Saya adalah orang yang cenderung susah bosan dengan makanan. Dari kecil sampai segede ini, hanya mi ayam dan es teh menu jajanan favorit saya. Separah-parahnya rasa mi ayam, tetap bisa masuk ke perut saya, dan keluar dengan sewajarnya. Pernah, dalam seminggu saya hanya makan mi ayam. Namun, perut saya tiba-tiba serasa dililit phyton, membuat saya sadar, boleh cinta, tapi nyruput sewajarnya dan secukupnya. Namun, saya tetap tak bisa menuduh mi ayamlah penyebab badan yang makin gemoy ini, ini salah yang jual. Mi ayam itu abadi, yang fana itu hubungan kamu. Setelah saya tahu ini ada hubungannya dengan emotional eating.
Saya pikir, saya orang yang tak mudah bosan dengan mi ayam. Tapi, ada hal yang akhirnya saya sadari. Seorang teman yang merupakan psikolog yang baru lulus, bercerita panjang lebar soal makan sebagai pelarian. Akhirnya, saya harus mengakui, saya sering mengalami emotional eating, dan mi ayam itulah yang sering jadi pelampiasan. Rupanya karena saking cintanya dengan mi ayam, sampai-sampai jadi pelampiasan. Sayangnya wagu rasanya jika penjual mi ayam yang saya salahkan. Intinya saya yang tambah gragas saat stres.
Emotional eating adalah keadaan saat manusia menggunakan makanan sebagai sarana pelepas stres, bahkan saat tidak lapar.
Saat stres, tubuh dapat menurunkan nafsu makan akibat pelepasan hormon epinefrin. Tapi, saat stres dan uring-uringan berlangsung terus, tubuh melepaskan hormon kortisol, yang meningkatkan nafsu makan. Dan itu bahaya, kita tahu makan berlebihan itu gawat. Apalagi nggak lapar kok makan, ora ilok. Sudah pikiran mumet, eh masih ditambah badan yang nggak sehat. Pepatah “jiwa yang sehat, berasal dari tubuh yang kuat” jadi nggak guna.
Stres punya banyak pemicu, pekerjaan adalah salah satunya. Punya banyak kerjaan, kadang bikin kepala serasa kena sentil megazord, tapi nggak punya kerjaan lebih stres lagi, kepala serasa dikenyot ultraman. Emotional eating, atau para tetua menyebutnya “mbadogan”, kadang dianggap lumrah dan wajar. Saat seseorang sedih atau ada masalah, makan enak selalu jadi semacam obat.
Padahal itu hanya booster dopamin saja, alias masalah dan stres hilang untuk sementara, atau seolah-olah mak cling, hilang. Padahal, untuk mengobati stres, kita harus tahu dulu penyebab stres. Dan untuk tahu penyebab stres kita harus sadar bahwa kita sedang stres. Banyak yang nggak sadar, jika dirinya stres sehingga pikiran makin amburadul dan hati makin rapuh.
Stres juga tak serta merta muncul dari kesedihan. Jadi, mbak-mbak dan mas-mas, kalau sedang galau, patah hati, terjebak friendzone, digantungin, jangan buru-buru ngambil Indomie dan telur atau scroll gofood. Coba cari tahu dulu, ada hal lain yang bisa dilakukan tidak selain mengunyah dan mikirin makanan. Entah membaca, nonton Ikatan Cinta, nonton AoT, bisa juga ngaji online, atau melaksanakan Dasadarma dan 10 Program pokok PKK. Pokoknya, jangan langsung nyari makanan. Saya misalnya, kini saat stres, bukan mi ayam yang saya cari, tapi dzikir, karena saya lumayan saleh. Ehm.
Menurut teman saya itu, dan banyak pakar lain, terkadang menikmati kesedihan dan kegalauan juga penting, biar nggak jadi stres. Kata orang bijak “Rasakke, kapok!” eh, nggak gitu.
Kadang, merasakan dan menyelenggarakan waktu untuk kesedihan dan kekecewaan itu perlu. Kalau mau nangis, nangis aja, ambyar yo pancen ambyar, terima saja. Jadi, jika kita bahagia, bahagia kita lebih afdol rasanya, lebih berharga. Belajarlah ilmu ikhlas dari Pak Haji, seperti Bang Fandi. Itu kata para ahli, karena sebenarnya susah juga menerapkan hal itu, abot sanggane.
Jadi, agar tak terjadi emotional eating atau pelarian lain yang nggak perlu, kita harus meminimalisir stres. Memang harus sadar dan tahu diri dulu, apa sih pemicu stres kita. Daripada nyari pengalihan, kan lebih baik mengalihkan diri dari stres. Ibarat kata, sedia Indomie sebelum lapar di tengah malam. Sebab tanpa kita sadari, makin bertambahnya umur, ternyata pemicu stres juga makin bertambah.
Menghindari stres itu sulit, tapi bisa dilakukan.
Yang terpenting, kita tahu kesehatan raga dan jiwa harus diusahakan, tentu dengan penuh kesadaran. Emotional eating, baiknya juga jangan dijadikan alasan gragasnya, kemaruknya kita. Tapi, boleh juga, untuk mengganti alasan “Besok mau diet, sekarang puas-puasin dulu”. Halah, pret!
BACA JUGA Lima Makanan Yang Perlu Dihindari Para Jomblo dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.