Pedih sekali rasanya. Kekasih meninggalkan teman saya setelah hijrah. Sudah begitu kena cap dajjal pula. Cidro!
Rasa-rasannya, sebagai seorang kawula muda macam kita, tidaklah lengkap cerita hidupnya jika tidak memiliki kisah asmara. Sebab, sebagai seorang manusia, perasaan suka kepada lawan jenis tentu nyata adanya. Sekeras apapun kita menyangkal, baik dengan menyertakan dalil agama hingga gengsi semata, perasaan itu tetap akan ada.
Gayung bersambut, kata berjawab. Ungkapan tersebut cukup menggambarkan perkembangan zaman hari ini berperan penting dalam mewarnai kisah kasih insan kiwari.
Tetapi cinta, sebagaimana jamak diketahui, tidak hanya melulu soal bahagia, happy ending, atau abadi tak lekang dimakan usia. Terkadang, ia tak semanis apa yang dicita, bahkan boleh jadi nahas ditelan nestapa. Termasuk teman saya, yang malah kena cap dajjal kala itu.
Saya jadi teringat pengalaman kawan yang putus cinta. Apa yang dialami oleh dia terhitung sedikit nyeleneh. Bahkan saya yang mendengarnya saja sampai heran, sekaligus prihatin.
Daftar Isi
Awal kisah percintaan yang berujung cak dajjal
Cerita itu bermula ketika dia menjalin hubungan percintaan dengan wanita pilihannya. Banyak rintangan yang dia hadapi untuk mendapatkan kekasih ini. Hingga akhirnya dia berhasil memenangkan hati perempuan pujaannya.
Syahdan, relasi yang dibangun berdasarkan perasaan suka sama suka tersebut berjalan tanpa hampir tanpa halangan. Meskipun tidak luput dari ujian dan cobaan. Menurut penuturannya, kisah tragis cap dajjal ini dimulai dari masa putih abu-abu hingga kuliah. Disinilah malapetaka itu bermula.
Kehidupan sebagai mahasiswa membuat mantannya ini hidup di lingkungan baru. Tentu dengan relasi yang lebih luas. Inilah momen titik balik perempuan tersebut terjadi. Dia yang menaruh minat pada ilmu-ilmu keagamaan, kemudian rajin mengikuti banyak majelis pengajian. Pacar yang sekaligus teman saya tentu amat mendukung. Siapa yang tak suka mantan calon istrinya mencoba memantaskan dirinya sebelum terikat dalam tali perkawinan yang sah.
Mantan kekasihnya seperti terhipnotis
Suatu ketika, mantan teman saya terkesima dan seolah-olah terhipnotis. Di salah satu ceramah, sang ustaz dengan berapi-api menyatakan bahwa pacaran adalah haram. Hubungan tanpa perkawinan yang sah menurut agama adalah zina. Inilah awal cap dajjal itu berawal.
Tidak berhenti sampai situ, sang ustaz juga menimpali bahwa tak peduli namanya, sekali zina tetaplah zina. Nasib sial tidak berbau, si wanita justru berkonsultasi dengan teman akhwat seperkajiannya. Tentu karena sister fillah ini jomblo menjalani kehidupan halal versinya dengan taat dan penuh keyakinan. Maka, dia memberikan rekomendasi kepada mantan pacar teman saya untuk buru-buru mengakhiri segala macam hubungan dosa tersebut. Astaghfirullah
Maka, dengan segala kemantapan hati, bermodal nasihat mulia sang ustaz, dia mengambil keputusan sepihak untuk memutuskan teman saya. Alasannya, dia hendak berhijrah. Teman saya yang tak tahu apa-apa tentu terkejut. Maka, dengan tenaga dan mental yang tersisa, teman saya mencoba membujuk mantannya untuk memikirkan ulang keputusan ini. Apalagi relationship yang mereka lalui bukan barang sebentar. Setiap masalah yang muncul selalu menemukan titik temu, sependek pengalaman keduanya dalam membina bahtera rumah tangga percintaan.
Bukannya tertegun, sang pacar justru marah dan mengingatkan teman saya untuk segera bertobat, ditambah dengan nasihat bahwa zaman sudah diujung tanduk. Fitnah sudah di mana-mana, bergama seberat menggenggam bara api dan nasihat lainnya yang mengandung pesan kebaikan.
Dengan berat hati, teman saya yang tak tahu apa-apa mengiyakan permintaan mantan pacarnya. Hari-harinya kemudian dihabiskan dengan lesu tanpa semangat. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Satu sisi berduka, sisi lain betul juga omongannya dia. Dalam putus asanya, dia bingung hendak seperti apa.
Larut dalam kepiluan cap dajjal
Maka sebagai teman yang baik, saya mencoba menenangkan dan menghibur hatinya supaya tidak terlalu larut dalam kepiluan. Dalam dukanya, saya mengingatkan memang tidak mudah ketika kita dalam posisinya.
Sungguh benar apabila dikatakan sebagai zina yang berdosa. Tetapi, bukan begitu kita menginterpretasikan agama. Apalagi yang berkaitan dengan persoalan batin, tentu harus bijak dan penuh pertimbangan.
Dalam kasus ini misalnya, seharusnya pendekatan yang dilakukan adalah persuasif. Supaya selain bisa memotong mata rantai “zina” dengan baik, nilai-nilai kebaikan agama juga menyentuh ranah batin. Sehingga, dapat memunculkan kesadaran utuh tentang pentingnya beragama dengan baik.
Sebaliknya, model konfrontatif malahan bisa merugikan salah satu pihak. Seperti teman saya. Meskipun salah, bukan berarti harus diperlakukan layaknya pesakitan. Metode seperti inilah yang seharusnya menjadi perhatian bersama. Barangkali sederhana, tetapi memiliki dampak yang besar. Sehingga, selain dipandang sebagai tindakan solutif, ajaran syariat juga applicable dan bisa dirasakan manfaatnya oleh segala kalangan.
Terakhir, yang paling terngiang dari ucapan kawan saya dalam sambatannya ialah, “Wes cidro, dicap dajjal meneh.” Pedih sekali.
Penulis: Muhammad Ghossan Nazhif Dhiya’elhaq
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Penyesalan Seorang Pembuat Konten Hijrah terhadap Aktivitas Hijrahnya