Medio 2019 saya mendapat telepon dari nomor asing yang tidak tersimpan di handphone butut saya. Orang itu mengundang saya untuk datang ke pernikahannya yang dilangsungkan di pinggiran Sleman, DIY. Dlogoknya, saya tidak ingat sama sekali dengannya. Siapa orang ini, kok bisa-bisanya saya yang tidak ingat sama sekali tentangnya ini diundang ke pernikahannya? Sekitar semenit saya menggali dan mengorek lagi ingatan tentangnya sesudah dia menyebutkan nama, nihil.
Saya tidak menemukan secuil memori pun tentang dia. Cunel rasanya otak RAM 250 MB ini. Saya mulai berpikir mas ini salah orang, lha wong saya tidak merasa kenal dengannya kok. Tapi pikiran itu segera sirna dengan fakta bahwa dia tahu nama saya bahkan dia menjelaskan bagaimana dia ingat betul bentuk sepeda motor saya waktu itu.
Dengan berbekal bondo nekat wani isin, keluarlah celetukan bernada menye-menye tengsin dari mulut saya.
“Nyuwun ngapunten nggih, Mas, njenengan niki sinten ya? Saya punya lusinan teman yang namanya sama, tapi kok saya nggak ingat sama sekali dengan njenengan ya?”
Sambil tertawa, dia menjelaskan bahwa dia orang yang pernah saya bantu mencarikan tambal ban di Ringroad Jakal pada 2014 silam.
Gusti Allah! Saya kaget bukan kepalang. Sekejap saja kelebatan memori tentang kejadian membantu orang mencari tambal ban di Ringroad Jakal mulai bermunculan. Tapi kok bisa-bisanya memori kejadian itu hilang begitu saja? Mungkin faktor usia atau tertumpuk dengan memori tentang mantan-mantan yang ninggalin pas lagi sayang-sayangnya itu.
Sekarang saya ingat, 2014 lalu, tengah malam sepulang ngapel saya pernah membantu orang yang bannya bocor. Samar-samar saya ingat betapa frustrasinya dia karena tidak kunjung menemukan tambal ban waktu itu. Wajahnya penuh keringat, kaosnya sudah basah, mungkin sudah sekian kilometer dia menuntun motornya. Ban belakangnya yang kempes lepes seperti tempe mendoan yang sudah dingin itu membuat hati saya terenyuh untuk menolongnya.
Saya ingat waktu itu saya coba hubungi beberapa kontak tambal ban panggilan yang saya temukan dari hasil googling. Sambil menunggu motornya beres ditambal kami berkenalan dan berakhir dengan tukar-menukar nomor telepon. Iya, kami sempat bertukar nomor telepon, tapi entah kenapa nomornya tidak tersimpan di handphone. Mungkin dia sudah ganti nomor atau tidak sengaja saya hapus, saya lupa.
Setelah kejadian itu, kami tidak pernah lagi bertemu dan bersua. Saya kembali menjalani rutinitas sebagai mahasiswa seperti biasa dan kejadian itu sedikit demi sedikit mulai terlupa. Sampai akhirnya dia menghubungi saya lagi untuk mengundang ke pernikahannya ini yang membuat ingatan tentang kejadian ini muncul kembali.
Saya masih tidak habis pikir kok bisa-bisanya mas ini masih ingat betul detail peristiwa yang sudah berlalu bertahun-tahun itu. Terus kok mau-maunya dia masih menyimpan nomor saya. Wong saya bukan pejabat atau orang penting di Jogja yang harus diingat nama dan disimpan nomor teleponnya. Berbanding terbalik dengannya, saya sama sekali sudah tidak ingat kejadian itu karena bagi saya kejadian itu hanyalah kejadian biasa yang tidak perlu diingat lagi. Sing uwis ya uwis, yang penting ikhlas nolongnya.
Tapi ternyata tidak untuknya. Dia bercerita bagaimana dia sangat merasa berutang budi pada saya. Dia menjelaskan lagi pada waktu itu dia sama sekali belum mengerti Jogja dan belum banyak mengenal orang karena baru dua minggu merantau ke kota ini, ditambah lagi dengan isu kriminalitas yang kala itu yang sedang marak menghantui Jogja membuatnya merasa sangat beruntung karena sudah ditolong. Lebaynya, dia menganggap saya malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untuk membantunya.
Mungkin bagi saya kejadian itu memang remeh yang bahkan tidak perlu mendapat tempat khusus di serebrum otak. Serta dikenang selamanya bak pahlawan seperti ini sangat tidak sepadan jika dibandingkan dengan apa yang saya lakukan pada waktu itu, hanya modal googling dan pulsa. Tapi ternyata tidak baginya, mungkin bagi dia kejadian remeh ini adalah kejadian yang sangat berkesan yang sudah dia masukkan ke dalam variabel-variabel yang berpengaruh di hidup dan kesuksesannya sekarang. Kalo bukan seperti itu mana mungkin saya yang cuma bertemu sekali bisa mendapatkan kehormatan untuk dikenang serta diundang ke pernikahannya.
Telepon siang itu berakhir dengan permintaan maaf karena tidak bisa menghadiri pernikahannya. Selain sudah tidak lagi tinggal di Jogja, ada urusan kerjaan yang tidak bisa ditinggal. Saya masukkan handphone butut saya ke kantong celana dan kembali melanjutkan kegiatan yang sudah saya lakukan sedari 20 menit yang lalu, mendorong motor. Ah sial, belum terlihat tambal ban di depan sana.
Sumber gambar: Wikimedia Commons
BACA JUGA Titik Terendah dalam Hidup, dan Cara Kita Semua Melaluinya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.