ADVERTISEMENT
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Artikel

Dunia Tidak Butuh Anak yang Jago Menghafal

Aisha Rara oleh Aisha Rara
24 Desember 2019
A A
Dunia Tidak Butuh Anak yang Jago Menghafal

Dunia Tidak Butuh Anak yang Jago Menghafal

Share on FacebookShare on Twitter

“Dunia Tidak Butuh Anak yang Jago Menghafal”

Pernyataan yang dilontarkan Mendikbud baru ini saya perhatikan mendapat kritikan tajam oleh beberapa aktivis dakwah yang menyangkutpautkan pernyataan ini dengan hapalan Alqur’an. Sebagian menganggap Nadiem ingin mematikan sistem pendidikan yang menggali dan mengembangkan potensi, minat dan bakat anak dalam menghapal Alqur’an sejak usia dini.

Saya lalu penasaran menelusuri beritanya. Banyak juga. Ada 4 halaman yang harus saya klik di salah satu sumber berita utama, lalu beberapa halaman lagi di sumber berita lainnya.

Dan tanpa bermaksud menyalahkan opini teman-teman yang telah lebih dahulu membaca dan mempersepsikan omongan Nadiem seperti pada paragraf pertama tulisan ini, saya memiliki opini sendiri tentang ini.

Menurut saya, apa yang dibicarakan Nadiem lebih menyasar kepada sistem pendidikan dan evaluasi sekolah mainstream yang masih berbasis hapalan. Saat tiba ujian, banyak sekolah yang hanya membekali siswa dengan buku paket, catatan sekolah dan lembaran kisi-kisi untuk menghadapi ujian.

Siswa belajar di rumah. Bagaimana belajarnya? Tentu saja membaca dan menghapal bahan ujian dari buku sesuai dengan kisi-kisi yang diberikan. Lalu esoknya kembali ke sekolah, duduk manis dan mengerjakan soal pilihan ganda dan esai. Bagaimana jika siswa tidak hapal saat belajar, habis sudah!

Saya pikir inilah yang sedang dikritisi oleh Nadiem.

Ada begitu banyak assesment yang dapat diberikan untuk menguji kemampuan siswa. Lalu mengapa hanya hapalan yang menjadi penentu keberhasilan belajar?

Untuk itulah lebih lanjut, Nadiem meminta dan berniat memberi kewenangan penuh kepada guru untuk berkreasi lebih baik dalam menguji dan memberikan assesment kepada siswanya dalam menentukan keberhasilan belajar.

Saya sempat sangat kecewa ketika mengintip gaya mengajar seorang guru di sebuah sekolah unggulan. Waktu itu ada pelajaran bertema lingkungan. Sub tema kebersihan. Yang diaasses kemampuan siswa untuk bertanggung jawab dan mengerjakan perintah sederhana secara berurutan serta mengukur kemampuan motorik kasar. Sang guru menuliskan di papan tulis:

Langkah-langkah mengepel lantai:
1. Ambil alat pel dan ember
2. Isi ember dengan air
3. Masukan sabun pel
4. Masukan alat pel, bla…bla…bla…

Bagus yaaa. Simpel dan berurutan. Sayangnya itu hanya stop sampai disitu. Siswa disuruh mencatat dan saya kaget waktu hal ini menjadi salah satu soal ujian. Saya coba datangi sang guru lalu bertanya apakah beliau mempraktikan apa yang ia tulis di papan tulis setelah menyuruh siswanya mencatat? Apakah beliau mengambil alat pel dan ember dari gudang lalu bersama siswa mengepel lantai kelas? Jawabnya: TIDAK!

Beliau malah bersikeras bahwa anak-anak sudah mengerti. Buktinya sebagian besar bisa menjawab soal tersebut. Saya bilang yup Ibu betul. Anak-anak memang bisa menjawab soal, tapi mereka tetap tidak bisa atau tidak berminat membantu ibunya mengepel lantai di rumah. Lagipula belum tentu anak yang bisa menjawab dengan runut dan benar itu benar-benar bisa mengepel, dan sebaliknya, anak yang jawabannya salah bukanlah berarti ia tidak bisa ngepel. Kan Ibu belum pernah lihat mereka ngepel.

Bukankah yang ingin diukur adalah bisa tidaknya anak bertanggung jawab? Iya sih terukur. Anak bertanggung jawab menghapai langkah-langkahnya, bukan mengerjakannya. Lalu motorik kasar mana yang bisa dinilai saat anak hanya menghapal tanpa mempraktikan? Oh saya tahu, mingkin kecepatan dan kelincahan tangan dalam mengambil aneka cemilan saat sedang menghapal. Toh, sebagian orang memang butuh terus mengunyah agar bisa berkonsentrasi. Saya contohnya. ?

