Iya, kalian tidak salah membaca judulnya, memang masih ada beberapa dosen yang memiliki kemampuan berpikir di atas kemampuannya menyampaikan pendapat. Ini bukan upaya merendahkan profesi dosen, melainkan potret yang cukup sering ditemui di ruang kelas. Dosen-dosen ini biasanya sangat kuat secara konseptual, kaya referensi, dan menguasai teori hingga ke akar-akarnya. Namun ketika masuk ke ruang kuliah dan berhadapan dengan mahasiswa, pengetahuan itu seperti mentok di kepala, tidak pernah benar-benar sampai ke telinga mahasiswanya.
Alih-alih membuat mahasiswa paham, penjelasan yang diberikan justru semakin membingungkan. Kalimatnya panjang, istilahnya berlapis-lapis, dan alurnya meloncat-loncat. Niatnya ingin menyederhanakan konsep, tetapi yang terjadi malah sebaliknya, materi menjadi terasa eksklusif dan sulit diakses. Mahasiswa akhirnya sibuk mencatat tanpa benar-benar mengerti, atau lebih parah lagi, sekadar hadir secara fisik tanpa kehadiran pikiran.
Masalah ini sebenarnya bukan soal kecerdasan, apalagi kapasitas akademik. Ini murni soal kemampuan menyampaikan gagasan. Public speaking bukan sekadar berani bicara di depan kelas, tetapi tentang bagaimana menata ide, memilih diksi, membaca audiens, dan mengalirkan pengetahuan secara runtut. Sayangnya, kemampuan ini kerap dianggap pelengkap, bukan kebutuhan utama, padahal di ruang kelas, kemampuan berbicara adalah jembatan utama antara ilmu dan pemahaman.
Di titik inilah ironi pendidikan muncul. Kampus yang menjadi pusat produksi ilmu justru sering abai pada cara ilmu itu disampaikan. Dosen dituntut meneliti, menulis jurnal, dan menguasai teori mutakhir, tetapi tidak selalu dibekali atau didorong untuk mengasah kemampuan komunikasi. Akibatnya, mahasiswa harus berjuang sendiri menerjemahkan materi yang seharusnya bisa dipahami bersama.
Padahal, jika mau sedikit menoleh ke lingkungan kampus sendiri, banyak aktivis mahasiswa yang justru lihai dalam hal berbicara di depan umum. Mereka terbiasa menyederhanakan isu rumit, merangkai argumen dengan bahasa yang membumi, dan menyampaikan pesan secara sistematis.
Bukan berarti aktivis lebih pintar, tetapi mereka terlatih untuk berbicara dengan tujuan dipahami, bukan sekadar terdengar pintar. Di sinilah ruang refleksi itu seharusnya dimulai.
Ini bukan soal isi kepala, tapi bagaimana cara mulut bekerja
Jika dikomparasikan, aktivis kampus dan dosen sebenarnya berangkat dari titik yang hampir sama. Keduanya sama-sama mempelajari materi sebelum berbicara. Aktivis tidak mungkin naik mimbar tanpa tahu isu yang akan disuarakan. Mereka membaca, berdiskusi, mengulik data, bahkan menyusun kerangka narasi sebelum berorasi. Begitu pula dosen. Tidak ada dosen yang mengajar tanpa persiapan akademik. Silabus disusun, bahan ajar dibuat, referensi dikumpulkan, dan konsep dipahami secara mendalam.
Perbedaannya bukan terletak pada penguasaan materi, melainkan pada cara menyampaikannya. Aktivis kampus sadar betul bahwa orasi yang gagal dipahami adalah orasi yang gagal tujuan. Maka, isu yang kompleks diperas menjadi poin-poin sederhana, kalimat dipilih agar mudah dicerna, dan intonasi diatur supaya pesan sampai. Mereka belajar membaca audiens, tahu kapan harus menekan, kapan harus melambat, dan kapan harus memberi jeda. Semua itu dilakukan bukan untuk terlihat pintar, tetapi agar didengar dan dipahami.
Sementara itu, dosen sering kali terjebak pada logika sebaliknya. Semakin rumit penjelasan, semakin akademik rasanya. Padahal, dunia sudah berubah. Di era sekarang, soft skill seperti public speaking bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan parameter penting dalam menilai bagaimana seseorang berargumen, berpendapat, dan menyampaikan gagasan. Orang tidak hanya dinilai dari apa yang ia ketahui, tetapi juga dari bagaimana ia mengomunikasikannya.
Cara penyampaian dosen tidak relevan dengan cara belajar mahasiswa
Mahasiswa hari ini hidup di tengah banjir informasi yang serba cepat dan ringkas. Mereka terbiasa dengan penjelasan yang runtut, visual, dan langsung ke inti persoalan. Ketika berhadapan dengan gaya mengajar yang berputar-putar dan penuh istilah tanpa penjelasan kontekstual, jarak antara dosen dan mahasiswa pun melebar. Bukan karena mahasiswa malas berpikir, tetapi karena cara penyampaian tidak lagi relevan dengan cara belajar mereka.
Dari sini, komparasi itu menjadi jelas. Aktivis kampus mengasah public speaking karena tuntutan gerakan, sementara dosen sering kali merasa cukup dengan penguasaan materi. Padahal, keduanya sama-sama berbicara di ruang publik, sama-sama menyampaikan gagasan, dan sama-sama punya tanggung jawab agar apa yang disampaikan bisa dipahami.
Di titik ini, belajar public speaking bukan soal gengsi atau usia, melainkan soal kesadaran bahwa ilmu yang baik adalah ilmu yang mampu sampai ke pendengarnya.
Tenang bapak/ibu dosen, ini cuma keresahan mahasiswa
Tulisan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela aktivis kampus seolah-olah mereka lebih unggul, apalagi merendahkan dosen yang jelas memiliki kedalaman ilmu, pengalaman akademik, dan legitimasi keilmuan yang tidak bisa disamakan begitu saja. Ini bukan soal siapa yang lebih pintar, melainkan soal bagaimana ilmu itu sampai ke telinga dan kepala mahasiswa.
Sebagai mahasiswa yang datang ke kampus dengan harapan besar untuk belajar, wajar jika kami juga menaruh ekspektasi tinggi kepada dosen. Apalagi, UKT yang dibayarkan tidak murah dan sering kali menjadi beban kolektif keluarga. Maka, ruang kelas seharusnya menjadi ruang belajar yang benar-benar ramah secara intelektual, bukan sekadar ajang unjuk kompleksitas istilah dan teori. Ketika bahasa yang digunakan terlalu tinggi dan asumsi dosen menempatkan mahasiswa seolah sudah setara secara keilmuan, di situlah celah itu muncul. Ilmu tidak gagal karena materinya salah, tapi karena cara penyampaiannya tidak bertemu dengan kapasitas pemahaman mahasiswa.
Di titik ini, public speaking bukan lagi sekadar pelengkap, melainkan jembatan utama antara ilmu dan pemahaman. Aktivis kampus, dengan segala kekurangannya, sering kali justru piawai di aspek ini karena mereka terbiasa menyusun pesan, mengenali audiens, dan menyampaikan gagasan secara bertahap.
Barangkali, tidak ada salahnya jika sesekali para dosen menurunkan ego akademik dan belajar dari praktik-praktik itu. Toh tujuannya sama, menyampaikan gagasan agar dipahami. Pada akhirnya, ilmu setinggi apa pun akan percuma jika hanya berhenti di kepala pengajarnya.
Penulis: Azzhafir Nayottama Abdillah
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















