Suatu ketika, seorang teman berkata ingin berkunjung ke rumah saya yang terletak di Desa Timbang, Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga. Kebetulan desa tempat tinggal saya merupakan desa paling timur di Kabupaten Purbalingga yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Rakit, Kabupaten Banjarnegara.
Setelah tiba di rumah, teman saya menjelaskan betapa jauh perjalanan yang harus dia tempuh ke rumah saya. Ternyata dia mengira bahwa rumah saya tidak jauh dari pusat Kota Purbalingga. Padahal boro-boro deket, perjalanan ke Alun-alun Purbalingga aja dari rumah saya bisa memakan waktu hingga 40 menit dengan kecepatan 50 km/jam.
Sebenarnya memiliki rumah yang jauh dari pusat kota itu banyak nggak enaknya, Gaes! Beginilah penderitaan yang saya rasakan selama tinggal di Kabupaten Purbalingga bagian timur.
Daftar Isi
Jauh dari rumah sakit
Perlu diketahui bahwa jarak dari rumah saya ke RSUD Goeteng Purbalingga yaitu 26 kilometer dan memerlukan waktu tempuh sekitar 38 menit. Lantaran letaknya yang jauh, banyak tetangga saya yang lebih memilih untuk berobat ke rumah sakit di area Kabupaten Banjarnegara.
Rumah sakit yang dipilih yaitu Rumah Sakit Islam Banjarnegara yang terletak di Kecamatan Bawang, Banjarnegara. Kebetulan jaraknya hanya 11 kilometer dari desa kami dan memerlukan waktu tempuh sekitar 19 menit. Ada juga warga desa yang memilih untuk berobat di Rumah Sakit Emanuel di Kecamatan Purwareja Klampok, Banjarnegara. Selain karena lebih efisien waktu, rumah sakit ini juga terkenal memiliki penanganan yang cepat terhadap para pasiennya.
Mungkin banyak pembaca yang mengira bahwa masalah jarak nggak jadi masalah. Namun, bagi saya yang tinggal di perbatasan, jarak adalah masalah yang serius. Jarak dari rumah saya lebih dekat ke kabupaten tetangga daripada ke pusat kota sendiri.
Pernah suatu ketika saudara saya sakit keras dan tiba-tiba kumat. Blio perlu penanganan sesegera mungkin, karena jika tidak, taruhannya adalah nyawa. Akhirnya, pihak keluarga memutuskan untuk membawanya ke RSI Banjarnegara. Sayangnya begitu sampai di RSI, blio menghembuskan napas terakhirnya. Bayangkan saja kalau saudara saya ini dibawa ke rumah sakit di pusat kota Kabupaten Purbalingga, apa nggak meninggal di jalan, tuh?
Baca halaman selanjutnya
Tidak dianggap warga Purbalingga…
Tidak dianggap warga Purbalingga
Dalam tongkrongan, saya sering diejek oleh teman saya yang berasal dari Purbalingga. Banyak yang menyarankan supaya saya pindah saja ke Kabupaten Banjarnegara karena desa saya memang lebih dekat ke kabupaten tersebut.
Lantaran tinggal di daerah yang berbatasan langsung dengan Banjarnegara, saya juga sering dimintai oleh-oleh berupa dawet ayu! Ealah, saya tuh warga Kota Perwira lho meskipun rumah saya mepet kabupaten sebelah. Lagi pula orang tua saya nggak jualan dawet, Gaes!
Mencari SPBU seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami
Desa saya memang dijadikan sebagai jalur alternatif Purbalingga-Banjarnegara. Jadi, kalau kalian pengin berwisata ke Dieng, kalian bisa melewati jalur ini, lho.
Lantaran jalanannya yang mulus dan sepi, pengendara jadi bisa menikmati perjalanan dengan nyaman. Tapi, saya ingatkan supaya kalian tidak melewati jalur ini di malam hari. Kenapa? Karena jalur ini bisa jadi petaka jika kalian kehabisan bensin di tengah jalan.
Di Kecamatan Kejobong, Kabupaten Purbalingga, tidak ada satu pun SPBU yang beroperasi. Yang ada hanya penjual bensin eceran dan tidak mungkin buka 24 jam. SPBU hanya ada di kecamatan sebelah, yaitu Kecamatan Kaligondang. Jadi, kalau mau lewat Kecamatan Kejobong, isi dulu bensin kalian supaya tidak kehabisan bensin di tengah jalan, ya.
Tidak ada minimarket 24 jam
Sebagai manusia nokturnal, saya memiliki hobi untuk membeli minuman di Alfamart dan Indomaret di malam hari. Selama di Purwokerto, hampir setiap hari saya menyempatkan diri untuk membeli minuman dan rokok sebelum begadang. Namun saat berada di rumah, saya lebih memilih untuk minum kopi hitam saja. Lagian mau ke minimarket juga sia-sia. Sebab, minimarket di kecamatan saya bobo gasik persis kayak anak TK. Jam 9 sudah tutup gerbang, Lur!
Di balik keluh kesah yang saya rasakan, saya bersyukur menjadi warga Kabupaten Purbalingga bagian timur dan tinggal di perbatasan selama 22 tahun dengan tentram. Tinggal di desa jauh dari hiruk pikuk kota merupakan sebuah privilese yang tidak didapatkan oleh mereka yang sibuk mencari jabatan, pengakuan, dan kekayaan di rimba metropolitan, lho.
Penulis: Yanuar Abdillah Setiadi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Purbalingga: Ditinggal Merantau Ngangenin, Ditinggali Nggak Menghasilkan Apa-apa.