Untuk kesekian kali saya menulis tentang kelakuan oknum dosen yang nggak masuk akal, ini sih yang paling lucu sejauh yang saya tahu. Ya, dosen yang ujuk-ujuk mewajibkan mahasiswanya untuk membeli buku yang ia tulis di awal pertemuan dengan alasan “penting” untuk dibaca.
Sebenarnya saya tak mengalaminya secara langsung, tapi melihat dosen teman-teman saya yang kelakuannya kayak gini kok ya saya ikut mangkel sendiri. Mau dibantu bilangin, bukan dosen saya. Nggak dibantu malah kasian melihat mereka menggerutu sana-sini.
Kalo ada yang komen gini: “Cuma tinggal beli aja susah amat. Semua buku itu pasti ada manfaatnya!” Terus kenapa buku “Gibran the Next President” yang sepertinya nggak laku itu, nggak kau saja yang borong.
Beli buku itu bukan karena terpaksa, tapi suka
Saya tak mau naif masalah beli-membeli buku ini, karena saya sendiri, tidak sering beli buku. Meskipun saya suka buku, uang bulanan yang bahkan sangat terbatas untuk biaya hidup di Jogja selama sebulan itu, membuat saya berpikir berkali-kali untuk memutuskan meminang sebuah buku.
Jika ada buku yang sangat penting untuk saya beli, saya rela untuk mengurangi jatah makan saya hanya untuk mendapatkan buku itu. Saya kadang iri sama teman yang bisa sesuka hati membeli sebuah buku tanpa mikir uang makan. Makanya, andai saya ketemu dosen yang mewajibkan mahasiswa beli bukunya, mungkin saya adalah orang pertama yang keberatan. Itu pun kalo nggak diancam ngulang. Hahaha.
Bagaimanapun, membeli buku itu karena suka atau memang penting untuk dibeli, bukan karena dipaksa. Mewajibkan sama saja dengan pemaksaan. Dan segala yang ada unsur pemaksaan berpotensi dipidanakan.
Beli buku dosen: pungli berkedok referensi
Memaksa untuk membeli adalah lain kata dari pungli. Meskipun dapat barang berupa buku, tetap saja itu haram dalam fikih. Nih, dalilnya sudah jelas, ada di Q.S. An-Nisa/4: 29. Bahwa jual beli itu harus atas dasar saling rela satu sama lain.
Tapi, apalah daya, uang memang adalah kunci dari segalanya. Buku yang mungkin tak laku itu sengaja dijualnya ke mahasiswa agar stoknya habis. Minimal begitu, atau paling seenggaknya dapat royalti tipis-tipis.
Alasan paling ampuh yang digunakan adalah bahwa buku itu bisa jadi referensi dalam mata kuliahnya. Ya, gimana nggak jadi referensi, kalo yang dibahas memang yang ada di buku dia. Kan otomatis kita harus beli dong. Nggak beli, ya, alamat harus ngulang lagi.
Bayangkan saja jika itu terus berlangsung selama bertahun-tahun. Di mana ilmu pengetahuan terus berkembang pesat dari waktu ke waktu. Dan si dosen itu tetap mengajarkan materi yang ada di buku yang ia tulis. Betapa tertinggal dan kolotnya mahasiswa-mahasiswa yang ia ajar itu.
Para penulis buku nggak segitunya deh, Pak!
Kalo mau dibandingin, dosen yang mewajibkan mahasiswa beli bukunya itu lebih aneh dari para penulis buku yang lain. Mereka menawarkan buku dengan cara yang dengan segala kerendahan hati, kalo berminat tolong dibeli, kalo tidak ya nggak apa-apa, terima kasih.
Beberapa dosen yang saya temui, dan punya buku yang lumayan terkenal dan laku, bahkan nggak pernah promosi bukunya di kelas. Mungkin karena udah laku, ya. Tapi, kan balik lagi, bahwa dosen itu ya tugasnya cuma ngajar, mendampingi, dan memberi rekomendasi-rekomendasi buku bagus. Bisalah sesekali bilang “saya juga menulisnya di buku saya, bisa dilihat di situ,” tanpa harus wajib beli.
Bahkan saya pernah diajar dosen yang ternyata menulis buku bagus, meskipun tak terkenal, tapi nggak pernah bilang kalau dia menulis buku itu. Entah apa alasannya saya tidak tahu. Karena bagus tidaknya buku itu juga cenderung subjektif. Saya bisa suka, orang lain bisa tidak. Tapi, untuk dosen yang jualan buku dengan paksaan, red flag parah, sih.
Penulis: Abd. Muhaimin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Berambisi Jadi Dosen biar Terpandang dan Gaji Sejahtera, Pas Keturutan Malah Hidup Nelangsa
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















