Kampung saya terletak di Pulau Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Dahulu tingkat pendidikan masyarakatnya masih terbilang rendah. Hanya beberapa orang saja yang mampu meraih gelar sarjana. Meski demikian, rata-rata yang menjadi sarjana tersebut diangkat jadi PNS oleh pemerintah. Bahkan, beberapa tamatan SMA di kampung saya, ada juga beberapa di antara mereka yang berhasil jadi PNS.
Banyak yang lolos PNS karena pendidikannya. Kondisi ini mendorong masyarakat kampung saya berduyun-duyun menguliahkan anak-anaknya. Namun sayang, harapan tak sesuai ekspektasi. Sekarang, sarjana terus menumpuk di kampung saya, sehingga persaingan jadi PNS semakin kompetitif pula.
Dahulu, sewaktu di jaman militerisme Pak Harto, nasib seorang sarjana kemungkinan besar, pintunya untuk menjadi seorang PNS sangat terbuka lebar. Seakan-akan seorang sarjana dicari untuk dijadikan PNS, yang penting mau mengurus kelengkapan berkas. Maklum, yang berpendidikan tinggi kan masih terhitung jari. Sekarang, jaman Pak Jokowi yang memerintah, dan kondisi pun telah berbeda. Akses pendidikan tinggi semakin mudah dijangkau meskipun pada praktiknya harus ditebus dengan uang kuliah yang terbilang mahal dan tanpa pandang bulu.
Hasilnya begitu hebat—tidak hanya di kampung saya, di kampung-kampung tetangga pun sarjana kian menjamur. Setiap tahun selalu terjadi tambahan belasan sarjana baru—hampir di setiap kampung di Pulau Muna. Semakin hebatnya pula, rata-rata mereka setelah lulus hanya jadi pengacara alias pengangguran banyak acara.
Pada Tes CPNS kemarin saja, hanya satu dua orang yang berhasil lolos. Sebab, seleksi masuk CPNS semakin dipersulit oleh pemerintah. Buntutnya, pada Piplres kemarin, suara Jokowi kalah telak dari Prabowo. Saya juga jadi bingung, kok banyak masyarakat yang menaruh dendam pada Jokowi, cuman karena hasil CPNS yang tidak meloloskan satu pun sarjana dari kampung saya. Mungkin, karena tumpuan cita-cita para sarjana di kampung saya adalah menjadi seorang pegawai negeri. Begitu pun harapan orang tua mereka.
Nasib yang cukup tragis dilami para sarjana pendidikan. Para sarjana pendidikan di kampung saya tidak memiliki tempat untuk mengaplikasikan ilmu kemampuan mengajarnya. Bukan karena tidak ada sekolah, sekolah cukup banyak jumlahnya, tetapi kelebihan kuota pengajar. Terlebih semenjak berlakunya program sertifikasi guru. Sekolah semakin membatasi diri terhadap hadirnya guru-guru honorer baru. Kesempatan jam mengajar sekolah terborong oleh guru-guru bersertifikasi. Sampai akhirnya salah satu kawan saya, terpaksa merumahkan diri. Gelar sarjana pendidikan yang dicapainya tidak bisa difungsikan.
Menjadi seorang sarjana memang menjadi sebuah kebanggaan keluarga. Strata sosial keluarga dalam masyarakat akan mulai terpandang. Namun, kebahagian menjadi seorang sarjana hanyalah sebatas di masa wisuda. Ketika pulang ke kampung halaman, gelar yang mempergagah di belakang nama tiadalah berarti. Seorang sarjana yang tidak bekerja senantiasa akan menjadi sasaran empuk pergunjingan bibir-bibir tetangga di dalam kampung saya.
“Sudah sekolah tinggi, pas pulang kampung cuman santai-santai di rumah. Rokok saja masih minta beli sama orang tua. Dasar tidak tahu diri,” begitulah gunjingan para tetangga yang gila urusan.
Hal ini terkadang cukup berhasil membuat malu seorang sarjana untuk keluar-keluar rumah. Begitulah pengakuan beberapa kawan saya yang sudah sarjana sekaligus korban cibiran tetangganya. Untung-untung, hingga kini kawan-kawan saya masih dikuatkan hatinya menahan hantaman rentetan cibiran. Belum ada satu pun, yang mengaku berniat mengakhiri hidupnya karena hal itu. Saya sangat respect pada mereka.
Banyaknya sarjana menganggur di kampung saya bisa disebabkan karena rendahnya kualitas pendidikan tinggi tempat mereka menimba ilmu. Bisa juga karena salah pemerintah, yang tidak mampu menciptakan banyak lapangan kerja, atau pun karena motivasi sarjana yang bersangkutan bermasalah—hanya menjadikan PNS sebagai tumpuan utama cita-cita mereka.
Namun, satu yang pasti kondisi ini sangat menghawatirkan. Sangat mengancam generasi muda di kampung saya. Bayang-bayang sarjana menganggur akan terus menghantui. Bisa jadi, di masa depan, anak-anak muda di kampung saya banyak yang terancam tidak lanjut kuliah. Baik karena pertimbangan mereka sendiri maupun karena larangan dari orang tua mereka.
“Untuk apa kuliah? Sudah kasih keluar biaya mahal-mahal, pas selesai hanya jadi beban keluarga. Mending berkebun saja di kampung. Setiap kali panen bisa dapat banyak uang.”