Saya sempat mengalami culture shock yang lumayan dahsyat ketika lulus SMP dan melanjutkan sekolah di STM yang letaknya di kota. Ketika saya mendengarkan lagu-lagunya Kangen Band di tempat umum, saya sering dibacotin banyak orang, entah itu sesama siswa baru atau malah dari kakak-kakak kelas. Saya kaget, kok bisa lagu-lagu enak milik Kangen Band banyak yang nggak suka?
Di kampung saya dulu, hampir semua anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sangat menyukai lagu-lagu Kangen Band. Pas lagi mbribik dan jatuh cinta, yang didengerin lagu-lagu macem “Pujaan Hati” gitu. Pas galau karena ditolak gebetan, ya dengerin lagu-lagu patah hati milik mereka, misal “Penantian yang Tertunda”. Kalo ndilalah sudah punya pacar dan diselingkuhi, ya otomatis nyanyiin lagu yang judulnya “Selingkuh” itu.
Rata-rata orang di kampung saya hafal beberapa lagu Kangen Band. Khusus untuk saya, pada waktu itu, semua lagu dari tiga album mereka saya hafal betul karena saking bagusnya. Dan karena nggak bisa nonton konser mereka, kalau mereka lagi manggung di TV, bakal auto nobar itu anak-anak sekampung.
Popularitas Kangen Band ternyata masih terasa di level kecamatan, terbukti pas SMP, ternyata banyak juga yang ngefans setengah mati sama mereka. Ada yang nggak suka, tapi nggak sampai ke level mbacotin siapa saja yang suka. Pada saat itu justru yang terjadi sebaliknya. Saat ada yang nggak suka Kangen Band, bakal dibacotin sama mayoritas anak yang suka.
Semasa HP sudah mulai canggih dan bisa buat nyimpen MP3, walah, sudah pasti isinya hampir lagunya Kangen Band semua. Pakai headset, dengerin sambil berangkat sekolah, pulang sekolah, bahkan pas mau main ke rumah gebetan juga sambil dengerin lagu mereka, Biar kayak ada soundtrack-nya gitu di setiap kegiatan yang dilakuin.
Barangkali juga, saya bercita-cita gondrong karena anggota band ini rata-rata gondrong. Pun Lek Gato tetangga saya yang gondrong juga bangga dengan kegondrongannya saat banyak anggota band papan atas—terutama Kangen Band—yang memiliki rambut gondrong. Makin menjadi-jadilah saya pengin gondrong suatu saat ketika sudah dewasa.
Bagi saya—dan temen-temen kampung, bahkan sampai ke level kecamatan—anggota Kangen Band itu keren-keren. Sosok Andika Mahesa yang seperti itu dipuja, dijadiin sampul buku cewek-cewek, jadiin wallpaper HP, bahkan poster hasil beli di pasar juga dipajang di kamar biar tiap hari bisa lihat.
Nah, begitu saya beranjak remaja dan masuk STM, saya bersekolah di level kabupaten, dan ternyata popularitas Kangen Band tidak seheboh di level kecamatan. Mereka masih terkenal, iya, tapi bukannya dipuja, mereka malah dihina-hina. Walah, kok bisa? Wong suara Andika Mahesa itu sangat easy listening mendayu-dayu gitu, kok bisa pada nggak suka?
Lantaran popularitas mereka yang cenderung negatif, saya akhirnya pikir-pikir juga kalau mau dengerin lagu mereka di tempat umum. Bisa habis dikatain kampungan nanti saya. Apalagi kalau pakai headset dan nggak sengaja saya ikut nyanyi. Walah, perundungan yang terjadi bisa sampai ke level barbar. Pada saat itu pula, saya mulai ragu apakah masih akan menggapai cita-cita memiliki rambut gondrong biar mirip anggota Kangen Band? Meski ternyata, anggota band ini tidak keren bagi anak-anak di level kabupaten.
Anak-anak pada level kabupaten, khususnya di STM saya, lebih memuja band indie asal Bali yakni SID. Walah, kalau lagi ada event band di halaman sekolah yang emang luas banget, siapa saja band yang manggung wajib nyanyiin lagu-lagu SID. Urusan suara bagus apa nggak sih nggak peduli, yang penting kalau sudah mainin lagu “Saint of My Life”, “Kuta Rock City”, “Bukan Pahlawan”, atau “Jika Kami Bersama”, sudah bakal auto loncat-loncat itu seluruh anak STM yang nonton. Saya, yang juga ikut di tengah keramaian, lama-lama menikmati juga lagu-lagu SID—Bli Jerinx apa kabar, ya?
Saya dulu membayangkan manggung dan bawain lagu-lagu Kangen Band di salah satu acara sekolah, semua penonton bakal ikut bernyanyi, menghayati lagu-lagu mereka, kemudian bertepuk tangan sekeras mungkin begitu saya selesai bernyanyi. Namun, mimpi itu kandas mengingat saat saya dan temen-temen satu geng nyewa studio band buat seru-seruan, lagi-lagi yang dinyanyiin lagunya SID. Walah, gagal harapan saya menyebarkan agama Kangen Band di sekolah. Yang terjadi justru sebaliknya, saya malah terdoktrin kultur sekolah yang sangat memuja lagu-lagunya SID.
BACA JUGA Band Era 2000an yang Katanya Kampungan tapi Diam-diam Dirindukan dan tulisan Riyanto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.