Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Kampus Pendidikan

Dingdong: Pendidikan Karakter Tahun 90-an

Muhammad Iqbal Apriliyana oleh Muhammad Iqbal Apriliyana
23 Agustus 2019
A A
dingdong

dingdong

Share on FacebookShare on Twitter

Bandung siang itu terik, namun sesekali angin bersemilir menerpa wajah saya yang masih lucu, sederhana dan polos, tak ada jerawat dan komedo. Iya saya masih siswa SD kelas 4 di sebuah Sekolah Dasar Negeri di jalan Kopo dekat Rumah Sakit Imannuel Kota Bandung. Lapar, perut ini terasa lapar, namun saya tetap istiqamah berjalan menyusuri gang-gang sempit sepulang sekolah menuju satu tempat yang saya idam-idamkan.

Sengaja sejak istirahat saya tidak jajan, padahal ongkos yang dikasih nenek dari rumah cukup untuk beli semangkuk mie bakso Mang Dadang di seberang sekolah. Pertengahan tahun 1994 Rp. 250,- harga semangkuk mie bakso di gerobak Mang Dadang. Sedangkan harga es teh di kantin Bu Asih sekitar Rp. 50,- dapat dua. Menjelang tahun 1997, harga semangkuk mie bakso Mang Dadang berlipat naik menjadi Rp. 500’-, sementara es teh di kantin Bu Asih, masih tetap. Lantas demi apakah saya rela nahan lapar, dan melewatkan kenikmatan jajan di waktu istirahat tadi? Sederhana. Saya ingin main Dingdong.

Iya Dingdong, dinamakan Dingdong katanya sih sejak console game yang pake koin itu ada tahun 70-an. Begitu yang mau main masukin koin mesinnya bakal bunyi ding-dong. Nah, di tahun 90-an video game Dingdong mainnya pakai koin, koin asli bikinan Perum Peruri, tidak seperti sekarang area permainan anak di mall-mall harus tukar dulu uang asli terus dikasih koin khusus bikinan pengelola.

Oke udah ngerti kan pulang sekolah saya mau ke mana. Di sepertiga perjalanan saya melewati pabrik roti rumahan milik Mang Odo, beliau ayahnya teman sekelas saya. Sejak 100 meter menjelang pabrik Mang Odo, aroma khas roti bangket sudah tercium hidung. Roti semi kering beraroma jahe itu terkenal dengan nama bangket. Tentu saja saya diijinkan untuk ngambil roti bangket, nggak banyak 1-2 potong juga sudah bikin kenyang, kalau mau ambil banyak dan gratis juga boleh, syaratnya? Ambil saja yang BS (Barang Sisa). Okesip. Perut kenyang. Uang utuh. Seperti orang yang terbebas dari masalah pangan, saya pun pamit meneruskan perjalanan. Terima kasih Mang Odo. Lanjut ke tempat Dingdong.

Tempatnya nggak terlalu luas, sekira 5 x 6 meter saja, tempatnya pun tak terlalu istimewa. Sebuah garasi  yang disulap menjadi arena bermain Dingdong. mesin dingdongnya ada 6 berjajar rapih tanpa sekat, satu mesin dingdong bisa dimainkan oleh dua orang. Ketika saya datang, disitu sudah ada Aep, Epul dan Iwan, ketiganya teman sekelas di sekolah. Aep dan Iwan antri menukar uang kertas dengan koin seratusan di meja penukaran yang dijaga Teh Sari, anak pemilik usaha Dingdong. Sedangkan Epul masih bingung memilih mau main apa. Saya menyapa, mereka biasa saja. Saya tak perlu menukar uang kertas ke koin seratusan, karena memang bekal ongkos dari nenek selalu recehan. Rp. 300,- setidaknya cukup untuk dihabiskan siang itu di 3x permainan, bisa satu atau dua bahkan 3 jenis game, kalau mau.

Agak ramai tempat Dingdong siang itu. Mood saya untuk main Dingdong tinggal setengah. Jenis game yang mau saya mainkan dikuasai anak SMA yang mainnya jago sekali, modal satu koin kalau mainnya sejago itu kapan game overnya? Anjing.

