya Fadli Zon mengarahkan isu PKI ke Pemerintah, tentu saja beliau sudah jauh-jauh hari menuding dirinya sendiri dan partainya yang dekat dengan PKI. Hal itu tidak dilakukan Fadli tentu karena ia tidak sedang menjual isu komunisme hanya untuk kepentingan politik sesaat yang memecah belah bangsa.
Tentu saja pada dasarnya Fadli Zon percaya bahwa terorisme itu nyata adanya. Buktinya, beliau pernah mengatakan kalau terorisme berkembang di negara yang lemah pemimpinnya, juga banyak kemiskinan dan ketidakadilan yang nyata.
7. Terorisme biasanya bkembang di negara yg lemah pemimpinnya, mudah diintervensi, byk kemiskinan n ketimpangan dan ketidakadilan yg nyata.
— FADLI ZON (Youtube: Fadli Zon Official) (@fadlizon) May 13, 2018
Artinya, di negara yang kuat pemimpinnya, serta adil dan makmur negaranya, terorisme akan hilang dengan sendirinya. Saya sih sepakat-sepakat saja dengan logika semacam itu.
Nah, masalahnya ketika ujug-ujug Fadli meragukan kalau terorisme masih eksis hari ini, itu bukan karena para jendral ramai-ramai bergabung ke pemerintahan sehingga membuat negara menjadi kuat dan solid. Bukan pula karena ada Prabowo di sana. Melainkan karena Fadli hendak mengakui dalam lubuk hatinya kalau pemimpin yang disebut presiden telah begitu perkasa di hadapan rakyatnya. Dan naga-naganya, negara ini semakin adil dan makmur saja.
Bukankah jarang ada politisi mau mengakui kehebatan lawan seperti Fadli?
Bukti lain bahwa Fadli adalah politisi yang jujur serta adil sejak dalam pikiran adalah keberaniannya mengritik tanpa pandang bulu. Lagi-lagi lewat akun Twitternya pada Kamis lalu, Fadli menyatakan kalau negara kita darurat HAM. Tentu saja pernyataan Fadli kali ini sangat kuat. Bahkan, KontraS menelurkan laporan tentang kondisi HAM di periode kedua Jokowi yang secara tidak langsung membuktikan pendapat Fadli.
Dalam laporan itu, KontraS mengakui bahwa perlindungan HAM semakin terancam. Salah satu yang disorot tidak lain adalah bergabungnya Prabowo yang memiliki rekam jejak jelek atas HAM dan diangkatnya dua eks Tim Mawar di Kemenhan.
Maka lewat tweet-nya di atas, secara tidak langsung Fadli sedang mengkritik kehadiran ketua partainya sendiri, Prabowo Subianto sebagai salah satu faktor munculnya darurat HAM, serta susahnya pemenuhan dan pengakuan atas daulat HAM di Indonesia.
Lewat keberaniannya mengkritik atasannya sendiri, Fadli Zon layak dinobatkan sebagai politisi paling jujur di Indonesia.