Tiga bulan lalu, karena perusahan tempat saya berkerja mengalami kesulitan keuangan. Dengan terpaksa mereka mengeluarkan 8 dari 20 karyawan mereka. Sialnya, saya termasuk dalam 8 orang yang kurang beruntung. Setelah pulang ke Yogya saya sempet bingung mau kerja apa. Sadar usia yang sudah tidak muda dan modal ijazah cuma SMA. Kalau mau buka usaha, tabungan saya masih terlalu mepet.
Hingga akhirnya ada kawan menawari saya bekerja di pegadaian elektronik. Tidak usah tanya soal perizinan ya. Bicara legalitas di kantor saya adalah sesuatu yang tabu. Sama tabunya ketika kita bicara masalah nananina. Apa itu nanaina? Nananina ya nananina. Tidak perlu dijelaskan, namanya saja tabu.
Awalnya saya ragu untuk ambil pekerjaan ini. Masalahnya di medsos sedang rame hastag #ngeRIBAnget. Banyak orang rame-rame keluar dari bank resmi untuk jualan obat-obatan herbal. Lha ini saya malah mau kerja di pegadaian hayal nggak jelas.
Walaupun pada dasarnya saya beda keyakinan dengan pengikut gerakan #ngeRIBAnget, tapi nurani saya terus berontak menuntut penjelasan. Masalahnya, bukan halal atau haram rezeki yang akan terima. Tetapi apa bisa dibenarkan, jika saya memanfaatkan kesusahan orang orang lain demi keuntungan diri saya sendiri? Sekeras apa pun saya berpikir, saya tetap tak mampu membenarkannya.
Karena sudah mentok, akhirnya saya terima juga tawaran itu. Alasannya cuma satu, yaitu kepepet. Kalau sudah kepepet semua bisa dimaklumi. Lagipula saya kan tidak melanggar UU yang berlaku di Indonesia.
Dilema riba itukan hanya masalah pertimbangan moral dan hati nurani. Kalau sudah kepepet apa iya perlu ndakik-ndakik ngomongin moral dan hati nurani? Pejabat yang nggak kepepet aja tega nyolong, kok. Mosok iya, masyarakat misquen seperti saya harus pusing soal moral dan nurani gara-gara #ngeRIBAnget?
Customer saya kepepet butuh duit, kebetulan bos saya punya duit, saya yang melayani mereka berdua. Salahnya di mana? Inikan cuma sekadar simbiosis mutualisme. Wajarlah jika bos saya mengambil margin 10% dari uang yang dipinjamkan. Bagaimanapun juga dia punya keluarga yang harus dihidupi, dan juga punya karyawan yang butuh hidup. Lagipula margin 10% itu tergolong kecil bagi seorang pengusaha. Bisnis makanan marginnya bisa lebih 100%, tapi nggak ada tuch yang nyinyir.
Setelah 3 bulan, ternyata saya belajar banyak hal. Yang paling menarik adalah mempelajari perilaku dan sifat para customer. Dalam dunia gadai, perilaku dan sifat customer bisa menentukan nilai tafsir barang yang mereka bawa. Penilaian tafsir harga berdasar perilaku dan sifat ini penting bagi saya untuk tetap mengasah nurani, biar nggak makin pragmatis. Kalau sudah berhadapan dengan uang, manusia bisa menjadi serigala bagi sesama. Sejauh ini saya bisa mengelompokan orang-orang yang datang ke tempat gadai menjadi 4 tipe.
Satu: Orang Tua Kepepet
Tipe pertama ini jumlahnya paling sedikit. Mungkin cuma sekitar 15% lah. Mereka ini benar-benar orang yang sedang butuh. Mayoritas yang datang ibu-ibu. Alasannya rata-rata untuk keperluan sekolah anak. Ada yang kesulitan karena anaknya banyak, tapi ada juga karena mereka belum punya pekerjaan tetap.
Sebagian besar, menikah muda dan belum siap menjadi orang tua. Barang yang dibawa biasanya barang-barang jadul. Menghadapi mereka terkadang bikin pusing karena buta teknologi dan nggak ngerti harga pasar. Sering banget terjebak pada debat kusir, karena mereka ngotot pakai patokan harga beli dulu. Padahal belinya sudah lebih dari 5 tahun lalu.
