Beberapa hari yang lalu, saya sedang bersih-bersih rumah. Saya mulai kegiatan tersebut dari membersihkan atap lemari. Tanpa sengaja, saya menemukan sebuah dus kecil berwarna putih. Setelah saya selisik, ternyata itu adalah dus gadget saya dulu. Gadget yang sudah empat tahun lebih saya museumkan.
Inilah dia gadget atau smartphone pertama saya. Ya, Evercoss A65B berwarna putih. Gadget itu pemberian Mbak saya sekitar Agustus 2015. Kami berdua membelinya di sebuah konter seluler daerah Matahari Singosaren. Orang-orang Solo pasti sudah akrab dengan pusat penjualan ponsel terbesar yang satu ini.
Awalnya, kami bertujuan membelikan gadget itu buat Ibu. Nah, berhubung beliau sulit banget diajari dan berujung pada mutung, gadget itu jadi terbengkalai. Rupanya beliau masih belum bisa move on dengan layar dan tombol ponsel khas Nokianya. Saya pikir, daripada nganggur, gadget itu akhirnya saya pakai.
Sebenarnya saat itu, saya juga masih bersetia dengan ponsel Nokia 5700 ExpressMusic. Ya, ponsel yang bodinya bisa diputar-putar macam kepala burung hantu itu. Jadi, saya tidak pernah sekalipun merasakan suka-dukanya menggunakan ponsel tipe Blackberry, apalagi BBM-an.
Barangkali kalau masih ada yang ingat, Evercoss pernah berjaya pada masanya. Evercoss yang sebelumnya bernama Cross itu sempat menjadi gadget favorit teman-teman kuliah saya dulu. Evercoss selalu mejeng sebagai iklan dan menjadi sponsor di berbagai acara televisi. Salah satunya, Indonesian Idol 2014 di RCTI. Kepopuleran, harga yang terjangkau, serta fitur-fiturnya itulah yang memutuskan kami memilih merek ini.
Kesan pertama, bentuk dusnya unik seperti kotak pizza. Jadi, tidak seperti dus gadget pada umumnya yang khas persegi panjang itu. Ada embel-embel Winner X3-nya pada tulisan dus itu. Saat unboxing, saya menjumpai sebuah gadget baru (tentunya), sebuah charger, sebuah earphone, ya, bukan headset, serta kartu garansi dan buku panduan.
Gadget ini sudah didukung dua kartu SIM, jaringan 3G/HSDPA+/GSM, Prosesor Quad Core 1,3 GHz, OS Lollipop 5.1, layar 4,5 inci FWGA dengan resolusi 480 x 854, RAM 1 GB dan ROM 8 GB. Lalu, gadget ini mempunyai dua kamera, yaitu kamera depan 2 MP dan kamera belakang 5 MP beserta lampu kilat. Gadget ini juga diperkaya dengan slot kartu Micro SD, WiFi, Bluetooth, GPS, 3D gravity sensor, dan baterai 1800 mAh. Sebuah gadget yang cukup worth, sih, dengan harga 700 ribu.
Oke, sekarang saya akan menceritakan suka-dukanya memakai gadget ini. Pertama-tama, sukanya. Tentu sambil membandingkannya dengan ponsel Nokia saya yang dulu.
Hal yang paling mencolok adalah kamera. Sebagai pengguna setia Nokia—yang konon tingkat megapiksel kamera ponselnya terkenal pelit itu—tentu ini adalah sebuah kejutan. Hasil gambarnya juga jauh lebih baik. Itu baru kamera depannya. Kalau kamera belakangnya, oh jelas, Evercoss makin di depan. Walau kalau dipakai pada malam hari masih ada noise-nya, lampu kilat yang terang ini masih cukup memperjelas objek gambar yang difoto.
Lalu, layarnya yang cukup lega, baik dari segi ukuran maupun resolusi. Nonton video, foto, dan nyetel YouTube nggak perlu di-zoom sembari menyipitkan mata lagi. Main gim sudah nggak cuma model ala Tetris, Marble, Snake, atau City Bloxx melulu. Tapi, juga gim yang lebih atraktif macam petualangan atau simulator. Layarnya bisa diatur tingkat kecerahannya, mulai dari redup seperti malam sampai dengan terang seperti lampu. Layarnya model sentuh lagi, jadi ucapkan selamat tinggal pada keypad atau joystick.
Kemudian, memorinya yang lapang. Kalau ponsel yang lama, memori internalnya cuma 64 MB dan dibekali MicroSD bawaan sebesar 512 MB saja. Lah, itu kalau diaplikasikan ke gadget masa kini, jangankan buat nyimpan satu foto. Nyimpan satu aplikasi saja mungkin sudah nggak mungkin muat. Jelas jauh sekali perbandingannya sama gadget ini. Dengan kapasitas memori internalnya yang sudah mencapai 8 GB, saya bisa menyimpan berbagai berkas, terutama foto-foto liburan.
Oh ya, untuk ukuran speaker sekecil itu, sih, cukup nyaring dengan kualitas suara yang sedang-sedang saja. Bahkan lebih nyaring daripada ponsel yang lama. Padahal, speaker-nya malah dua pasang. Ya, meski kualitas suaranya masih lebih bagusan dia. Kalau dipakai dengerin musik pas lagi joging atau duduk-duduk di teras sambil menyapa tetangga yang lewat, nggak malu-maluin, lah, pokoknya.
Nah, itulah hal menyenangkan yang saya alami selama menggunakan gadget ini. Oke, saya lanjutkan untuk membahas dukanya. Inilah dia.