Sampai kira-kira jam dua siang, tak juga dapat giliran, Epul dan Iwan sudah main, sedangkan Saya dan Aep rasanya nggak akan dapat giliran. Saat itu di tempat Dingdong rasanya ada yang mengawasi gerak saya. Sudahlah mungkin hanya perasaan saja. Saya pamit nggak jadi main Dingdong ke Epul, Aep, dan Iwan. Rupanya mereka mau pulang juga, terutama Epul yang kesal karena habis banyak koin dan game over terus di waktu yang singkat. hehe

Kami pulang berempat. Menyusuri gang-gang sempit di wilayah Kecamatan Bojongloa Kaler, konon disebut kecamatan terpadat di Kota Bandung, sebelum akhirnya dikalahkan oleh Cicadas. Sampai tanah lapang di gang irigasi. Dulunya ada irigasi buat sawah-sawah, namun berubah jadi selokan besar berbau kurang sedap karena limbah domestik dan sampah. Sungguh mubazir!

Baca Juga:

Nostalgia 9 Sinetron Ramah Anak, Generasi 90-an Masih Ingat?

Nostalgia 5 Jajanan Jadul Era 90-an, Masih Inget?

Tiba-tiba ada yang menghadang kami, tiga orang, di antara mereka ada satu orang yang tadi saya lihat di tempat Dingdong. Badan mereka lebih tinggi sejengkal dari badan kami, dan tentu saja lebih besar kepalan tangannya.

Malak. Kami dimintai uang, saya teringat teman saya Cecep yang cerita kalau kemarin dia juga dipalak sewaktu habis main Dingdong. Saya diam tak menjawab. Saya berpikir masih bisa lah melawan, toh kami berempat meskipun kecil-kecil, masih menang kuantitas daripada mereka bertiga. Namun di tengah semangat dan euphoria menang kuantitas itu, tiba-tiba saja jadi melempem, sebab dua orang dari kami Epul dan Iwan, lari sekencang-kencangnya entah kearah mana. Tinggallah saya dan Aep.

“Kumaha yeuh, Ep? (red: Gimana nih ep?),” saya tanya ke Aep.

“Kagok edan lah, lawan weh! ( red: Udah terlanjur, lawan aja!),” kata Aep.

“Mun wani dieu maju anjing! (red: kalau berani, sini maju anjing!),” lanjut Aep.

Tak seperti koreografi film-film silat di TV, saya yakin pertarungan dua lawan tiga ketika itu tidak ada indah-indahnya, semuanya “papuket” (saya nggak tahu Bahasa Indonesianya apa, pokoknya gaya berantem yang nggak karuan), tak ada kuda-kuda, tak ada tangkisan, tak ada jurus apapun, seluruh anggota tubuh bergerak asal-asalan, tangan memukul, kaki menendang, jatuh ke tanah, berguling-guling, semuanya jarak dekat, kena pukul dan kena tendang, sudah pasti.

Semua berhenti ketika merasa sudah capek, ketika itu azan asar, ada bapak-bapak yang lari ke arah kami. Para pemalak? Ya, mereka kabur. Saya babak belur, Aep juga.

Sudah sore, kami pulang. Saya dan Aep berpisah di depan pabrik krupuk blek di Gang Sukarma, karena arah pulang kami berbeda. Siap-siap kena sama nenek di rumah. Pulang terlambat, baju seragam kotor, muka lebam, tangan lecet. Aep juga. Epul dan Iwan tidak.

