Selama tiga hari berturut-turut, entah kenapa ibadah puasa saya kali ini terasa cukup berat. Kewajiban saya tidak sekadar menahan nafsu makan saja, tetapi juga harus menahan diri untuk nggak misuh ketika dihadapkan dengan pengendara yang parkir mobil di badan jalan. Sungguh, menghadapi kelakuan mereka itu jauh lebih berat ketimbang harus menahan untuk nggak makan soto ayam dan minum es degan saat jam 12 siang.
Tentu saya paham bahwa kelakuan tak senonoh itu tak hanya terjadi saat bulan puasa saja. Maka itu saya amat perlu menuliskannya di sini. Bahkan karena saking geramnya, sebelum menulis ini, saya sempat mewawancarai delapan teman yang punya mobil. Saya benar-benar ingin tahu motif asli dari mereka yang suka parkir mobil di jalan itu. Kebetulan, ada lima teman yang ternyata juga pernah melakukan perilaku tak etis tersebut.
Ajaibnya, jawaban mereka rata-rata senada. Alasannya karena tak menemukan lahan parkir yang cukup dekat dengan lokasi di mana mereka singgah. Mereka juga merasa, memakan dua atau tiga jengkal aspal tak begitu signifikan membuat pengendara lain terkena bahaya. Toh ya, selama ini, mereka tak pernah menemui pengendara lain kecelakaan akibat perilaku korupnya.
Daftar Isi
Tak ada pembenaran availability bias meski hanya sejengkal aspal
Jika pengendara mobil yang selama ini saya temui motifnya sama seperti teman saya, sungguh saya ingin katakan pada mereka bahwa jalan pikirannya sudah terlampau sesat. Dalam diskursus berpikir ilmiah, menurut Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly, motif itu termasuk ke dalam jenis kesesatan berpikir bernama availability bias.
Sederhananya, bunyi availability bias ialah ketika seseorang mengambil keputusan berdasarkan informasi yang paling gampang diingat, dan sekilas mendukung keputusannya sendiri. Keputusan dia seolah-olah mampu menggambarkan kenyataan pasti hanya karena keputusannya sering benar. Akibatnya, peta risiko yang dia punya atas keputusan itu cukup sempit.
Kesesatan berpikir itu jelas terjadi pada tukang parkir mobil di badan jalan. Dikira, jika selama ini kelakuannya tak menimbulkan bahaya, maka kelakuannya tak masalah. Baik bagi orang lain maupun bagi kondisi lalu lintas.
Padahal, kalau dipikir-pikir, mau mobilnya itu memakan tiga, dua, bahkan sejengkal aspal jalan sekalipun, tetap saja kelakuannya tak bisa dibenarkan. Terlepas perilakunya itu secara undang-undang juga dilarang, pun ada semacam efek domino yang ditimbulkan dari parkir mobil di badan jalan. Kok bisa?
Berikut saya jabarkan efek domino itu berdasarkan pengalaman saya tiga hari berturut-turut belakangan.
Parkir mobil di jalan membahayakan pengendara lain saat menyeberang
Saya tak merasa perlu menceritakan kronologisnya. Sekarang Anda bayangkan saja: Ketika mobil diparkir di pinggir jalan yang arusnya dua arah, kira-kira apa hal yang paling mungkin terjadi? Betul, bikin pengendara lain kesulitan saat menyeberang. Percayalah, mau mobilnya itu hanya memakan sejengkal aspal, tetap saja membahayakan.
Pengendara yang mau nyeberang jelas kesulitan untuk melihat kondisi arus lalu lintas dari sisi mobil itu. Dan mau tak mau, pengendara tersebut harus maksa maju agak ke tengah jalan untuk tolah-toleh.
Dalam kondisi seperti itu, syukur kalau nggak ada pengendara yang ngebut dari sisi mobil. Lha, kalau kebetulan pengendara dari sisi mobil itu ngebut, dan si pengendara yang nyeberang nggak cukup sabar, maka kecelakaan jelas sangat mungkin terjadi.
Apesnya, saya termasuk pengendara yang mau menyeberang itu. Meski tak sampai kecelakaan, tapi jantung saya sempat berdebar kencang gara-gara nyaris diterabas pengendara dari arah mobil kurang ajar itu. Jan uassu!
Parkir mobil di jalan mengundang kemacetan yang tidak seharusnya
Yang kedua, ketika memarkir mobil di pinggir jalan, baik yang arusnya dua arah maupun satu arah, juga potensi mengundang kemacetan. Apalagi, kalau ruas jalannya sempit dan padat kendaraan. Mau mobilnya itu Honda Jazz ataupun Daihatsu Sigra, tetap aja ia memakan jalan dan bikin macet.
Saya tak perlu menjelaskan bagaimana kemacetan itu bisa terjadi terjadi. Sampean semua bisa bayangin sendiri. Yang jelas, meski durasi macetnya itu relatif sebentar, tapi kejebak macet akibat ada mobil parkir di pinggir jalan itu jauh lebih menjengkelkan daripada macet akibat perbaikan jalan atau yang lainnya.
Kalau tak percaya, saya doakan semoga Anda segera merasakannya. Amin!
Menghambat rezeki para pengusaha jalananÂ
Tak hanya menuai kecelakaan dan kemacetan saja. Parkir mobil di badan jalan juga bisa bisa menghambat rezeki orang. Ini mungkin jarang terjadi di kota. Seringnya terjadi di desa ataupun perumahan.
Dan belakangan ini, saya menemui bahwa hal itu menimpa pengusaha jalanan macam pedagang tahu bulat dan penjual buah. Mereka jadi nggak bisa berjualan keliling gara-gara ruas jalan dibuat parkir mobil.
Rezeki mereka memang tak selalu terhambat kalau kebetulan yang punya mobil lagi nggak ada. Tapi ya tetap saja tak bisa menutup fakta bahwa orang yang memarkir mobilnya di pinggir jalan ini merugikan banyak orang.
Sungguh, teruntuk siap apun yang mau beli mobil, saran saya tolong siapkan dulu garasinya. Jangan hanya ngebet beli mobil, tapi tempat singgahnya nggak ada. Malah mengorbankan hak orang lain.
Begitu pula untuk siapa pun yang kerap memarkir mobilnya di pinggir jalan. Tolonglah agak memanfaatkan akal sehatnya. Sampen punya mobil itu bukan berarti punya kuasa untuk mengorupsi badan jalan. Meskipun alasannya karena lahan parkirnya jauh dari lokasi Anda singgah, tetap saja hal itu nggak bisa dijadikan dalih.
Justru ketika Anda punya mobil, artinya harus siap dapat tempat parkir yang jauh. Ya memang ini risikonya. Kalau nggak mau nerima risikonya, mudah saja: mlaku. Aman, nggak perlu parkir.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Alasan Kita Tidak Perlu Bayar Tukang Parkir Nirkontribusi