Banyak orang bilang bahwa Elon Musk adalah wujud nyata Tony Stark di dunia nyata. Saya (lumayan) setuju dengan hal itu. Elon genius, pekerja keras, kaya, dan eksentrik. Hanya saja, orang lupa kalau Tony Stark juga brengsek. Persis seperti Elon.
Keputusan Elon yang akan menangguhkan akun Twitter (tidak, saya tak akan sudi menyebutnya X) yang membuat cuitan “from river to the sea” karena promoting genocide bagi saya adalah titik terendah Elon Musk. Titik yang menegaskan bahwa dia sebenarnya bajingan, tak lebih dari itu.
Saya tak peduli sumbangsih Elon untuk dunia seperti apa. Yang jelas bagi saya dia tak lebih dari bajingan tengil yang kebetulan kaya. Dan tak ada kombinasi yang lebih mematikan ketimbang bajingan tengil yang kaya.
Jujur saja, saya heran dengan langkah Elon. Di saat platformnya sedang laku untuk promote, andai dia tidak sok melawan arus, dia bisa menunggangi trennya dengan mendukung pendukung perdamaian. Dia tidak perlu tulus dalam mendukung, karena ya hampir tak mungkin dia tulus. Yang penting tidak sok melawan arus saja.
Langkah yang ia lakukan justru mempertegas dirinya sebagai orang yang berusaha terlihat punya pendirian. Padahal ya, dia hanya butuh diakui. Itu lucu, mengingat orang sekaliber dia, harusnya tak butuh pengakuan. Orang sudah tahu dirinya siapa. Jadi melihat polah-polah Elon Musk, saya justru heran.
Ini hanya pikiran saya saja. Tapi kadang saya curiga, jauh di balik wajah yang dibikin sok nggatheli itu, dia sebenarnya kesepian. Tak ada yang mengapresiasi dirinya, dan dia merasa sendiri.
Elon Musk, si paling melawan arus
Tidak bisa dimungkiri, pencapaian Elon Musk (sebelum Twitter, tentu saja) sebenarnya luar biasa. Proyek roketnya saya akui harus diapresiasi. Tapi entah apa yang ia pikirkan, makin ke sini, dia malah melabeli dirinya sendiri sebagai orang brengsek. Dan entah kenapa, dia justru bangga dengan itu.
Polah Elon ini mirip dengan orang-orang yang bangga melawan arus dan berusaha terlalu keras melawan arus. Ujung-ujungnya, mereka bahkan mau menggadaikan akal sehat asal terlihat berbeda. Cek saja di Twitter, banyak kali orang kayak gini. Isunya apa, mereka jawabnya gimana.
Dan orang-orang tersebut—Elon pun termasuk, berlindung pada satu hal: kebebasan berpendapat.
Walking Contradiction
Saya tahu, kebebasan berpendapat haruslah dijunjung setinggi-tingginya. Bahkan saya memegang kata-kata Evelyn Beatrice Hall dalam bukunya The Friends of Voltaire tentang kebebasan berpendapat. “I disapprove of what you have to say, but I will defend to the death your right to say it.” Begitulah bunyinya, dan saya memegangnya hingga mati nanti. Praktiknya mungkin berbeda, tapi saya berusaha memegangnya.
Masalahnya adalah, terkadang manusia lupa, kalau kebebasan berpendapat itu tak berarti bebas berpendapat bodoh serta memaksa orang menghormatinya. Jika ada yang berpendapat bahwa 2+2=5, apa pendapat tersebut harus dihormati? Ha ndasmu.
Dan inilah masalah Elon Musk. Kebebasan berpendapat yang dia terapkan justru bikin orang tak nyaman. Dia justru mematikan kebebasan berpendapat dengan mematikan pendapat orang lain.
Mulai mumet sama penjelasan saya? Ya lumrah, saya sendiri mumet melihat polah Elon.
Begini. Bayangkan ada orang yang memegang kebebasan berpendapat, tapi punya pendapat kalimat “from river to the sea” adalah “necessarily imply genocide”. Kalau pemegang kebijakannya saja sudah remuk pemahamannya, bagaimana dia bisa bikin kebijakan yang bagus? Berharap apa, cuk.
Makin hari saya makin yakin, Elon Musk tak lebih dari orang yang sok kontra dengan apa pun. Orang mengeluh parkir, dihina miskin karena berat ngeluarin dua ribu rupiah. Ada yang mengeluh upah murah, disuruh minggat. Orang ngeluh dengan perilaku pengendara yang merokok, disuruh nutup kaca helm.
Betul, Elon Musk mirip anggota ICJ. Bedanya hanya, Elon kayanya minta ampun.
Nyatanya, memang bajingan
Elon Musk memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya. Seorang tengil yang merusak kesenangan orang lain, dan bahagia melihat orang menderita. Saya tak bisa lagi melihatnya sebagai manusia yang akan memberi dunia masa depan jauh lebih baik. Bualannya tentang free speech hanyalah omong kosong yang bikin perut mulas. Kebijakan terbaru Twitter adalah contoh sahih betapa bajingan dirinya, dan menegaskan tuduhan yang selama ini dilekatkan padanya: produk apartheid.
Elon Musk, nyatanya, memang bajingan.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Seperti Cristiano Ronaldo, Elon Musk Itu Megalomania Sinting! RIP Twitter!