Itu baru pelajaran mengepel yang begitu sederhana.
Bagaimana dengan pelajaran lainnya. Apalagi yang terkait sains dan ilmu bahasa.

Terkait ujian bahasa ini juga lucuk sekali, terutama bahasa daerah. Saya dulu pernah disodorin lembaran ujian bahasa betawi untuk ansk SD yang membuat saya nyengir sendiri. Seumur-umur diasuh emak, bapak, engkong, enyak, ncang, ncing tapi hasilnye berak sekebon. Saya gak ngarti itu soal bahasa mane. Urutan kalimatnya saya lihat acak kadut, gak sesuai dengan bahasa yang kami pakai sehari-hari. Padahal keluarga kami ini betawi tok-tok dan tinggal di lingkungan betawi tok-tok juga.

Dan ini juga terjadi pada kawan saya yang dikasih lihat lembar ujian bahasa sunda. Koq susah yaaa. Padahal dia lahir dan besar di tanah pasundan. Entah siapa yang buat soal.

So, kalau soal bagian ini saya setuju dengan Nadiem. Teori itu penting, tapi jauh lebih penting jika teori itu bisa dipraktikan dalam kehidupan, bukan sekedar dihapalkan.

Karena dalam praktik pasti tercipta proses. Proses inilah yang membuat siswa berpikir tentang sebab dan akibat. Mengapa begini dan mengapa begitu. Bukan hanya “what” nya saja yang didapat lalu dinilai, tapi juga sampai ke “how”. Ketertarikan terhadap “how” inilah yang harus ditumbuhkan sehingga dapat membuahkan bahkan mengembangkan ide dan kreasi lain yang lebih baik. Bukan hanya sekedar berhenti di narasi.

Selembar kertas ujian hanya baik untuk mengukur standarisasi dasar keilmuan di tempat yang memiliki standar kompetensi pendidikan yang sudah merata. Tetapi bukan hal bijak untuk menentukan tingkat kemampuan siswa demi mengikuti jenjang pendidikan selanjutnya. Karena setiap manusia itu istimewa. Mungkin ia seperti Ikan yang pandai berenang, tapi tidak bisa selincah Rara *eh Kera saat memanjat pohon. Mungkin juga ia tak bisa keduanya, namun ia pandai merangkai kata dalam sebuah karya.

Dan bukan saatnya lagi kita memaksakan apa yang mereka tidak bisa, melainkan mengembangkan apa yang mereka bisa. Karena mereka memang bukan ensiklopedia berjalan yang harus tahu segalanya. Dan untuk hidup dan berkarya, mereka tak perlu harus bisa segala rupa. Cukup fokus terhadap apa yang mereka BISA dan SUKA sambil bertakwa kepada yang Maha Kuasa.

Semua orang adalah pemimpin. Masing-masing pemimpin pasti punya peran dalam hidupnya. Dan kita tidak perlu menjadi orang lain untuk menjalani peran kita.

BACA JUGA Selamat Kamu Tidak Juara Kelas, Dik! atau tulisan Aisha Rara lainnya. Follow Facebook Aisha Rara.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Terakhir diperbarui pada 24 Desember 2019 oleh

Tags: mendikbudmenghafalsistem pendidikan
Aisha Rara

Aisha Rara

Ibu-Ibu Galak tapi cengeng

ArtikelTerkait

sisi lain nadiem makarim

Nadiem Makarim Bikin Orang Miskin Makin Sial? Sebuah Argumen Konyol

27 Juli 2020
Sistem Pendidikan Indonesia dan Skor PISA yang Buruk, pendidikan era digital

Pendidikan di Era Digital Membawa Jenis Ketimpangan Baru yang Lebih Parah dari Sebelumnya

12 Mei 2020
Jangan Meromantisasi War KRS dan Website Jeleknya yang Down, Itu Bukti Institusi Pendidikan Tinggi Gagal Menyediakan Layanan Pendidikan!

Jangan Meromantisasi War KRS dan Website Jeleknya yang Down, Itu Bukti Institusi Pendidikan Tinggi Gagal Menyediakan Layanan Pendidikan!