Terus pelajaran apa yang bisa diambil dari kejadian itu? Menurut saya nggak ada sih. haha Tapi menurut Aep ada dan saya baru ketemu sama Aep waktu silaturahmi lebaran Idul Fitri kemarin. Katanya, pertama, sebelum main Dingdong, sebaiknya pulang dulu, makan dulu yang kenyang, salat dulu, ijin ke orang tua, bohong aja dikit bilang mau kerja kelompok, hehe. Kedua, kita itu punya tujuan yang jelas dan fokus yaitu mau main Dingdong sepulang sekolah. Ketiga, karena udah fokus dan istiqamah, kita rela nggak jajan, sekaligus belajar hemat waktu istirahat di sekolah, semua demi main Dingdong. Keempat, kita jadi tahu (bubuk haha), maksudnya jadi kenal mana teman sejati yang nggak ninggalin kita di situasi krusial (red: Bukan Epul, bukan juga Iwan). Kelima kita bisa belajar bisa beladiri juga, spontanitas. hehe

Nuhun Dingdong, udah ngasih pengalaman berharga. Nuhun Aep, setidaknya kamu nggak lari waktu itu. Untuk Epul dan Iwan, Fakyu!

Catatan: Nama karakter pada tulisan ini sudah disamarkan. (*)

 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) yang dibikin untuk mewadahi sobat julid dan (((insan kreatif))) untuk menulis tentang apa pun. Jadi, kalau kamu punya ide yang mengendap di kepala, cerita unik yang ingin disampaikan kepada publik, nyinyiran yang menuntut untuk dighibahkan bersama khalayak, segera kirim naskah tulisanmu pakai cara ini.

Terakhir diperbarui pada 24 Januari 2022 oleh

Tags: arcadedingdonggenerasi 90-ankenangan masa kecilkenangan masa sekolah
Muhammad Iqbal Apriliyana

Muhammad Iqbal Apriliyana

ArtikelTerkait

Wiro Sableng: Serial Pendekar Jenaka, Soundtrack Easy Listening, dan Simbol 212 yang Ikonik terminal mojok.co

Wiro Sableng: Serial Pendekar Jenaka, Soundtrack Easy Listening, dan Simbol 212 yang Ikonik

30 Juni 2021
7 Lagu Westlife Paling Dikenang Sepanjang Masa, Generasi 90-an Pasti Pernah Belajar Bahasa Inggris dari Lagu-lagu Ini Terminal Mojok

7 Lagu Westlife Paling Dikenang Sepanjang Masa, Generasi 90-an Pasti Pernah Belajar Bahasa Inggris dari Lagu-lagu Ini

24 September 2022
Nggak Memberi Sontekan Itu Bukan Berarti Pelit, kalau Goblok Jangan Nyolot deh!

Menurut Saya, Menjadi Sekretaris Adalah Cobaan Terberat di Masa Sekolah

31 Desember 2020

Lima Kenangan Anak 90-an Bermain Playstation

20 April 2020
lagu enak

Generasi 80-an dan 90-an, Berbahagialah! Stok Lagu Enak Kalian Tidak Ada Habisnya

20 Agustus 2019
reuni

Mengulas Sisi Baik Reuni, Memang Ada?

16 Juli 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Tetap Menyenangkan Mojok.co

4 Aturan Tak Tertulis Berwisata di Jogja agar Liburan Tetap Menyenangkan

30 November 2025
Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang (Unsplash)

Desa Ngidam Muncar, Desa Terbaik di Kabupaten Semarang dengan Pesona yang Membuat Saya Betah

4 Desember 2025
Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

Sudah Saatnya Bandara di Indonesia Menjadi Ruang untuk Mempopulerkan Makanan Khas Daerah

3 Desember 2025
Madiun, Kota Kecil yang Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya Mojok.co

Madiun, Kota Kecil yang Sudah Banyak Berbenah kecuali Transportasi Publiknya

2 Desember 2025
3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall Mojok.co

3 Alasan Saya Lebih Senang Nonton Film di Bioskop Jadul Rajawali Purwokerto daripada Bioskop Modern di Mall

5 Desember 2025
Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

Jogja Sangat Layak Dinobatkan sebagai Ibu Kota Ayam Goreng Indonesia!

1 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=HZ0GdSP_c1s

DARI MOJOK

  • JogjaROCKarta 2025: Merayakan Perpisahan dengan Kemegahan
  • Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar
  • Overqualified tapi Underutilized, Generasi yang Disiapkan untuk Pekerjaan yang Tidak Ada
  • Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama
  • Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?
  • Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra


Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.