Nggak paham lagi sama pengelola tempat wisata yang menyetel musik keras-keras.
Minggu lalu, saya dan keluarga piknik tipis-tipis ke Karanganyar. Eits, ini bukan Karanganyar yang di Solo, ya, tapi Karanganyar yang ada di Pekalongan, Jawa Tengah. Karanganyar memiliki bentang alam yang unik. Bagian barat Kabupaten Karanganyar merupakan dataran rendah, yakni lembah Bengawan Solo yang mengalir menuju ke utara. Sedangkan bagian timur berupa pegunungan, yakni bagian sistem dari Gunung Lawu.
Alhasil selama berkendara di Karanganyar, kami disuguhi dengan pemandangan yang menyejukkan mata. Sungguh menyenangkan. Istimewanya lagi, jalanan di Karanganyar relatif bersih dan banyak pepohonan.
Di Karanganyar, kami mampir ke salah satu tempat wisata di sana, yaitu wisata danau Al Kautsar. Niat hati sih ingin menyegarkan pikiran di sana. Eh, yang didapat malah sebaliknya. Nggak jadi chill, malah bikin ilfeel. Gara-garanya, pengelola wisata menyetel musik jenis koplo dengan volume yang sangat kencang.
Maaf, saya bukan mempermasalahkan jenis musiknya. Saya juga sesekali mendengar jenis musik koplo, kok. Yang jadi masalah adalah, kenapa musiknya harus disetel dengan volume yang bikin telinga sakit? Mau bikin pengunjung budek?
Bukan yang pertama
Setelah saya ingat-ingat, wisata danau Al Kautsar bukanlah satu-satunya objek wisata yang nyetel musik kenceng-kenceng. Banyak tempat wisata lain yang melakukan hal serupa. Misalnya, wisata sungai Ledok Sambi yang ada di Kabupaten Sleman, DIY.
Wah, angkat tangan saya. Wisatanya sih bagus. Sungainya bersih, pemandangan oke… Sayang, musiknya kenceng pol. Apalagi dikit-dikit terdengar suara pelayan kafe yang memanggil nama pelanggan lewat speaker. Mbudegi pol.
Wisata sejenis waterpark juga kerap menyetel musik dengan volume tinggi. Padahal, tanpa perlu suara musik yang menggelegar, waterpark itu sudah ramai, lho. Ada suara bocil teriak-teriak kegirangan main air, suara emak-emak tertawa, suara air tumpah dari ember raksasa, termasuk suara tangis balita yang panik karena menelan air kolam. Jujur saja, suara-suara itu lebih menyenangkan daripada suara musik bervolume keras yang keluar dari speaker.
Cara menghidupkan suasana yang gagal
Saya meyakini salah satu tujuan pengelola tempat wisata menyetel musik dengan volume tinggi adalah untuk menghidupkan suasana. Biar ramai, gitu. Sayangnya, alih-alih menghidupkan suasana, suara-suara dari speaker itu justru mengganggu.
Pertama, jelas berisik. Dengan adanya suara musik yang kencang, mau nggak mau para pengunjung harus menaikkan volume suaranya saat berbincang dengan yang lain. Bayangkan kalau kamu ngobrol dengan volume standar, suara kamu pasti bakal kalah dengan suara yang keluar dari speaker. Ending-nya, lawan bicaramu nggak bakal ngerti kamu ngomong apa. Kalaupun obrolan dilanjutkan, pasti bakal diwarnai dengan kata “Hah?”, “Apa?”. Gitu.
Kedua, bikin stres. Saya tanya sekarang. Orang pergi wisata itu mau apa, sih? Mau bersenang-senang sambil me-refresh otak, kan? Apa mungkin tujuan itu tercapai jika kunjungan mereka ke tempat wisata diwarnai dengan lantunan musik yang keras? Yang ada, malah jadi pusing, kan.
Hari-hari biasa sudah ketemu dengan suara bising dari mesin kendaraan, proyek pembangunan, kegiatan industri dan suara nyaring dari rumah tetangga, ehhh, begitu liburan mau refresing, malah ketemu sama musik nyaring. Stresss.
Pesan untuk pengelola tempat wisata
Untuk itulah, mohon dengan sangat bagi para pengelola tempat wisata, please, kalau nyetel musik nggak usah kenceng-kenceng. Pengunjung kalau mau cari musik yang kenceng, perginya ke diskotek, kok, bukan ke tempat wisata.
Pergi ke tempat wisata itu ya mencari ketenangan. Paham?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Program Wisata Unggulan: Investor Makin Kaya, Warga Lokal (Dibikin) Makin Miskin.