22 Januari 2025
Sistem Pendidikan Kita Bisa Meniru Indomaret, Punya Standar Jelas, dan yang Paling Penting, Merata!

Sistem Pendidikan Kita Bisa Meniru Indomaret, Punya Standar Jelas, dan yang Paling Penting, Merata!

15 Agustus 2023
Pengalaman Sales Platform Pendidikan Menjadi Guru Dadakan: kalau Keadaannya Begini, Nggak Kaget kalau Guru Mengeluh dan Stres

Pengalaman Sales Platform Pendidikan Menjadi Guru Dadakan: kalau Keadaannya Begini, Nggak Kaget kalau Guru Mengeluh dan Stres

1 September 2024
4 Hal yang Perlu Diketahui sebelum Menyekolahkan Anak di Sanggar Anak Alam (SALAM) Jogja

4 Hal yang Perlu Diketahui sebelum Menyekolahkan Anak di Sanggar Anak Alam (SALAM) Jogja

22 Desember 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
pura-pura menjadi orang lain

Di Balik Akun Palsu dan Alasan Kenapa Ada Orang Suka Berpura-Pura Menjadi Orang Lain

Pedoman Apply Beasiswa Chevening Berdasarkan Pengalaman Gue yang Sudah Jadi Awardee

Pedoman Apply Beasiswa Chevening Berdasarkan Pengalaman Gue yang Sudah Jadi Awardee

Perjuangan Saya dari Kaum Rebahan Sampai Kuliah di UGM

Perjuanganku dari Kaum Rebahan Sampai Kuliah di UGM

Terpopuler Sepekan

Gaji ke-13 PNS: Tradisi Musiman yang Dirayakan dengan Sepatu Baru dan Kecemasan Baru

Gaji ke-13 PNS: Tradisi Musiman yang Dirayakan dengan Sepatu Baru dan Kecemasan Baru

21 Mei 2025
Sulitnya Jadi Mahasiswa Jurusan Farmasi, Dikira Hafal Semua Obat hingga Bisa Langsung Buka Apotek Mojok.co

Sulitnya Jadi Mahasiswa Jurusan Farmasi, Dikira Hafal Semua Obat hingga Bisa Langsung Buka Apotek

23 Mei 2025
Geliat Kos LV Malang: Belum Setenar, Seheboh, dan “Tersentralisasi” Kos LV Jogja, tapi Sama-sama Dianggap Meresahkan  

Geliat Kos LV Malang: Belum Setenar, Seheboh, dan “Tersentralisasi” Kos LV Jogja, tapi Sama-sama Dianggap Meresahkan  

19 Mei 2025
Kerja Part Time di Jogja Adalah Jalan Pintas Menuju Perbudakan, Gaji Setengah UMR pun Nggak Ada! umr jogja gaji di jogja gaji umr jogja

Begini Cara agar Hidup Selamat di Jogja dengan Gaji UMR Jogja 2025: Harus Siap Menderita karena Itu Satu-satunya Pilihan

23 Mei 2025
Drakor Resident Playbook Tamat tapi Menyisakan Kekecewaan

Drakor Resident Playbook Tamat tapi Menyisakan Kekecewaan

19 Mei 2025
Trenggalek Kabupaten yang Krisis Identitas, Pantas Saja Ditinggalkan Warganya Mojok.co

Trenggalek Kabupaten yang Krisis Identitas, Pantas Saja Ditinggalkan Warganya

19 Mei 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=Zbmdu5T4vVo

DARI MOJOK

  • Kampus di Bawah Kementerian Pertahanan Tak Membuat Saya Menyesal Melepas Beasiswa S2 dari UGM buat Jadi Dosen
  • Tinggal di Kos Dekat UPN Jogja: Murah tapi Mewah, Fasilitas bikin Iri Penghuni Kos Rp700 Ribu
  • Siswa “Terpintar” SMA Sombong Bakal Lolos Mudah ke PTN, Berakhir Kuliah di Kampus Tak Terkenal setelah Dua Tahun Gagal UTBK
  • Butuh Gaji Rp15 Juta untuk Hidup Nyaman di Jakarta, Perantau yang Miskin Kudu Rela Tinggal Bersama Kecoa-Tikus dan Melahap Makanan Sisa
  • Perkara Transportasi Wisata, Jogja Sangat Tidak Kreatif dan Perlu Belajar dari Cara Surabaya Mengelola Trans Jatim Bus Jaka Tingkir
  • Terkucilkan dari Acara Kelulusan Sekolah karena Nunggak SPP, Lemah Ekonomi Jadi Objek Diskriminasi

AmsiNews

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.