Pendidikan alat perubahan
Orang di luar sana banyak yang menjadikan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, sekadar formalitas. Untuk pantas-pantas saja dan pamer tetangga. Segelintir di antaranya menghubungkan pendidikan pada hal-hal berbau materialistik. Tidak sedikit yang menganggap, orang-orang akan kaya raya kalau punya pendidikan tinggi. Padahal tidak selalu seperti itu, tidak langsung instan seperti itu.Â
Saya dan banyak dosen Kampus Muhammadiyah lain percaya, pendidikan lebih dari formalitas atau menjanjikan kekayaan. Pendidikan adalah alat perubahan. Pendidikan membentuk kesadaran yang pelan-pelan menciptakan kesadaran perubahan. Mungkin perubahan itu tidak akan dirasakan langsung saat ini, tapi kami dengan sabar akan terus menabur benih-benih itu.Â
Dosen Muhammadiyah punya spiritual dan sosial yang terus bertumbuh
Saya merasa punya ruang untuk bertumbuh secara spiritual dan sosial. Para dosen bebas menulis dan bebas berdiskusi. Bahkan, bebas mengkritik selama itu dilakukan dengan adab. Kami tidak dicekal hanya karena punya opini berbeda. Kami tidak dibungkam hanya karena berpikir kritis. Ini adalah kemewahan yang kadang tidak ditemukan di tempat lain.
Saya dan banyak dosen Muhammadiyah lain mungkin merasa tidak pernah sendirian. Ketika lelah, kami menemukan rekan sejawat yang juga lelah tapi tetap semangat. Ketika frustasi, kami menemukan komunitas kecil yang siap mendengar. Kami berbagi bukan hanya kerja, tapi juga perjuangan. Dan di tengah sistem yang kadang mengecewakan, solidaritas seperti ini adalah berkah terbesar.
Alasan-alasan itu yang membuat kami ingin menjaga agar kampus ini tetap ada untuk generasi selanjutnya. Kampus Muhammadiyah tidak lahir dari investor, tapi dari iuran umat. Dari semangat gotong royong, dari keyakinan bahwa pendidikan itu hak semua orang. Maka, mempertahankannya bukan hanya tugas, tapi juga penghormatan kepada sejarah, kepada orang lain.Â
Memang bukan tempat yang sempurna
Kampus Muhammadiyah bukanlah tempat yang sempurna. Institusi pendidikan organisasi Islam terbesar di Indonesia masih perlu berbenah di sana sini. Munafik juga rasanya kalau saya bilang tidak pernah iri dengan dosen-dosen kampus lain. Memang ada saatnya saya iri pada kawan-kawan yang mengajar di kampus negeri atau kampus swasta elit.Â
Akan tetapi, semua rasa iri itu luntur begitu saja saat saya mengajar di kelas dan melihat mata berbinar dari para mahasiswa karena paham akan konsep ekonomi Islam yang saya ajarkan. Saya jadi tambah semangat mengajar ketika menerima pesan dari alumni yang kini jadi pengusaha tempe di dusunnya dan membangun komunitas, semua rasa iri itu lenyap.
Tulisan ini mungkin terdengar seperti meromantiasi jadi dosen Muhammadiyah. Namun, bagi saya, seperti itulah adanya. Kami bukan orang-orang suci, kadang kami ingin menyerah. Tapi, tiap kali nyaris pergi, selalu ada hal kecil yang menahan. Kadang senyum mahasiswa, diskusi hangat di ruang dosen, kadang selembar kertas berisi undangan nikah dari mantan mahasiswa yang dulu nyaris DO.
Kampus Muhammadiyah bukan tempat sempurna. Tapi di sinilah saya terus belajar menjadi lebih baik, bukan hanya sebagai dosen, tapi juga sebagai manusia. Jika suatu hari saya pensiun, saya tidak ingin dikenang karena gelar atau jabatan. Saya ingin dikenang sebagai dosen yang sabar mengulang materi berkali-kali, yang tidak malu makan di kantin mahasiswa, dan yang tidak pernah lelah menulis catatan kecil tentang harapan.
Sebab bagi saya, menjadi dosen di kampus Muhammadiyah bukanlah pilihan karier. Ia adalah bentuk cinta. Dan cinta, sering kali tidak butuh alasan logis.
Penulis: Andi Azhar
Editor: Kenia Intan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















