Beberapa waktu lalu, demi menggerakkan ekonomi masyarakat, saya pergi facial treatment. Mbois sekali, bukan? Menggerakkan ekonomi rakyat dengan mempertaruhkan kondisi dompet pribadi. Tapi, ya, sudahlah. Kadang sebagai manusia kita memang perlu sekali-kali seperti itu: Royal. Menikmati hasil kaki di kepala, kepala di kaki, dengan cara kita.
Facial treatment, upgrade merk parfum, atau ngopi di tempat yang agak mihil adalah cara membahagiakan diri. Perkara hari berikutnya harus puasa, itu risiko.
Sejak pandemi Corona menyerang, saya tidak punya nyali untuk pergi perawatan wajah atau facial treatment. Membayangkan kontak fisik serta kemungkinan kerumunan yang ditimbulkan membuat saya ciut. Tapi, yah, begitulah. Pertahanan saya roboh juga. Melihat muka yang burik padahal sehari-hari cuma rebahan, membuat saya meruntuhkan prinsip social distancing. Akhirnya pada suatu hari di awal Januari 2021, saya pergi facial treatment juga.
Facial ini, sebenarnya bukan kegiatan yang menyenangkan. Coba pikir, apa sih enaknya wajah dipencet-pencet? Kan sakit. Buat yang sudah pernah facial, pasti tahu betapa perihnya saat komedo-komedo jahanam di wajah dipaksa keluar. Tapi herannya, sudah tahu sakit, tetap saja dilakoni. Ya kayak saya ini, lah.
Berdasarkan pengalaman saya, rasa sakit saat facial treatment itu ada tingkatannya, tergantung spot wajah mana yang sedang digarap. Yang rasa sakitnya masih bisa disenyumin adalah area dahi. Ketika komedo-komedo di area ini dibersihkan, kita masih bisa sombong dengan membatin, “Udah, nih? Gini doang? Hih!”
Lain di dahi, lain pula di area pipi. Facial treatment di area pipi itu bikin saya monages. Kadang malah beneran sampai netes air matanya. Kalau sudah begitu, terapisnya bakal bilang begini.
“Aduh… sakit, ya? Maaf, ya, Mbak….”
Pake nanya segala.
Selain berpotensi membuat air mata meleleh, rasa sakit saat komedo di pipi dibersihkan juga seringkali tembus sampai ke gigi. Gigi jadi ikutan snut-snutan. Untuk sedikit mengurangi rasa sakit itu, saya biasanya menahan napas saat mbak terapisnya beraksi. Tapi, percayalah, meski facial di area pipi ini sakitnya bikin monanges, tapi belum ada apa-apanya dibanding facial di area hidung. Sakitnya asli tanpa pemanis dan pengawet buatan. No debat.
Coba bayangkan, saat spot yang lain sebatas dipencet-pencet, hidung dapat perlakuan “istimewa”. Dengan santainya hidung kita ditekan-tekan oleh si mbak terapis. Mungkin tujuannya biar komedonya keluar. Ta-tapi, kan….
Kadang saking bertenaganya si mbak dalam menekan, saya sampai mbatin, ini mbaknya ada masalah apa, sih? Habis putus sama pacar atau bagaimana? Saya kan jadi khawatir kalau ditekan-tekan begitu nanti hidung saya tambah mblesek alias pesek. Lagian, apa mbak terapisnya nggak ngeri, ya, barangkali tiba-tiba tulang hidung customernya patah? Duh.
Nahasnya, perlakuan terhadap hidung ini tidak terbatas pada ditekan-tekan, tapi juga dikerok. Jadi si mbak terapisnya ini bakal pakai alat (saya sih membayangkan alat yang dia pakai itu semacam pisau kecil yang tumpul), untuk membersihkan area sudut dan bawah hidung. Ngilunya bikin kita pengin jadi Iron Man.
Tapi, meski facial treatment di area hidung ini sakitnya minta ampun, saya tidak sampai meneteskan air mata, seperti ketika facial di area pipi. Dua area ini sakitnya beda. Kalau facial di area hidung nggak bikin kita pengin nangis, tapi bikin kita pengen ngajak gelut terapisnya. Wkwkwk.
Yang kemudian bikin nggak habis pikir adalah, meski facial treatment memang sesakit itu, kok banyak ya orang yang rela antre? Jadi mereka ini antre untuk disakiti atau bagaimana? Ya termasuk saya ini, lah. Sudah antre, disakiti, bayar pula! Kan kampret.
Kalau setelah membaca tulisan ini Anda yang belum pernah facial treatment jadi gentar, ya, maaf. Tapi, saran saya sih, nggak ada salahnya untuk mencoba facial meskipun hanya sekali. Biar kalian sadar bahwa ada hal yang lebih menyakitkan ketimbang chat WA di-read doang. Bahkan untuk merasakan yang sesakit itu, kita harus rela bayar mahal. Sungguh suatu relief yang membingungkan.
BACA JUGA 3 Resolusi Tahun Baru yang Nggak Seharusnya Ada atau artikel Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.