Duka Pengidap Fobia Nasi yang Hidup di Indonesia

Duka Pengidap Fobia Nasi yang Hidup di Indonesia

Duka Pengidap Fobia Nasi yang Hidup di Indonesia (Pixabay.com)

Nasi adalah makanan pokok kebanyakan orang Indonesia. Akan tetapi, bagi pengidap fobia nasi, itu bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi di Indonesia. Ya, itulah ironi.

Oke, saya tahu ini aneh. Bagaimana bisa, orang Indonesia, takut sama nasi? Bahkan, pada taraf jijik? Tapi, nyatanya ada. Dan inilah hal yang bikin sedih: aku hidup dikelilingi oleh hal yang bikin aku takut.

Izinkan aku bercerita. Aku adalah pengidap fobia nasi atau dalam bahasa kedokteran disebut ryziphobia. Anehnya, aku masih bisa makan bihun, rengginang, dan ketan. Tapi, kalau harus makan nasi yang biasa dimakan masyarakat Indonesia, aku bisa muntah. Melihat bentuknya yang seperti butiran lunak yang mudah hancur membuatku jijik. Temanku sampai heran, nasi itu seperti belatung, ya.

Ada hal yang dilematis bagi pengidap ryziphobia. Saat pergi ke acara dengan jamuan makan seperti makan bersama keluarga, hangout bersama teman di restoran, acara kantor, hingga buka puasa bersama, tidak bisa menikmati acara-acara itu sepenuh hati. Dia sampai harus menjauh dengan teman-temannya yang makan nasi. Mungkin, temannya akan bertanya, “Kenapa kamu menjauh? Ayo duduk bersama kita!” (mereka duduk sambil makan nasi). Tapi, perasaan tidak bisa bohong.

Ilustrasi makan-makan (Pixabay.com)

Terkadang, untuk mengakui bahwa dia adalah pengidap ryziphobia, itu adalah tantangan. Apa reaksi teman jika mereka tahu bahwa orang terdekatnya adalah pengidap ryziphobia? Apalagi, jika kebanyakan temannya adalah orang yang suka membuat prank, mungkin pengidap fobia yang tidak biasa (maksudnya, selain orang dengan fobia serangga dan hewan buas) tidak bisa berteman akrab dengan teman yang jahil. Bagi pengidap fobia yang tidak biasa, orang jahil adalah toxic people.

Masalahnya memang, nasi itu sudah jadi candu. Kandungan gula dan karbohidrat pada nasi bikin orang tanpa sadar kecanduan sama makanan ini. Ini serius, lho. Gula itu memang bikin candu, ini yang kadang tidak dipahami orang. Dan gula, itu bahaya buat tubuh jika dikonsumsi dalam jumlah yang tak proporsional. Penderita diabetes pun disarankan mencari substitusi nasi atau mengurangi nasi.

Dan karena nasi sudah jadi candu, produk pengganti nasi masih lumayan susah dicari. Tak tiap warung makanan menyediakannya. Lagi-lagi, harus upaya ekstra.

Kesedihan (Pixabay.com)

Namun ternyata, keberadaan pengidap ryziphobia di Indonesia bisa menguntungkan. Di antaranya adalah dapat mengurangi ketergantungan beras di tengah permintaannya yang tinggi dan mencegah kelangkaan beras. Ya, menurut data Badan Pusat Statistik yang diperbarui pada 19 Juli 2021, Indonesia sampai harus mengimpor beras dari berbagai negara, seperti Vietnam, Thailand, Tiongkok, Pakistan, India, hingga Myanmar. Indonesia pernah mengimpor beras dari Singapura dan Taiwan hingga tahun 2014. Terkadang, Indonesia bisa mengimpor beras dari Amerika Serikat. Katanya Indonesia adalah negara agraris, kenapa harus impor beras?

Tapi, itu bahasan lain. Kita fokus terhadap fobia nasi saja.

Memang, tak mudah jadi pengidap ryziphobia di Indonesia. Sebab, makanan ini benar-benar ada di mana-mana. Menghindarinya pun susah. Diperparah keyakinan bahwa belum makan nasi belum dianggap makan, maka mau tak mau, sajian ini akan selalu tersedia di meja makan mana pun, selama masih di Indonesia.

Ketakutan (Pixabay.com)

Sejauh ini, tindakan yang bisa kulakukan ya menghindari nasi, atau mencari substitusi nasi secara mandiri. Jelas, ya wong saya nggak bisa makan. Dan semoga saya tak ketemu orang-orang iseng yang malah makin menjadi ketika tahu kondisiku yang tak bisa dianggap menyenangkan ini.

Jadi, kalau kalian kebetulan punya kawan yang punya kendala sama seperti saya, sebaiknya pahami kalau kendala yang mereka alami bukanlah hal yang sepele. Fobia nasi itu ada, dan nyata. Jangan dibikin lelucon, dan jangan bikin prank. Kasian, tauk. Sebab, kalian nggak akan tahu betapa pedihnya suatu masalah sebelum mengalaminya.

Tapi, yang jelas, bagaimanapun, saya bersyukur dan tak menganggap diri saya kurang. Dan sebaiknya, kalian juga beranggapan sama.

Penulis: Annisa Amalia
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Perjalanan Melawan Aerophobia, Ketakutan Luar Biasa untuk Naik Pesawat

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version