Pak Yanto, salah satu penjual ikan hias keliling di Malang ini hanya ingin dagangannya laku agar punya sedikit uang saat Lebaran.
Semasa saya kecil, setidaknya ada tiga hal yang bisa membuat saya senang: mainan, es krim, dan ikan hias. Mainan dan es krim sepertinya masih wajar. Namanya juga anak kecil. Tapi soal ikan hias ini yang menarik. Waktu saya kecil, di mana pun ada penjual ikan hias keliling yang saya temui, mau di jalan atau di depan sekolah SD, saya pasti sudah minta orang tua saya untuk belikan, atau saya beli sendiri kalau ada barang dua ribu atau tiga ribu di kantong.
Nah, soal ikan hias ini menarik. Di keluarga saya sebenarnya tidak ada yang menjadi pencinta ikan. Ayah saya juga bukan pecinta ikan, bukan die hard fans ikan hias pula. Ayah saya hanya punya satu akuarium yang tidak terlalu besar di ruang tamu, yang bisa menampung sekitar dua puluhan lebih ikan hias kecil berharga murah itu. Sekadar untuk mempercantik ruang tamu rumah saja.
Dari situlah sepertinya kesukaan saya dengan ikan muncul. Sebagai anak kecil, melihat ikan-ikan kecil berenang di dalam akuarium itu rasanya menyenangkan. Dulu—ini cerita dari ibu saya—saya bisa menghabiskan setidaknya satu jam untuk duduk di depan akuarium, memandangi berbagai macam ikan yang kebanyakan dibeli dari penjual ikan hias keliling, memberi mereka makan. Bahkan ketika pulang sekolah, akuarium di ruang tamu adalah tempat pertama yang saya tuju, bukan dapur, kamar, atau kamar mandi.
Tapi itu dulu, ketika saya masih kecil. Semakin bertumbuh dewasa, kecintaan saya terhadap ikan-ikan hias kecil ini makin pudar. Beberapa ikan di akuarium sudah banyak yang mati. Akuariumnya pun beberapa kali bermasalah, hingga akhirnya rusak dan tidak terpakai. Ayah saya juga makin malas memelihara ikan dan membetulkan akuarium. Dan, seiring bertambahnya waktu dan usia, saya sudah jarang sekali menemui penjual ikan hias keliling.
Daftar Isi
Senjakala penjual ikan hias keliling
Suatu siang, tidak jauh dari warung kopi milik teman saya di daerah Dau, Kabupaten Malang, saya menemui seorang penjual ikan hias keliling yang kebetulan sedang “mangkal” di depan SD Negeri 1 Mulyoagung, Dau. Namanya Pak Yanto. Saya luput menanyakan usia, tapi kalau dilihat dari fisiknya, sepertinya Pak Yanto ini berusia 50 tahunan. Motor Supra X milik Pak Yanto sudah dipasangi semacam gerobak di belakangnya dengan belasan plastik berisi ikan-ikan hias kecil, mulai dari ikan mas koki, platy santa, hingga cupang.
Namanya juga penjual ikan hias keliling, Pak Yanto tidak punya spot khusus untuk berjualan. Beliau kadang berjualan ikan hias di depan SD atau beberapa sekolah lain, kadang keliling di sekitar Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, bahkan tidak jarang Pak Yanto berkeliling ke arah Tlogomas, Dinoyo dan sekitarnya. Meski tidak punya spot khusus berjualan, Pak Yanto mengaku bahwa berjualan di depan sekolah memang paling enak.
“Pokoknya di mana ada sekolah, apalagi sekolah SD, ya saya coba jualan di situ. Masih ada anak kecil yang suka ikan, Mas. Tapi kalau nggak di sekolah, paling ya keliling, mutar-mutar kampung aja,” ujar Pak Yanto kepada saya.
Meski menurut beliau masih ada anak kecil yang suka ikan, Pak Yanto sadar betul bahwa berjualan ikan hias keliling sekarang ini tidak semenjanjikan dulu. Pak Yanto yang sudah lebih dari 10 tahun berjualan ikan hias keliling mengaku bahwa ada penurunan minat terhadap ikan hias. Pak Yanto bilang, bahwa dulu lapaknya bisa dikerubungi anak sekolah. Sekarang, ada dua atau tiga anak yang datang ke lapaknya saja sudah bagus.
