Kalo ada drama yang lebih panjang episodenya daripada sinetron Tukang Ojek Pengkolan, drama minyak goreng ini jawabannya. Bahkan sampai sekarang belum juga menemui titik terang. Ada saja episode barunya. Mulai dari stok yang langka, harga yang meroket naik dan membuat dompet ibu-ibu tercekik, sekarang beli minyak goreng harus pakai NIK atau PeduliLindungi. Oh Tuhan, drama apalagi ini.
Jujur saja, ini drama yang bikin ngakak. Mbah saya nggak mungkin dong harus bawa fotocopy KTP tiap mau beli minyak goreng. Jatuhnya malah mirip calon karyawan mau melamar kerja. Belum lagi kalau fotocopy atau KTP aslinya ketlingsut entah ke mana. Pas stok habis tiba-tiba pula. Belum kebeli minyak gorengnya keburu basi adonan mendoannya.
Itu baru kalau pakai NIK. Gimana kalau pakai PeduliLindungi? Sangat tidak ramah untuk ibu-ibu seperti mamak saya yang sering lupa sama password Facebook-nya. Alias masih suka kagok. Belum lagi kalau pas susah sinyal. Apa nggak keburu uring-uringan mamak saya?
Hanya untuk satu liter minyak goreng murah, kita harus melalui prosedur seribet ini. Kalau bisa dibikin susah, kenawhy tidak?
Kita semua tahulah ya kalau tujuan pemerintah sebenarnya baik. Katanya sih agar lebih mudah dalam mengawasi distribusi minyak goreng dari produsen sampai konsumen. Biar nggak ada lagi yang namanya stok langka ataupun minyak goreng yang harganya naik sampai naudzubillah min dzalik. Tapi, pertanyaannya apakah semua bakal efektif?
Ketentuan pemakaian NIK dan sederet aplikasi lainnya bukankah hanya akan menambah ruwet? Ketentuan pembatasan maksimal pembelian untuk tiap NIK saya rasa juga tidak akan begitu efektif untuk pemerataan jatah. Satu rumah pakai NIK nya gantian juga masih bisa. Apalagi yang anaknya lima, enam, tujuh, dan delapan. Sudah bisa bikin warung itu.
Belum lagi kalau dimanfaatkan oleh para oknum “nakal” yang menggunakan NIK sebagai “tiket istimewa” untuk mendapatkan harga minyak yang lebih rendah untuk kemudian dijual eceran seperti ¼ kg dan ½ kg dengan harga yang lebih tinggi. Apa nggak cuan doang tuh? Yang ada malah potensi penimbunan di kalangan konsumen yang artinya tujuan dari kebijakan ini untuk mengawasi sitribusi sampai ke tingkat konsumen tidak tercapai.
Apalagi minyak goreng murah ini hanya bisa didapatkan di toko-toko eceran yang terdaftar resmi pada program simirah 2.0. Dengan semua keribetan yang ada bukankah emak-emak kita akan lebih memilih membeli minyak goreng yang lebih mahal harganya. Atau memang itu tujuannya?
Dipikir-pikir, aturan baru yang ada bukannya mengatasi masalah, justru menambah masalah. Kan yang jadi masalah stok yang entah gimana bisa menipis, terus kenapa solusinya pake aplikasi?
Saya rasa kalau tujuannya memang untuk mengawasi pemerataan stok, akan jauh lebih baik untuk memangkas panjangnya alur distribusi ketimbang memperpanjang ketentuan administrasi. Terlebih hanyak untuk satu liter minyak goreng yang murah meriah. Gimana caranya? Untuk itu kepada para “pejuang suara rakyat” waktu dan tempat dipersilakan.
Mosok yo aku sing kon mikir.
Penulis: Siti Marfuah
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Minyak Goreng dan ‘Gorengan’ yang Bikin Pusing