Untuk alasan kemanusiaan saya berani memberi tafsir yang tinggi. Saya sendiri pernah melihat pusingnya orang tua saya cari uang buat sekolah saya. Customer tipe pertama ini cenderung menghargai barang dan tertib. Jarang barangnya yang akhirnya lepas. Kalaupun lepas sebisa mungkin akan mereka beli kembali.
Dua: Pekerja Sosialita
Tipe kedua ini jumlahnya sedikit lebih banyak dari tipe pertama, yakni sekitar 20%. Usia rata-rata mereka 25-35 tahun, dan didominasi orang-orang newbie di dunia kerja. Pada dasarnya gaji mereka masih mepet tapi gaya hidup nggak realistis. Akhirnya ya gadai.
Barang-barang yang digadai biasanya tipe terbaru. Mereka ini sangat mengikuti tren meski kemampuan tidak memadai. Kadang-kadang bikin jengkel karena omongannya yang kedhuwuren. Kalau model-model begini tingkahnya agak sombong dan omongane sengak maklumi aja.
Tapi jangan pernah kasih tafsir harga tinggi. Meski barangnya bagus, perlu juga waspada, bisa jadi barangnya masih kredit. Tipe ini sama sekali tidak menghargai barang, karena sering nggak ditebus. Kalau telat bayar, demi menyelamatkan gengsi dan harga diri mereka akan memberi alasan ra mutu.
“Maaf Mas, nggak sempet ke sini kemarin, soalnya aku baru liburan ke Bangkok. IPhone-nya masih bisa aku perpanjang kan? Didenda berapa pun nggak masalah.”
“Maaf Mbak, IPhone-nya sudah dikirim ke management untuk dilelang.”
Setelah itu dengarkan mereka ngomel sambil tersenyum manis. Pada akhirnya mereka akan capek dan pulang.
Tiga: Mahasiswa Kepepet
Mahasiswa memang segmen pasar utama kami. Sehingga jumlahnya cukup banyak. Enam puluh lima persen customer kami adalah mahasiswa. Dan separonya masuk dalam mahasiswa kepepet. Kelompok ini sama dengan orang tua kepepet. Mereka sama-sama orang yang membutuhkan. Mereka datang ke tempat gadai karena kiriman telat, atau ada keperluan kuiah yang mendadak. Barang-barang yang dibawa lebih variatif.
Berhadapan dengan mereka juga lebih mudah karena sebagai orang muda mereka lebih mengerti soal teknologi dan tahu harga pasar. Mereka juga selalu menunjukkan etiket baik. Beberapa yang nilai gadainya tinggi, berinisiatif untuk mencicil hutang mereka. Bahkan ada juga yang kuliah sambil kerja. Makanya ketika berhadapan dengan mereka saya tak ragu memberi tafsir tinggi.
Empat: Mahasiswa Sosialita
Populasi customer tipe terakhir ini selalu bersaing ketat dengan tipe ketiga. Sesuai namanya mereka setipe dengan pekerja sosialita. Bedanya mereka nggak sombong dan lebih realistis. Ibaratnya mereka ini anjing kecil yang baru lepas dari rantainya. Kalau anjing kecil baru aja lepas, pasti dia lari kesana-kemari sambil jingkrak-jingkrak.
Nah, orang muda yang hormonnya memuncak trus hidup merantau tingkahnya kurang lebih sama. Rasa ingin tahu kelewat tinggi semua hal baru dicoba. Akhirnya nggak kerasa uang kuliah kepake. Solusinya ya, datang ke tempat gadai. Mengatasi masalah dengan masalah. Jika akhirnya orang tua mereka yang datang sambil marah, ngomel, atau bahkan nangis dan curhat, nikmati saja sebagai hiburan gratis. Anyway, saya selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan kelompok terakhir ini, karena mereka pasar potensial untuk bisnis sampingan saya: jualan amer.
BACA JUGA Udah Kerja Keras Bagai Kuda, Kok Tabungan Nggak Nambah-Nambah? atau tulisan Indra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.