Hal yang paling tidak terlupakan adalah saat ngecas. Ya, gadget ini kalau dicas atau dicolokkan pada port PC ternyata suka nyetrum. Gejala ini mulai terjadi setelah setahun lebih pemakaian sampai akhir hayatnya. Kalau hanya saya yang jadi korbannya berkali-kali, mah, sudah biasa. Masalahnya, orang lain juga pernah jadi korbannya. Dan orang lain itu bukan hanya Ibu, tapi juga Bu Bos di tempat kerja yang dulu. Waduh!
Saya masih ingat betapa murkanya dia saat itu. Teriakannya sangat bergemuruh, mengingatkan saya pada momen liburan sekolah ke Pantai Baron dulu. Di sana, ada emak-emak yang histeris karena sempat terseret arus ombak. Beruntung, nelayan sekitar dengan sigap menolongnya. Suara yang mencekam itu rupanya benar-benar mengundang nostalgia di sini.
“Hape siapa ini?”
Seluruh karyawan di ruangan itu terdiam, termasuk saya.
“Saya tanya… hape siapa ini?” teriak Bu Bos.
“Anu… punya saya itu, Bu,” jawab saya lirih.
“Kamu mau membunuh saya, ya?” Bu Bos kemudian memelototi saya.
Saya hanya geleng-geleng, lidah ini makin terasa kelu.
Sampai sekarang, saya juga masih heran. Ini sebenarnya gadget apa aki, sih? Lagian siapa suruh pegang atau kepo gadget orang? La wong gadgetnya sendiri kalau ditaksir harganya bisa buat beli empat gadget punya saya, kok. Masih saja gratil, lo, tangannya. Sudah begitu, tujuan saya ke sana itu untuk bekerja, mencari uang. Jadi, bukan mencari masalah, memata-matai, apalagi sampai membunuh.
Hal menyedihkan berikutnya adalah panas. Ya, coba saja nyalakan internet, data seluler, atau WiFi-nya lebih dari sepuluh menit. Dijamin langung panas pada bodi belakangnya. Terlebih lagi kalau dipakai buat menelepon. Belum sepuluh menit saja sudah panasnya kayak panci rice cooker, terutama pada bagian speaker di sebelah kamera depan itu. Acap kali karena perubahan suhu yang drastis, telinga saya tiba-tiba keselomot. Kalau sudah begitu, langsung saya alihkan menjadi mode loudspeaker. Duh, jadi berasa pakai handy talkie, kan!
Hal menyedihkan yang terakhir adalah baterainya cepat ngedrop. Gejala ini malah mulai muncul setelah enam bulan lebih pemakaian. Saya pernah coba menyalakan terus internet atau WiFi-nya sampai mati total, ternyata cuma bertahan sampai enam jam lebih sedikit. Ditambah lagi kapasitas baterainya yang memang kecil. Jadi, ya, kudu rajin ngecas. Sekitar hampir empat jam itu baterai baru terisi sepenuhnya kalau mulai dari nol.
Hingga pada suatu hari, sekitar Oktober 2017, gadget itu mendadak sunyi. Setelah saya cek, layarnya gelap terus. Saya terus menekan tombol power, tidak ada respon. Saya kejutkan dengan charger pun, tetap tidak ada tanda-tanda kehidupan. Untungnya sebelum kejadian ini, saya sudah antisipasi dengan back-up semua datanya di laptop.
Berhubung klaim garansi hanya berlaku setahun, saya bawa ke pusat servis gadget di Kartasura. Di sana, tukang servisnya langsung menyambut dan mengecek gadget saya. Hampir setengah jam lamanya ia menganalisis dengan berbagai macam alat, mulai dari laptop, power supply, sampai dengan tester lainnya yang asing bagi saya. Dari raut wajahnya, saya bisa menyimpulkan kalau gadget ini mengalami masalah yang sangat serius.
“Mas, ini LCD-nya masih bagus. Tapi, IC sama memori internalnya udah kena. Pernah kemasukan air, ya?”
“Wah, belum pernah itu, Mas. Kena air hujan nggak pernah. La wong jatuh aja nggak pernah. Terus gimana solusinya, Mas?”
“Solusinya, ya, mending ganti hape, Mas. Soalnya kalau beli semua sparepart, harganya sama dengan beli hape.” Kemudian, si Mas tanpa dosa itu malah menjajakan hape dagangannya pada saya. Pie to iki?
Di rumah, setelah saya berdiskusi dengan Ibu dan Mbak, diputuskan bahwa gadget itu disimpan saja. Buat kenang-kenangan, kata Mbak. Bagaimanapun, ini smartphone pertama saya. Alat ini yang mengajarkan saya pentingnya belajar mengikuti perkembangan teknologi. Alat ini juga yang menjadi landasan saya untuk berpikir serba cepat dan tepat di era globalisasi.
Begitulah kisah ringkas saya bersama gadget yang konon produk Indonesia ini. Ya, mungkin kalian ada yang langsung terngiang jargon “cinta produk dalam negeri”. Sekadar saran, bila kalian sebagai warga negara yang cinta tanah air hendak berkontribusi membantu perekonomian negara atau semacamnya, Evercoss opsinya. Bila kalian juga hendak berpartisipasi sebagai manifestasi bela negara dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi atau semacamnya, Evercoss kuncinya.
Bagaimana, sudah layak jadi Duta Evercoss, belum?
Sumber Gambar: Pixabay