Lagi-lagi, pagar pacak suji alun-alun utara Jogja jadi pembicaraan. Dari pertanyaan mengapa pagar ini dibangun saat pandemi, ketidaksesuaian dengan sejarah, sampai penyebab rumput tumbuh tidak terawat dan harus terbakar. Tapi hebat lho, pagar besi yang hanya seharga 2 miliar rupiah ini membuat geger lebih seru dari Tembok Maria.
Bicara alun-alun utara, memori saya dan warga lokal lain pasti teringat masa lalu. Masa di mana alun-alun jadi ruang publik yang ingar bingar serta romantis. Dari tempat yang-yangan yang murah meriah, tempat olahraga sekolah sekitar, sampai sekaten. Aduh sekaten betapa rindu diri ini untuk ngawul alias thrifting cari jaket tentara impor dari Tiongkok.
Lha, tiba-tiba GKR Condrokirono muring-muring di Twitter. Ketika salah satu akun mempertanyakan urgensi pembangunan pagar ini, Gusti Condro muntab dalam twit balasan:
“Alun-alun itu pekarangan rmh bagi Raja, utuk di jaga agar tdk kumuh. Bagaimana kalau pekarangan rmh kalian dibuat kumuh oleh org lain ? Org2 skrg berbeda dgn org jaman dl yg tau cara menghargai org lain.”
Kosik-kosik. Ini, kok, saya menemukan keanehan, ya? Bukan, bukan tata bahasa dan penulisan yang memang khas Twitter. Hal yang saya pertanyakan adalah jawaban Gusti Condro yang terdengar aneh. Apalagi bicara fungsi pagar ini dibangun dan yang pasti fungsi alun-alun ini.
Saya ingat betul saat GKR Mangkubumi menjawab pertanyaan perihal pagar ini. Menurut blio, pagar ini dibangun untuk mengembalikan keaslian Kraton Jogja yang pernah dipagari serupa. Memang diperdebatkan karena posisi pagar yang sekarang berbeda. Intinya, kan, bukan untuk memagari halaman pribadi. Namun, semata-mata demi Jogja sebagai kota warisan budaya internasional.
Argumen itu saja sudah nganeh-anehi. Pasalnya, secara langsung menekankan bahwa alun-alun adalah pekarangan kraton yang selama ini dibuat kumuh oleh kita. Lha sebenarnya fungsi alun-alun sendiri itu apa, jal?
Banyak sejarawan menilik kehadiran alun-alun dari masa Majapahit. Alun-alun selalu menjadi simbol dekatnya raja dengan rakyat. Di alun-alun rakyat bisa beraktivitas bahkan sambat kepada raja. Tentu bukan berarti seenaknya. Kalau seenaknya, alun-alun sekarang pasti sudah dibangun hotel atau perumahan oleh warga.
Panembahan Senopati sendiri mengembalikan keberadaan alun-alun berikut beringin kurung yang membuat senewen Sultan Hadiwijaya. Dan peran alun-alun ala Majapahit pun kembali. Masyarakat bisa merasakan “berkah” kerajaan dengan menikmati halaman luas di depan kraton.
Bicara fungsi sambat tadi, ada budaya tapa pepe. Budaya ini tidak main-main, lho. Ketika rakyat ada yang butuh pertolongan raja, dari pajak mencekik sampai hak asasi, mereka berhak meminta pertolongan raja. Caranya adalah duduk bersila di tengah alun-alun dengan berbusana serba putih.
Lantaran akan terlihat mencolok, rakyat tadi akan dipanggil raja yang bertakhta di istana. Dan rakyat tadi dipersilakan menjelaskan alasan kenapa sampai harus berpanas-panasan di tengah alun-alun. Aspirasi ini akan diterima raja langsung dan raja akan mengambil keputusan dengan bijak.
Kalau sekarang? Mana bisa kita tapa pepe. Lha wong pagernya selalu digembok. Budaya adiluhung tapa pepe sirna hanya karena pagar dua miliar ini.
Saya juga teringat bagaimana Suwargi Sri Sultan HB IX bersabda. Takhta untuk rakyat! Takhta Sultan bukanlah demi kemuliaan kerajaan semata layaknya penjajah. Takhta dan kemuliaan kerajaan adalah demi kejayaan masyarakat berikut kerajaan. Buktinya, pembangunan masa Suwargi HB IX sangat fungsional, bahkan menghilangkan Benteng Baluwerti. Apakah karena tidak berbudaya? Saya pikir tidak, lha wong diizinkan Suwargi HB IX.
Lha bagaimana takhta untuk rakyat, kalau alun-alun saja sudah diculik dari rakyat. Bahkan diklaim sebagai pekarangan yang selama ini diinjak-injak dan dibuat kumuh. Padahal, halaman dalam rumah berikut bangunannya saja diinjak-injak wisatawan yang mengunjungi dan mengaggumi kraton. Masak buat rakyat Jogja sendiri malah pakai logika berbeda?
Namun, tidak ada yang membuat sebal selain logika pekarangan dengan realita pembangunan. Lantaran pembangunan pagar ini menggunakan dana keistimewaan alias danais. Anda kenal danais? Untuk daerah non istimewa seperti Jogja, ya maaf karena danais adalah dana kebudayaan dari Pemerintah Indonesia untuk Jogja.
Masalahnya, danais ini bersumber dari APBN. Alias dari uang rakyat yang urunan seperti jimpitan. Urunan berupa pajak ini kan agar kembali pada rakyat. Demi menjalankan fungsi pemerintahan yang lagi-lagi tujuannya untuk rakyat.
Lha mbangunnya saja pakai danais, kok terkesan untuk membangun pekarangan pribadi? Opo tumon anggaran budaya yang bisa menghidupkan berbagai giat budaya malah dipakai untuk membangun pagar pribadi. Ini saya hanya mengaitkan dengan argumen Gusti Condro, lho. Ngapunten, nggih.
Jadi, apakah benar alun-alun itu hak pribadi raja? Atau lahir karena kecintaan yang sinergis antara rakyat dan raja?
BACA JUGA Pentingnya Kerja Cerdas dan Work-Life Harmony agar Ngarso Dalem Nggak Kerja 24/7 dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.