Pandemi sempat ramai, tapi kini kembali sepi
Pak Yanto juga mengakui bahwa sekarang pendapatannya menurun. Sekarang, bisa mendapat 50-100 ribu sehari saja sudah bagus banget. Tapi kalau sedang sepi, tidak jarang Pak Yanto pulang dengan tangan hampa. Kalau dulu, Pak Yanto bisa mendapat lebih. Pendapatan Pak Yanto juga sempat naik cukup signifikan ketika tren ikan cupang kembali naik di masa pandemi.
“Dulu, waktu rame ikan cupang, cukup enak jualannya. Saya jualan cupang yang murah-murah aja, 10-20 ribuan, bisa banyak anak-anak yang beli. Lumayan itu, bisa laku sekitar 10 ikan sehari,” ujar Pak Yanto. Tapi sayangnya tren ikan cupang tidak bertahan lama, dan pendapatan Pak Yanto kembali turun.
Selain itu, keberadaan para penjual ikan hias keliling memang juga sudah sedikit. Pak Yanto mungkin adalah satu dari sedikit penjual ikan hias keliling yang masih bertahan sampai sekarang. Pak Yanto bahkan mengatakan bahwa ketika sedang keliling, jarang sekali beliau menjumpai sesama penjual ikan hias keliling. “Koyok gak ono koncone, Mas,” ujar Pak Yanto dengan diselingi tertawa kecil.
Bulan Ramadan, ujian sebenarnya bagi penjual ikan hias keliling
“Jualan ikan hias kayak gini untungnya sedikit, Mas. Apalagi sekarang peminatnya sedikit, untungnya juga malah jadi lebih sedikit. Besok posoan (bulan puasa) ini juga nggak tahu bakal gimana jualannya,” jawab Pak Yanto ketika saya tanya tentang bagaimana jualan di bulan Ramadan besok.
Ramadan besok adalah ujian sebenarnya bagi penjual ikan hias keliling seperti Pak Yanto. Dibanding penjual makanan, Pak Yanto mungkin masih bisa berjualan di siang hari, keliling dari sekolah ke sekolah, dari kampung ke kampung. Tapi, Pak Yanto tidak yakin apakah anak-anak sekolah itu dapat uang jajan dari orang tuanya ketika bulan Ramadan. Belum lagi akan ada libur puasa-lebaran juga. Ini membuat Pak Yanto harus benar-benar memutar otak agak jualannya tetap bisa laku ketika bulan Ramadan.
“Gampang ae, Mas. Saya cuma pengin jualan saya ini laku. Wes, itu aja. Biar ada uang buat rioyoan (lebaran),” ujar Pak Yanto ketika saya tanya harapan beliau nanti di bulan Ramadan. Bahkan ketika saya tanya apakah Pak Yanto tidak kepikiran cari sampingan di bulan Ramadan, Pak Yanto juga masih bingung. “Nggak tahu, Mas. Belum kepikiran. Lihat nanti aja,” lanjut Pak Yanto.
Ikan hias ini tak tahu buat apa
Mendengar jawaban terakhir Pak Yanto, saya diam saja sambil mengangguk, membatin “amin” dalam hati. Saya tidak membayangkan bagaimana beratnya ujian hidup Pak Yanto, apalagi di bulan Ramadan. Saya saja, yang secara penghasilan sedikit di atas Pak Yanto, masih kesusahan untuk menyambung hidup, apalagi ketika harga bahan pokok makin mahal.
Tidak lama setelah itu, saya pamitan sama Pak Yanto, yang juga akan pergi keliling menjajakan jualannya lagi. Sebagai ucapan terima kasih karena sudah mau diajak ngobrol, saya beli dua plastik ikan cupang kecil yang harga per ekornya 10 ribu. Kami bertukar terima kasih dan salam pamit.
Satu ikan cupang saya berikan ke teman saya. Mungkin bisa dimasukkan ke dalam bak mandi toilet warkopnya. Satu lagi saya bawa pulang, dan sampai sekarang masih ada di dalam plastik. Saya juga belum tahu akan buat apa.
Penulis: Iqbal AR
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 5 Dosa Pemilik Ikan Hias yang Bikin Ikan Tersiksa