Di Jepang, Naik Sepeda Itu Sebuah Kebutuhan, Bukan buat Gaya-gayaan

Naik Sepeda di Jepang Sebuah Kebutuhan, Bukan buat Gaya-gayaan terminal mojok

Naik sepeda bagi warga Jepang bukan hal yang bisa dipamerkan apalagi buat gaya-gayaan, melainkan sebuah kebutuhan!

Pertama kali menginjakkan kaki di Jepang, saya sempat syok karena harus jalan kaki berkilo-kilometer menuju kantor wali kota untuk mengurus KITAS dan kartu asuransi, dilanjutkan berbelanja di toko second hand shop yang ternyata jauh. Padahal sehari sebelumnya, saya masih ngeng-ngeng naik motor dengan santai di Indonesia, sehingga mau tak mau acara berjalan kaki itu rasanya sangat menyiksa badan ini.

Akhirnya saya bertekad untuk membeli sepeda di Jepang. Awal naik sepeda pun kaki masih kaku, tapi lama-lama otot betis terbiasa juga buat mengayuh. Berhemat dengan naik sepeda ke mana-mana itu benar-benar pengalaman menyenangkan sekaligus membanggakan.

Sepeda di mana-mana

Salah satu alasan saya akhirnya membeli sepeda di Jepang karena melihat seorang nenek naik sepeda dengan barang belanjaan di depannya. “Wah, gila, nenek-nenek saja kuat naik sepeda,” begitu pikir saya. Waktu di Osaka, saya juga pernah melihat Pak Pos mengantar surat naik sepeda. Pak Polisi Jepang juga ada, lho, yang patroli naik sepeda. Saya juga pernah melihat ibu-ibu yang mengantar anaknya pergi ke TK dengan sepeda. Si ibu membonceng anak TK-nya di belakang, sementara adiknya dibonceng di depan. Satu sepeda tiga orang. 

Saya pernah mengintip harga sepeda di Jepang. Ternyata harganya setara dengan separuh harga satu buah sepeda motor di Indonesia, sekitar Rp 7 jutaan. Aturan di Jepang yang tidak memperbolehkan membonceng anak kecil di sepeda motor mungkin membuat ibu-ibu di sana memilik untuk bersepeda. Lagi pula, aturan bermotor di Jepang beneran ribet banget. Tidak boleh berboncengan (untuk tipe motor tertentu), parkirnya susah, harga bensinnya cukup mahal, hadeh. Makanya sepeda motor tidak populer bagi orang Jepang.

Akhirnya, belum seminggu di Jepang, saya memutuskan untuk membeli sepeda seken. Yah, ketimbang ke mana-mana harus jalan kaki dan demi menghemat ongkos bus atau kereta, mending naik sepeda, kan? Harga sepeda yang saya beli saat itu sekitar 9000 yen, atau sekitar Rp 1,1 juta. Itu sepeda paling murah dengan kayuhan yang tidak enak-enak amat. Setelahnya saya ditawari untuk membuat STNK sepeda. Iya, Surat Tanda Nomor Kendaraan untuk Si Putih, sepeda saya.

Aturan bersepeda

Di Jepang memang ada semacam kewajiban membuat STNK untuk sepeda. Jika sudah terdaftar, sepeda kita resmi memiliki identitas. Seandainya dicuri pun, polisi bisa melacaknya. Harga pendaftaran STNK sepeda sekitar 500 yen. Selesai membeli dan mendapatkan STNK, kewajiban saya selanjutnya adalah mendaftarkan sepeda saya ke asrama kampus agar tak dianggap parkir sembarangan di parkiran asrama.

Setelah semua urusan beres, saya pun ke mana-mana bersepeda. Ke mal di seberang kota yang jarak tempuhnya sekitar 30-40 menit saya lakoni dengan naik sepeda. Lumayan, bisa hemat 400 yen yang bisa dipakai beli Indomie 4 bungkus. Ehehehe.

Saking ribetnya aturan bersepeda di Jepang, kami—para mahasiswa asing—pernah, lho, mendapatkan penyuluhan soal sepeda dari pihak kepolisian di kampus. Tidak boleh naik sepeda sambil mainan HP, tidak boleh mendengarkan musik lewat earphone, tidak boleh bawa payung saat hujan, tidak boleh berboncengan (kecuali anak kecil), tidak boleh parkir sembarangan, dll. Setelahnya, kami diberi gembok dan stiker lampu yang bisa menyala di malam hari. Lumayan.

Nyolong sepeda di parkiran

Meski gratis, parkir sepeda sembarangan di Jepang cukup riskan. Makanya sangat disarankan memarkir sepeda di parkiran resmi. Biayanya sekitar 100-300 yen (Rp 13-40 ribu) untuk setengah hari. Mahal juga, ya? Biasanya parkiran resmi ada di sekitar stasiun atau terminal.

Ada juga, sih, orang yang parkir sembarang dengan menaruh sepeda di tempat yang tidak ada tulisan parkirnya. Saya pernah melakukannya saat parkir sembarangan di stasiun. Setelahnya saya mendapat kertas peringatan. Ehehehe. 

Selain itu, ada juga kasus pencurian sepeda di Jepang yang sebenarnya sudah sangat biasa terjadi. Meski digembok dan diparkir di parkiran resmi, kadang pemilik parkir tak mau bertanggung jawab. Apes namanya. Biasanya sepeda-sepeda itu dicuri bukan untuk dijual, lho ya. Melainkan “dipinjam” paksa karena tidak minta izin. Kadang orang mabuk yang mencuri sepeda. Kok bisa? 

Budaya minum-minum buat para pekerja kantoran, terutama di akhir pekan (Jumat malam), itu benar-benar menyusahkan. Meski banyak yang akhirnya tumbang dan tergeletak tak berdaya di stasiun, bagi yang masih kuat nyepeda ia akan meraih sepeda sedapatnya. Kalau sudah begini, apeslah sepeda yang diambil sembarangan oleh orang mabuk. Begitu sampai di rumah, bisa jadi ia akan membuang sepeda entah punya siapa yang dinaikinya. 

Kalau orang yang agak bertanggung jawab, tentu akan mengembalikan ke parkiran semula. Kalau yang sudah level nakal, ya akan membuang sepeda itu pinggir sungai atau di taman. Kalau sudah begini, pemilik asli sepeda juga bakal mengalami kesulitan saat menebus sepedanya karena dikira dia sendiri yang menaruh di pinggir sungai. Makanya, begitu kehilangan sepeda, usahakan untuk membuat laporan kehilangan di kepolisian agar kalau terjadi apa-apa atau sepedanya digunakan untuk kriminal, pemilik asli memiliki alibi. Memang ribet, sih, tapi kenyataannya kasus pencurian sepeda di Jepang seperti itu. Ada-ada saja, kan?

Membuang sepeda itu susah

Setelah kurang lebih 3 tahun saya bersepeda ke sana kemari di Jepang, akhirnya tiba saatnya berpisah. Setelah melaporkan ke pihak kampus bahwa saya akan membuang sepeda, alih-alih memberikannya pada orang lain, saya bawa sepeda itu ke kampus. Biasanya, pihak kampus akan secara rutin mendata sepeda yang akan dibuang dan akan diambil oleh pihak terkait. Atau bisa juga, sih, mendaftarkan sendiri ke kantor wali kota untuk membuang sepeda.

Selain opsi dibuang, sebenarnya sepeda bisa juga diberikan ke junior atau teman yang menginginkannya. Ini jauh lebih enak karena sama-sama untung. Tapi, kalau orang yang kita lungsuri itu tidak mendaftarkan sepeda atas nama nama dirinya, bisa jadi pemilik sebelumnya dibawa-bawa kalau sepeda itu bermasalah. Ribet, kan?

Pernah ada kejadian seperti itu. Sepeda yang dilungsurkan secara turun-temurun suatu saat hilang dan ketika dilaporkan hilang ke polisi, ternyata pemilik sepeda itu adalah orang lain yang bahkan pemakai sepedanya sekarang tidak kenal. Polisi malah menaruh curiga, jangan-jangan malah dia yang mencuri sepeda. Padahal pemilik pertamanya yang sudah kembali ke tanah air bertahun-tahun sebelumnya dan mungkin sedang makan bakso dan sudah tak ada hubungan dengan sepeda itu. Angel wes angel pokoknya…

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version